Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecelakaan
Hembusan angin di sore hari usai hujan siang itu terasa sedikit dingin. Sang Surya yang mulai tenggelam membiaskan warna kuning kemerahan, terlihat jelas di sisi barat kota pelajar.
Jalanan masih terlihat ramai oleh kendaraan bermotor, tak terlalu padat. Di perempatan lampu merah sepasang remaja berseragam putih abu-abu duduk di atas motor menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Keduanya tampak akrab, berbicara sembari bersenda gurau, tak peduli dengan pengendara lain di sekitarnya.
Gadis berambut panjang dan berwajah manis di balik helm itu bernama Hanin Dya Pramesti. Gadis itu terlihat begitu ceria saat berbicara. Selalu ada senyum yang terukir di wajahnya, tampak tanpa beban tatkala berbicara dengan pemuda di depannya yang sesekali dia peluk dengan kedua tangannya yang ramping. Bukan kekasih, melainkan saudara laki-lakinya yang usianya terpaut dua tahun lebih tua darinya
Satya Ramadan, pemuda itu berjengit tatkala Hanin tiba-tiba mencubit pinggangnya karena tak terima disebut gadis cerewet.
“Jangan bercanda, Hani, ini di tengah jalan. Bagaimana kalau aku tidak fokus gara-gara ulahmu ini, “ ucap Satya lembut saat Hanin mencubit pinggangnya gemas.
“Kak Satya jangan bilang Hani cerewet lagi,” ujar gadis itu.
“Memang itu kenyataannya kan?”
“Bukan cerewet, Kak, tapi aku ini terlalu pintar bicara tak seperti Kakak yang pelit kata-kata.”
“Bukan pelit, hanya tidak suka banyak bicara. Kecuali, kau melakukan sesuatu yang membuat kakakmu ini kesal, kau bisa sampai bosan mendengarnya.”
“Masuk telinga kanan keluar telinga kiri, Kak,“ balas Hanin, lalu tertawa cekikikan di belakang Satya.
“Awas saja kalau berani,” ancam Satya tak serius. “Sekarang Pegangan yang erat sebentar lagi kita jalan.” Satya mengingatkan. Hanin terdiam seketika menuruti perintah Satya dengan memeluknya erat. Orang yang memandang pun akan mengira mereka adalah sepasang kekasih.
Mereka memang sangat akrab, tak ada batasan, apa lagi membedakan satu sama lain karena usia. Selalu berbagi kebahagiaan dan kesedihan. Selalu terbuka jika ada masalah, itulah yang diajarkan Elvan dan Miranda sebagai orang tua mereka.
Beberapa detik kemudian lampu hijau telah berubah. Mereka berdua yang berada di paling depan telah melaju. Namun, sedetik kemudian dari arah sisi sebelah kanan muncul pengendara motor tak terduga dengan kecepatan tinggi meluncur ke arah mereka seperti anak panah tak bisa dihindari.
Brakk ...!!
Benturan keras dua kendaraan itu pun tak bisa terelakkan lagi. Suasana hening beberapa saat. Waktu seakan berhenti berputar saat tubuh Hanin dan Satya tergeletak di tepi jalan setelah terlempar beberapa meter dari motor mereka, dan sempat kendaraan sport itu meluncur usai tabrakan.
Kejadian itu begitu cepat. Satya membuka matanya beberapa menit kemudian. Seketika yang terlintas dalam pikirannya saat itu adalah Hanin. Satya menebarkan pandangannya ke sekeliling mencari sosok Hanin. Orang-orang mulai berdatangan, mendekati mereka berdua. Satya akhirnya melihat Hanin yang tergeletak diam beberapa meter darinya.
“Hani!” Satya berusaha memanggil, merangkak untuk mendekat. Namun, dirinya tak bisa menahan ketika tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Satya tak sadarkan diri sebelum bisa meraih tangan Hanin.
Orang-orang berdatangan. Memandangi dua tubuh tergeletak di hadapan mereka prihatin dan panik. Seseorang segera menghubungi ambulans dan menghubungi polisi. Yang lain masih belum berani melakukan tindakan. Mereka sempat berdebat, menunggu ambulans mungkin terlalu lama, akhirnya mereka menghentikan mobil yang bersedia untuk membawa tubuh Hanin dan Satya menuju rumah sakit terdekat.
