NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13: SENDIRIAN DI HARI YANG SEHARUSNYA TIDAK SENDIRIAN**

# **

Alara membuka mata di pagi hari yang terasa lebih berat dari biasanya. Tanggal 15 di kalender ponselnya menyala dengan reminder yang ia buat sendiri minggu lalu:

**"Sebulan Papa pergi."**

Sebulan.

Sebulan sejak ia mengubur ayahnya dalam hujan. Sebulan sejak ia berdiri sendirian di pemakaman, berjanji akan menyelamatkan warisan sang ayah. Sebulan sejak hidupnya berubah total—menikah dengan Nathan, pindah ke mansion dingin ini, hidup dalam pernikahan tanpa cinta.

Sebulan yang terasa seperti seumur hidup.

Alara menatap langit-langit kamarnya dengan mata kosong. Tidak ada air mata pagi ini—bukan karena tidak sedih, tapi karena sepertinya air matanya sudah habis. Atau mungkin ia sudah terlalu lelah untuk menangis.

Ia bangkit dari tempat tidur, bergerak mekanis. Mandi dengan air dingin yang tidak ia rasakan. Berganti pakaian—blouse putih dan celana hitam, pakaian berkabung yang sederhana. Merapikan rambut dalam ikatan rendah.

Di cermin, ia melihat pantulan dirinya—wajah pucat, mata kosong, bayangan hitam di bawah mata yang tidak bisa ditutupi make up apa pun. Ia terlihat seperti hantu. Dan mungkin memang begitu—hantu yang hidup tapi tidak benar-benar ada.

Alara turun ke ruang makan. Nathan sudah duduk di sana—seperti biasa, koran di tangan, kopi hitam di hadapannya. Sejak kejadian makan malam itu, mereka tidak berbicara lagi. Hidup seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal satu atap.

"Pagi," sapa Alara pelan—lebih karena kebiasaan daripada harapan akan dibalas.

Nathan mengangkat wajah sekilas. "Pagi."

Hanya itu. Lalu kembali fokus pada korannya.

Alara duduk di ujung meja—jarak yang semakin jauh setiap hari. Bi Sari menyajikan sarapan, tapi Alara tidak menyentuhnya. Perutnya mual. Tenggorokannya tercekat.

Ia menatap Nathan—menatap pria yang seharusnya jadi suaminya. Yang seharusnya tahu hari ini hari apa. Yang seharusnya... peduli.

"Nathan," panggil Alara pelan.

Nathan mengangkat alis, masih belum menatap. "Hm?"

"Hari ini... hari ini aku izin tidak masuk kantor."

"Kenapa? Sakit?" Nada bicaranya datar, administratif. Seperti bos bertanya pada karyawan.

"Tidak. Aku... aku mau ke pemakaman. Hari ini... sebulan Papa meninggal."

Kata-kata itu keluar dengan susah payah. Setiap suku kata terasa berat.

Nathan berhenti membaca. Tangannya terdiam di atas koran. Untuk sesaat—hanya sesaat—ada sesuatu di ekspresinya. Rasa bersalah? Penyesalan?

Tapi kemudian ia mengangguk kaku. "Oh. Baik. Hati-hati di jalan."

Tidak ada "aku ikut". Tidak ada "kamu mau ditemani?". Tidak ada... apa pun.

Alara menunduk. Sesuatu di dadanya remuk lagi—tapi kali ini ia sudah biasa. Sudah terlalu sering remuk sampai sepertinya tidak ada yang tersisa untuk hancur lagi.

"Terima kasih," bisiknya—entah terima kasih untuk apa.

Ia bangkit, mengambil tas kecilnya. Berjalan menuju pintu depan dengan langkah yang terasa seperti menyeret beban berat.

Nathan menatap punggung Alara yang menjauh. Tangannya mengepal di atas koran. Rahangnya mengeras.

*Kau harus ikut. Kau seharusnya ada di sampingnya.*

Tapi kaki Nathan tidak bergerak. Mulutnya terkunci.

Karena ia takut. Takut kalau ia ikut, kalau ia ada di sana, ia akan... peduli. Dan peduli berarti membuka diri untuk disakiti lagi.

Jadi ia biarkan Alara pergi sendirian.

