NovelToon NovelToon
Langit Jingga Setelah Hujan

Langit Jingga Setelah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kelahiran kembali menjadi kuat / Keluarga / Romansa Fantasi / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Chicklit / Fantasi Wanita
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: R²_Chair

Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.

Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.

Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebelum semuanya retak

Pagi itu, aroma roti panggang memenuhi seluruh dapur. Burung-burung bernyanyi di luar jendela, dan cahaya matahari menembus tirai putih yang menari tertiup angin.

Dulu, pagi seperti ini adalah hal paling di tunggu.Karena di meja makan itu, Jingga, Ayah, dan Bunda selalu duduk bersama.Tertawa, bercanda, dan berbagi cerita kecil tentang hari yang akan dijalani.Terasa begitu hangat walaupun dengan hal-hal kecil.

 Kini, kursi di sebelah Ayahnya kosong.Sudah dua tahun sejak Bunda pergi, namun setiap kali Jingga melihat tempat duduk itu, rasanya seolah luka itu baru saja dibuat kemarin.Seolah tangis dan air mata itu baru saja kering.

 “Ayah berangkat dulu, Jingga.”

 Suara Ayah membuyarkan lamunannya.Ayah berdiri di depan pintu, mengenakan setelan jas abu-abu, wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Jingga segera berdiri, berlari kecil menghampiri sang ayah, dan membantu merapikan dasinya.Satu kebiasaan kecil yang selalu di lakukan sejak dulu.

 “Dasi Ayah miring,” ucapnya pelan sambil tersenyum.

 Dulu, Ayah akan tertawa dan mencubit lembut pipi Jingga. Tapi pagi itu ayahnya hanya mengangguk singkat.

 “Terima kasih.”

 Tak ada lagi belaian di kepala, tak ada senyum hangat. Hanya jarak yang entah kapan mulai tumbuh di antara kami.Terasa sesak tapi berusaha Jingga tepis.

 Saat pintu tertutup, aku menghela napas panjang. Kadang aku merasa Ayah berubah sejak Ibu meninggal. Ia lebih pendiam, lebih sibuk, dan lebih sering pulang larut malam. Tapi aku selalu percaya,sekeras apa pun Ayah, hatinya tetap Ayah yang dulu.

 Tapi aku salah.

 ---

 Beberapa bulan kemudian, Ayah memperkenalkan jingga pada seorang wanita bernama Ratna. Ia cantik, elegan, dengan suara lembut dan wangi bunga melati yang menusuk hidung. Di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun bernama Davin, yang menatapku seperti musuh sejak pandangan pertama.

 “Mulai hari ini, mereka akan tinggal bersama kita,” kata Ayah. “Kita akan jadi keluarga baru.”

 Aku tersenyum bukan karena bahagia,tapi karena berusaha sopan.

 Di dalam hati, ada sesuatu yang terasa aneh. Seolah rumah ini bukan lagi tempat yang sama.

 Hari-hari berikutnya, Ratna mulai mengambil alih segalanya. Ia mengatur menu makan, mengatur tata ruang, bahkan memilih baju apa yang harus Jingga pakai saat acara keluarga.

 Ayah? Ia tidak pernah menolak. Ia hanya diam, mengangguk, dan membiarkan semuanya terjadi.

 Davin sering meledek Jinggga di rumah, menyebutku “anak kesepian yang pura-pura manis.” Kadang Jingga hanya menahan air mata di kamar, memeluk bantal sambil berbisik, Ibu, kenapa aku sendirian?

 Suatu sore, saat Jingga menyiapkan teh untuk Ayah, kudengar mereka berbicara di ruang tamu.

 “Anak itu terlalu banyak ikut campur,” suara Ratna terdengar pelan tapi tajam.

 “Dia hanya butuh waktu menyesuaikan diri,” jawab Ayah datar.

 “Waktu tidak akan mengubah darahnya, Mas. Dia tetap bayangan masa lalu.”

 Bayangan masa lalu.

 Itu pertama kalinya Jingga sadar,bagi mereka Jingga hanyalah pengingat dari sesuatu yang sudah seharusnya dilupakan.

Rasanya bukan lagi sakit,tapi perih.Seperti luka tak berdarah.Disaat hati Jingga masih merasa sakit karena kehilangan sang Bunda,kini bertambah lagi hanya karena satu kalimat itu.

 Malam itu Jingga menulis di buku catatan Ibu dengan linangan air mata.

  “Aku rindu rumah yang dulu. Rumah yang penuh suara tawa dan aroma masakan Ibu. Sekarang yang tersisa hanya dingin. Aku takut, Bu. Aku takut suatu hari Ayah tidak lagi melihatku sebagai anaknya.”

 Jingga menutup buku itu, menatap langit dari jendela.

 Warna jingga senja memudar menjadi kelabu, dan entah mengapa aku merasa… sesuatu yang buruk sedang mendekat.

 

Sejak Ayah membawa Ratna dan Davin masuk ke rumah ,Jingga berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mencoba menerima mereka.Bukan karena siap,tapi karena Jingga tidak ingin Ayah semakin tenggelam dalam kesedihannya setelah Bunda pergi.

