Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Senja Putri Baskara tahu, bahkan suara desahan napasnya pun bisa menjadi sumber kemarahan Paramita, ibunya. Sejak ia mengingat, ia selalu bergerak senyap di dalam rumah besar yang terasa dingin dan pengap itu, seolah ia adalah bayangan yang dilarang bersuara. Ia telah berhati-hati, setiap langkah kakinya di lantai marmer tua diusahakan tanpa bunyi, setiap pintu ditutup perlahan, tetapi sepertinya alam semesta tidak pernah berpihak padanya.
Pagi itu di meja makan, Paramita sedang menatap laporan keuangan yang tergeletak berantakan. Jari-jarinya mengetuk meja dengan irama tidak sabar, membawa kembali memori kelam kebangkrutan lama yang selalu menjadi senjata andalan ibunya.
“Kenapa tidak kau robek saja laporan ini, Senja?” gumamnya sinis, tanpa menoleh. “Kau sudah merobek semua yang berharga dari hidupku, jadi apa bedanya satu lembar kertas ini?”
Senja, yang sedang menuangkan air panas untuk teh ayahnya, tersentak. “Beban Kelahiran yang Tragis.” Frasa yang ia dengar sejak kecil itu kembali berputar di benaknya. Ia terbiasa. Sudah bertahun-tahun ia membiarkan dirinya menjadi karung tinju emosi ibunya.
Gelas porselen di tangannya bergetar hebat. Beberapa tetes air panas tumpah mengenai punggung tangannya, meninggalkan sensasi panas dan perih yang langsung merambat.
"Maaf, Bu," bisiknya, menahan napas dan perih fisik yang tertanam. Ia menunduk, tidak berani melakukan kontak mata.
Paramita akhirnya berbalik, tatapannya dingin dan tajam seperti kilatan pisau. "Kau selalu melamun! Sama seperti saat kau masih dalam perutku! Melamun membawa sial! Kau tahu, Nak, saat dokter memberitahuku bahwa janinmu sudah ada, Fajar… anakku yang pertama, anakku yang berharga, harus pergi untuk selamanya! Kau mengambil tempatnya, dan kau menghancurkan segalanya!"
Paramita bangkit, suaranya naik satu oktaf, menggema di ruangan hampa itu. "Lihatlah sekelilingmu, ini semua karena kau! Bisnis suamiku hancur, Fajar putraku juga meninggal, dan aku harus menanggung beban hidup yang tidak pernah aku inginkan!"
Ia menyambar laporan itu dan melemparnya ke lantai, kertas-kertas berserakan. "Kau anak pembawa sial! Kematian kakakmu adalah dosa pertamamu! Aku tidak tahu apa lagi yang harus kuterima dari takdir tragis yang kau bawa!"
Senja memejamkan mata, membiarkan setiap kata Paramita menghujamnya. Ia tidak melawan. Melawan berarti ia harus menerima pukulan tambahan di tubuhnya, dan ia tidak ingin Paramita membuat keributan yang bisa mengganggu Ayahnya yang sedang sakit.
Jangan sekarang. Bertahanlah sebentar lagi. Demi Ayah, batinnya. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan tangisan yang mendesak keluar dari dadanya.
Setelah Paramita pergi meninggalkan dapur dengan gerutuan keras, ia pergi untuk melanjutkan kesibukan sosialnya, seolah tragedi di rumah itu hanya ilusi. Senja bergegas membawa teh hangat ke kamar ayahnya, Baskara Hadi. Kamar Baskara adalah satu-satunya surga, satu-satunya tempat di rumah itu yang memiliki aura kehangatan dan cahaya sejati. Baskara, sang Matahari-nya.
Baskara berbaring lemah di ranjang, kulitnya pucat, tetapi matanya selalu memancarkan kehangatan dan ketenangan saat menatap Senja.
"Senja," panggilnya lemah, suaranya serak. "Sini, Nak. Punggung tanganmu kenapa? Ayah dengar Ibu tadi sedikit berteriak."