Seperti ia selalu lakukan.

---

**PEMAKAMAN UMUM, JAM 9 PAGI**

Alara berdiri sendirian di depan makam ayahnya. Bunga mawar putih di tangan—bunga favorit ayahnya. Langit mendung, angin dingin bertiup, membawa aroma tanah basah dari hujan semalam.

Nisan itu masih terlihat baru—batu granit abu-abu dengan ukiran nama ayahnya:

**DAVINA PRASETYO**

**1965 - 2024**

**Ayah Terbaik, Pengusaha Hebat**

Alara berlutut perlahan, meletakkan bunga di atas makam. Jemarinya menyentuh nisan itu—dingin, keras, tidak seperti kehangatan tangan ayahnya yang dulu selalu menggenggam tangannya saat ia takut.

"Pah..." Suaranya parau. "Alara datang."

Tidak ada jawaban. Hanya angin yang berdesir pelan.

"Sebulan udah, Pah. Sebulan Bapak ninggalin Alara sendirian." Air matanya mulai jatuh—perlahan, tanpa isak. Hanya... mengalir. "Alara... Alara nggak tahu harus gimana lagi."

Tangannya gemetar menyentuh nisan.

"Perusahaan Bapak selamat. Alara lakuin apa yang Bapak minta. Alara nikah sama Nathan Erlangga. Alara... Alara jaga Davina Design seperti Bapak mau."

Ia tersenyum pahit—senyum yang paling menyedihkan.

"Tapi kenapa rasanya... kenapa rasanya Alara yang hancur, Pah?"

Isak mulai keluar—pelan tapi dalam.

"Alara coba jadi istri yang baik. Alara coba peduli. Alara coba... coba buat dia lihat Alara. Tapi dia nggak pernah lihat. Dia nggak pernah peduli. Alara cuma... cuma kontrak buat dia. Cuma kertas yang bisa dibuang kapan aja."

Air matanya mengalir deras sekarang.

"Dan yang paling sakit, Pah..." Suaranya bergetar hebat. "Alara jatuh cinta sama dia. Alara jatuh cinta sama orang yang nggak akan pernah cinta balik. Bodoh kan?"

Ia tertawa di tengah tangisnya—tawa yang pahit, getir.

"Alara tahu ini salah. Alara nggak seharusnya jatuh cinta. Ini cuma kontrak. Cuma dua tahun. Tapi... tapi kenapa hati Alara nggak mau dengerin? Kenapa hati Alara sakit setiap kali dia nggak pulang? Kenapa dadanya sesak setiap kali dia tatap Alara kayak... kayak Alara nggak ada?"

Alara memeluk nisan itu—memeluk dengan putus asa, seolah memeluk ayahnya untuk terakhir kali.

"Pah... Alara capek. Alara sangat capek. Alara nggak kuat lagi."

Isak tangisnya pecah—dalam, getir, penuh luka yang tidak bisa diungkapkan.

"Alara pengen Papa pulang. Alara pengen Papa peluk Alara lagi. Alara pengen Papa bilang semuanya akan baik-baik aja. Alara pengen..."

Suaranya putus. Tenggorokan tercekat. Napas tersengal.

"Alara pengen Papa di sini. Hari ini. Hari yang seharusnya nggak sendirian. Tapi Alara sendirian, Pah. Kayak selalu."

Ia menangis dalam pelukan nisan dingin itu—menangis sampai tubuhnya bergetar, sampai napasnya sesak, sampai rasanya ia akan pingsan di sana.

Tidak ada yang datang. Tidak ada Bi Sari yang biasanya khawatir. Tidak ada Rian dari kantor yang baik hati. Tidak ada Kiara yang ternyata pengkhianat.

Dan tidak ada Nathan.

Nathan yang seharusnya—walau hanya sebagai formalitas—menemaninya di hari ini.

Tapi Alara sendirian.

Seperti selalu.

---

**SORE HARI, MANSION**

Alara pulang dengan mata sembab dan tubuh yang terasa remuk. Ia langsung naik ke kamar tanpa menyapa siapa pun. Merebahkan diri di tempat tidur dengan pakaian yang masih lengkap.

Matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Di tangan, ponsel yang tidak berbunyi. Tidak ada pesan dari Nathan. Tidak ada telepon bertanya "kamu sudah pulang?". Tidak ada... apa pun.