“Penabrak ini apa perlu kita bawa juga?!“ tanya seorang laki-laki saat menemukan tubuh penabrak masuk selokan.
“Tentu saja dibawa, dia orang yang harus bertanggungjawab! Apa dia masih bernafas? “ sahut satu orang pria.
“Ya, sepertinya dia juga pingsan.”
•••
Satya terbangun dengan kaget karena mimpi yang dia alami. Mimpi yang sangat buruk, membuat dahinya berkeringat sebesar biji jagung dan nafas naik turun dengan begitu cepat seolah baru saja berlari ribuan kilometer.
Matanya menerawang ke sekeliling, mencoba menerka di mana ia saat ini. Hingga beberapa detik akhirnya dia menyadari dirinya berada di ruangan rumah sakit. Sepasang matanya kini jatuh pada pergelangan tangannya yang terdapat jarum infus.
Seorang perawat datang dari ujung ruangan lalu bergegas menghampirinya.
“Akhirnya sadar juga, apa yang kamu rasakan? Pusing? Mual atau ..., ” Tanya perawat.
“Terasa pusing,” jawab Satya singkat.
“Kalau begitu akan aku panggilkan dokter.”
Perawat langsung berjalan ke luar, tak menyadari bahwa Satya mencegahnya pergi karena ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. Namun, karena perawat telah terlanjur keluar, Satya berusaha menjawab sendiri pertanyaannya dengan mengingat apa yang telah terjadi hingga dirinya berada di rumah sakit.
Kecelakaan yang dia lihat di dalam mimpinya bukanlah sebuah mimpi, itu kenyataan yang terjadi. Saat sebuah motor dari arah lain meluncur tak terkendali ke arah dirinya dan Hanin. Kejadian yang begitu cepat hingga tak sempat dirinya untuk menghindar.
“Hani, bagaimana keadaannya?”
Satya seketika menyadari Hanin tak berada di ruangan itu bersama dirinya, lalu di mana dia?
Tatapan Satya ia edarkan ke seluruh penjuru ruangan. Dia sadar tak ada siapa pun di ruangan itu kecuali dirinya. Namun, dia masih berusaha mencarinya.
Saat Satya berusaha bangun dan berniat melepas jarum infus dari pergelangan tangannya, datang seorang dokter diikuti perawat seketika mencegah Satya melakukan hal bodoh yang memaksa melepas slang infus.
“Apa yang kau lakukan, kau baru saja sadar dan kondisi belum stabil, jangan melakukan hal yang akan membahayakan keadaanmu semakin parah.” Dokter mencegah kelakuan Satya.
“Saya baik-baik saja, Dok, saya mengkhawatirkan saudara perempuan saya, di mana dia saya ingin melihatnya?”
Pertanyaan menggebu-gebu Satya membuat Dokter Hendric terdiam beberapa saat. Satya menyadari sikap Dokter Hendrick Sepertinya mengetahui sesuatu tentang Hani. Namun, pria itu terlihat enggan untuk berbicara.
“Dok?” Ucap Satya dengan tatapan berharap ada penjelasan dari pria di hadapannya itu.
“Saudaramu masih di ruang operasi, Dokter sedang berusaha menyelamatkannya.”
Belum selesai Dokter Hendrick memberikan penjelasan, datang seorang perawat bersama dua orang pria dan wanita masuk ruangan membawa wajah panik dan tegang. Elvan Bagaskara masih berdiri di depan pintu terlihat kebingungan. Miranda seakan tak ingin membuang waktu bergegas menghampiri Dokter Hendrick dan Satya.
“Dok, bisakah Satya melakukan transfusi darah, saya tahu golongan darahnya cocok dengan Hanin, adiknya, dan saat ini cuma dia yang bisa menolong Hanin, setidaknya untuk memperlancar operasi? “
“Apa Dokter Mario mengatakan itu?” Dokter Hendrick beralih pandangannya pada suster Syifa.
“Benar, Dok, dan itu harus segera dilakukan.” Suster Syifa meyakinkan.
“Kalau begitu lakukan saja asalkan adikku selamat dan jangan buang-buang waktu lagi.” Satya segera beranjak.
“Tunggu, sebentar! Aku pastikan terlebih dahulu keadaanmu memenuhi syarat untuk melakukan transfusi,” cegah Dokter Hendrick
“Sudah saya bilang saya baik-baik saja, Dok, kita tidak punya banyak waktu,” ujar Satya. Raut wajahnya terlihat lebih panik.