Senja menyembunyikan tangannya di balik punggung, ia tidak ingin ayahnya semakin khawatir. "Tidak apa-apa, Yah. Hanya kena uap sedikit. Ayah minum dulu tehnya, ya, biar hangat."
Baskara tersenyum pahit. Ia tahu apa yang baru saja terjadi. Ia tahu betapa Paramita menyiksa Senja, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi terkadang dengan sentuhan yang menyakitkan.
"Kamu tahu, Nak," kata Baskara sambil menggenggam tangan Senja, kali ini ia tidak membiarkan Senja menyembunyikannya. "Kamu bukan badai. Kamu adalah Senja, dan senja itu selalu indah. Ayah bertahan hanya untuk melihat kamu tertawa. Ayah sudah melihat kamu lulus, Nak. Itu sudah cukup, Nak. Tugas Ayah sudah selesai."
Air mata Senja tumpah, membasahi bantal di samping ayahnya. Ia menggeleng. "Ayah tidak boleh bilang begitu. Senja butuh Ayah."
Baskara menarik Senja lebih dekat, memeluknya dengan sisa tenaganya, suaranya bergetar karena emosi dan penyakit. Ia berbisik, memaksakan suaranya agar terdengar jelas.
"Dengarkan Ayah baik-baik. Kalau nanti Ayah tidak ada," kata Baskara, jeda untuk menahan batuk keras, "kamu harus pergi, Nak. Sejauh mungkin dari Ibumu. Ibu tidak akan pernah berhenti menyakitimu. Ayah tidak bisa menjagamu lagi. Janji pada Ayah, ya?"
Itu adalah janji yang paling berat. Senja takut. Ia takut bagaimana ia akan bertahan hidup tanpa Baskara, dan ia takut melanggar pesan terakhir Ayahnya.
"Iya, Yah," isak Senja, "Senja janji."
Pesan terakhir itu adalah satu-satunya payung yang tersisa. Tapi Senja tahu, begitu payung itu hilang, ia harus menghadapi badai sendirian.
Sambil menggenggam tangan ayahnya, pikiran Senja melayang pada satu-satunya orang di luar rumah yang juga memberinya harapan: Damar Saputra.
Damar, si pemuda sederhana yang dikenalnya di bangku kuliah. Ia bukanlah tipe pria flamboyan, tetapi ia memiliki tatapan mata yang tegas, sabar, dan sangat realistis. Damar selalu muncul dengan perhatian-perhatian kecil yang membuat hati Senja terasa hangat. Sebuah pesan singkat yang menanyakan keadaannya, sebuah buku yang diberikan tanpa alasan, atau kehadirannya yang sunyi namun menenangkan.
Senja tahu Damar menyimpan perasaan lebih. Ia bisa merasakannya dari bagaimana Damar selalu memastikan ia baik-baik saja setelah kelas usai, atau bagaimana pria itu bersikeras mengantarnya pulang tanpa pernah bertanya terlalu banyak tentang rumahnya. Damar tidak pernah tahu tentang memar dan sumpah serapah itu, tetapi ia selalu berhasil membuat Senja lupa, setidaknya untuk sesaat, bahwa ia adalah Anak Pembawa Sial bagi ibunya.
Senja tersenyum tipis di tengah air matanya. Damar adalah satu-satunya kemungkinan jalan keluar, tetapi ia belum siap menyerahkan dirinya pada siapapun.
"Bagaimana aku bisa pergi, Yah," bisik Senja pada dirinya sendiri, "jika Ibu akan semakin marah? Bagaimana aku bisa lari? Aku tidak punya apa-apa."
Namun, ia teringat lagi pada tatapan mata ayahnya, yang penuh permohonan. Janji itu kini menjadi beban kedua, beban yang harus ia penuhi. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk kedamaian terakhir Baskara Hadi.
Senja menatap ayahnya, tekad perlahan terbentuk di tengah kesedihan. Ia harus lari. Ia harus mencari Pelita yang bisa melindunginya....