Ia membuka galeri ponsel—menatap foto-foto lama bersama ayahnya. Foto saat graduation. Foto saat grand opening Davina Design. Foto terakhir mereka di rumah sakit sebulan sebelum ayahnya meninggal—ayahnya yang sudah kurus, tapi masih tersenyum untuk Alara.

"Maafin Alara, Pah," bisiknya pada foto itu. "Alara nggak bisa jaga diri Alara sendiri. Gimana Alara mau jaga perusahaan Papa..."

Air matanya jatuh di layar ponsel—membasahi wajah ayahnya di foto.

Pintu kamar diketuk pelan.

Alara tidak bergerak. Tidak menjawab.

"Nona Alara?" Suara Bi Sari dari luar. "Makan malam sudah siap."

"Aku nggak lapar, Bi."

"Tapi Nona belum makan dari pagi—"

"Kumohon Bi," potong Alara pelan. "Aku pengen sendiri."

Hening. Lalu suara langkah kaki Bi Sari menjauh.

Alara memeluk bantal—bantal yang dingin, tidak seperti pelukan ayahnya dulu. Ia meringkuk di tempat tidur besar itu, merasa sangat kecil, sangat sendiri.

*Berapa lama lagi aku harus bertahan seperti ini?*

Satu setengah tahun lagi. 18 bulan. 540 hari.

Rasanya seperti seumur hidup.

Ia menutup mata—mencoba tidur, mencoba melarikan diri dari rasa sakit walau hanya beberapa jam.

Tapi bahkan dalam tidur, ia mimpi tentang ayahnya. Mimpi tentang Nathan yang tersenyum—tapi bukan untuknya. Mimpi tentang sendirian di pemakaman sampai hari gelap dan tidak ada yang menjemput.

---

**JAM 11 MALAM**

Nathan pulang larut seperti biasa. Ia naik ke kamarnya dengan langkah lelah—hari yang panjang, meeting yang melelahkan.

Tapi saat melewati kamar Alara, ia berhenti.

Ada suara dari dalam—suara isak yang diredam.

Alara menangis.

Nathan berdiri membeku di depan pintu itu. Tangannya terangkat—hampir mengetuk. Hampir membuka pintu. Hampir bertanya "kamu baik-baik saja?".

Tapi tangannya terhenti di udara.

*Ini bukan urusanmu. Kau tidak boleh peduli. Kau tidak boleh...*

Nathan menurunkan tangannya perlahan. Mengepalkannya. Rahang mengeras.

Ia berbalik, masuk ke kamarnya, dan menutup pintu.

Tapi di balik pintu tertutup itu, Nathan bersandar dengan mata tertutup. Napas berat. Dada sesak.

Karena untuk pertama kalinya sejak lama, ia menyadari—

Ia brengsek.

Benar-benar brengsek.

Hari ini anniversary kematian ayah Alara. Hari yang seharusnya ia—walau hanya sebagai formalitas—temani Alara.

Tapi ia membiarkan Alara pergi sendirian.

Membiarkan Alara menangis sendirian di pemakaman.

Membiarkan Alara pulang ke rumah kosong—walau ia ada di rumah, tapi tidak benar-benar ada.

Nathan membuka mata—dan di sudut matanya, ada air.

Tapi ia mengusapnya kasar. Marah pada dirinya sendiri.

*Ini yang kau mau kan? Menjaga jarak. Tidak peduli. Tidak terluka.*

Tapi kenapa—kenapa—dadanya terasa seperti ada yang mencengkeram?

Kenapa setiap isak Alara dari kamar sebelah terdengar begitu keras di telinganya?

Nathan duduk di tepi tempat tidurnya, kepala di tangan.

Dan untuk pertama kalinya sejak lima tahun, Nathan Erlangga membenci dirinya sendiri.

Bukan karena ia lemah.

Tapi karena ia terlalu pengecut untuk mengakui—bahwa mungkin, hanya mungkin, ia mulai peduli pada wanita di kamar sebelah.

Wanita yang perlahan menghancurkan tembok yang ia bangun selama lima tahun.

Dan ia terlalu takut untuk menghadapi itu.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 14]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!