“Tetap harus memenuhi prosedur pemeriksaan terlebih dahulu. Suster Syifa pastikan dia benar-benar dalam kondisi sesuai persyaratan.”
“Baik, Dok.”
Satya dibawa menuju ruangan khusus untuk menjalani beberapa tes kesehatan. Miranda dan Elvan menunggu di ruang tunggu masih dipenuhi perasaan tak tenang. Mereka bahkan belum sempat bertemu dengan putrinya saat tiba di rumah sakit karena Hanin harus menjalani operasi dengan segera setelah mendapatkan persetujuan mereka.
Ada secercah harapan saat mendengar keadaan Satya telah memenuhi persyaratan untuk transfusi darah. Itu ada kemungkinan nyawa Hanin bisa tertolong, meskipun setelah beberapa jam berada di ruang operasi masih belum ada tanda-tanda dokter keluar dari ruangan itu.
Elvan menemui Satya di dalam ruang perawatan. Setelah transfusi darah Satya tentu saja harus banyak beristirahat untuk memulihkan kembali tenaganya. Namun, siapa sangka Elvan datang justru memarahi Satya yang masih terlihat lemah itu. Elvan menarik krah piama rumah sakit yang dikenakan Satya tanpa mempedulikan keadaan Satya penuh emosi.
“Apa yang kau lakukan, Satya? Menjaga adikmu saja kamu tidak mampu! Dasar tidak berguna!” Maki Elvan marah.
Miranda buru-buru menarik Elvan, menyingkirkannya dari Satya yang hanya terdiam tanpa melakukan perlawanan. Satya tentu saja merasa bersalah, ditambah amarah ayahnya yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Dan hari itu amarah Elvan telah menyadarkan kelalaiannya dalam menjaga Hanin.
“Ini semua bukan semata-mata kesalahan Satya, Pah. Itu kecelakaan dan Papah tahu sendiri bagaimana kejadiannya dari keterangan saksi mata di kantor polisi.” Miranda berusaha mendinginkan pikiran suaminya yang dilanda emosi. Tak bisa menyalahkan siapa pun dalam situasi seperti itu.
Hanin masih berjuang di ruang operasi. Kondisinya yang membonceng Satya keadaannya justru lebih parah. Itu pun masih sebatas keterangan dari Dokter karena sampai saat itu belum ada dari pihak keluarga diberi kesempatan untuk melihat keadaan Hanin, mengingat gadis remaja itu masih menjalani penanganan darurat.
“Apa kau mau makan sesuatu? Biar Mama belikan di kantin,” ujar Miranda dengan penuh kasih sayang sebagai seorang Ibu yang perhatian.
“Enggak, Mah, Satya hanya ingin melihat keadaan Hani saat ini, “ tolak Satya. Ucapan Elvan dan keadaan Hanin yang kritis membuat selera makan Satya berkurang. Dia takut terjadi apa-apa dengan Hanin. Dirinya khawatir jika adiknya tidak bisa tertolong.
“Sedikit saja, makanlah roti ini untuk memulihkan tenagamu,” bujuk Miranda masih tak menyerah.
Elvan masih berdiri di depan pintu, menyilangkan kedua tangannya di depan dada, terdiam, menahan marah dan pikirannya masih pada Hanin. Kemudian dia menoleh pada Miranda yang tengah membujuk Satya. Mengingat kelakuannya barusan terhadap putranya, Elvan kemudian berjalan menghampiri Satya.
“Maafkan sikap papah sudah marah-marah dan menyalahkanmu,” ucap Elvan Sembari menyentuh bahu Satya yang masih terdiam.
Satya mengulas senyum, ada keterpaksaan di sana. Bukan lantaran marah dengan sikap Elvan terhadap dirinya. Namun, rasa bersalah dan kesal terhadap dirinya sendiri tak bisa membuat senyum yang tulus untuk siapa pun saat ini.
“Makanlah! Kalau kamu kuat dan kembali pulih mungkin kamu akan lebih dibutuhkan untuk menjaga adikmu. Jadi jangan terlalu keras kepala dengan diri sendiri.“ Kali ini Elvan yang berbicara untuk membujuk, meskipun dengan kalimat yang secara tidak langsung. Dan hal itu seketika mengena di hati Satya yang akhirnya bersedia untuk makan walaupun sedikit.