Ratna tampak lembut pada awalnya. Ia memanggil Jingga dengan sebutan “Nak”, menyisir rambut Jingga sambil berkata "Kamu mirip Bundamu".Kata-kata itu membuatku hampir percaya bahwa ia benar-benar ingin menjadi bagian dari hidupku.

Davin, anak tirinya, lebih pendiam. Ia jarang bicara pada Jingga, tapi Jingga selalu berusaha mengajaknya bermain atau belajar bersama. “Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ya,” ucap Jingga suatu sore. Ia hanya mengangguk tanpa menatap, seolah kehadiran Jingga tidak penting.

Jingga tidak menyerah.

Jingga ingin rumah ini merasa utuh lagi.

Namun pelan-pelan, hal-hal kecil mulai berubah.Pagi hari, biasanya Jingga yang membuatkan kopi Ayah.Kini Ratna yang melakukannya.

“Ayah suka kopiku lebih pas,” katanya sambil tersenyum tipis.Jingga mengangguk, meski hatinya terasa ditarik perlahan dari tempat yang seharusnya menjadi miliknya.

Saat makan malam, Ayah biasanya duduk di sebelahnya.Sekarang Jingga dipindahkan ke kursi ujung meja,sementara Davin duduk tepat di sisi Ayah.

“Ayah mau ngobrol sama Davin soal sekolahnya,” kata Ratna.Jingga hanya memalingkan wajah, pura-pura sibuk mengatur sendok.

Hari demi hari, suara Ayah yang dulu hangat untuknya berubah menjadi singkat dan jauh.

“Jingga, jangan ganggu dulu.”

“Jingga, kamu kan bisa kerjakan sendiri.”

“Jingga, nanti saja bicara dengan Ayah.”

Seperti itu terus.Sampai-sampai Jingga mulai bertanya pada diri sendiri apakah dirinya benar-benar anaknya atau hanya tamu yang kebetulan tinggal di rumah ini.

Bahkan pernah suatu malam, Jingga mendengar suara dari ruang tengah.Perkataan Ratna terdengar jelas meski ia berusaha merendahkan volume suara.

“Mas, Jingga itu butuh diarahkan. Dia terlalu manja. Kamu terlalu lembut padanya.”

Jantungnya terasa berdegup keras sambil menahan nafas menahan napas di balik pintu,Jingga mendengar semuanya.

Ayah tidak langsung menjawab.Saat akhirnya ia bicara, suaranya membuat tubuhku terasa dingin.

“Mungkin kamu benar. Aku terlalu lama membiarkannya bergantung padaku.”

Ucapan itu seperti pisau yang masuk perlahan. Tidak menimbulkan darah,tapi membuat dada terasa kosong.

Ratna melanjutkan ucapannya, “Davin juga merasa tidak nyaman. Ia bilang Jingga selalu sok dekat padamu. Dia merasa tersisih.”

Jingga menutup mulutnya, menahan agar isak tidak pecah.Jingga tidak pernah berniat membuat siapa pun tersisih. Sejak awal, Jingga lah yang berusaha menerima.

Ayah menghela napas panjang.“Baiklah. Aku akan mencoba lebih tegas pada Jingga.”

TEGAS.

Kata itu bergema lama di kepalanya,berputar seolah jarum jam yang terus bergulir.

Jingga merapatkan tangan di dada.

"Tidak apa-apa, Jingga. Kamu kuat. Kamu harus tetap baik. Kamu harus tetap menerima mereka… demi Ayah." Lirihnya

Namun entah bagaimana meski Jingga terus berusaha, semakin lama rasanya justru makin hilang.

Kasih sayang Ayah yang dulu menyelimuti hidupnya mulai memudar seperti foto lama yang tertinggal di bawah matahari.

Semakin mencoba mendekat, semakin terasa didorong menjauh.Bukan dengan tangan tapi dengan sikap, tatapan, dan kata-kata yang tidak lagi hangat.

Di meja makan, ayah lebih banyak berbicara pada Davin.

Di ruang tamu, ia duduk di sebelah Ratna, bukan lagi Jingga.

Di rumah ini, suara Ayah padanya semakin jarang terdengar, dan pelan-pelan Jingga menyadari…

"Rumah ini tetap berdiri, tapi tempatku di dalamnya mulai hilang."

Dan Jingga hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri

"Jika aku terus berusaha menerima mereka, apakah suatu hari mereka juga akan menerima aku?"

...🍀🍀🍀...

🍃 Langit Jingga Setelah Hujan 🍃

1
Danny Muliawati
hingga gmn dg kuliah nya yah
Puji Hastuti
Aq suka ceritanya kk 💪💪💪
𝐈𝐬𝐭𝐲
lanjut thor
𝐈𝐬𝐭𝐲
punya bapak kok bego bgt, gak percaya ma anak sendiri, suatu saat dia akan menyesal...
𝐈𝐬𝐭𝐲
baru baca bab awal udah bikin nyesek ma emosi thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!