NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:402
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dunia Tanpa Mika

Sudah tiga hari sejak cahaya itu menelan semuanya.

Tiga hari sejak aku kehilangan Sensei.

Atau mungkin bukan “kehilangan”.

Karena setiap kali aku membuka mata, setiap embusan angin, setiap suara ombak… semuanya terdengar seperti dia.

Mika tidak pergi — dia hanya berubah bentuk, menjadi denyut dunia yang sekarang kujalani.

Langit kini benar-benar hidup.

Pagi muncul perlahan, sore menggantinya dengan lembut, dan malam datang dengan bintang-bintang yang bergerak seolah sedang menari.

Waktu kembali berjalan.

Tapi rasanya… terlalu sunyi tanpa suara yang dulu memanggilku “Aki” dengan nada lembut itu.

Aku tinggal di rumah kecil di tepi pantai, tempat yang sama di mana dunia ini pertama kali mulai berdetak.

Pagi-pagi, aku berjalan di pasir yang masih basah oleh sisa ombak.

Laut tenang, tapi kadang aku merasa dia memperhatikanku.

Di setiap ombak yang datang, aku mendengar suara samar:

“Aki…”

Aku berhenti, menatap air. “Sensei?”

Angin menjawab lembut, menyapu rambutku pelan.

Dan di atas air, pantulan langit berubah — membentuk wajahnya sebentar sebelum memudar.

Air mata langsung mengalir, tapi kali ini bukan karena sedih.

Aku tersenyum kecil.

“Jadi kau benar-benar di sini, ya?”

Suara samar itu menjawab seperti bisikan di antara ombak.

“Aku di mana pun waktu bernafas.”

Hari-hari berjalan perlahan.

Waktu terasa berbeda sekarang — bukan seperti jam berdetak, tapi seperti napas.

Kadang cepat, kadang lambat, tapi selalu terasa hidup.

Dan karena waktu kini punya “perasaan”, aku bisa merasakannya juga.

Ketika dunia senang, langit memunculkan pelangi ganda.

Ketika dunia sedih, hujan turun tanpa alasan.

Dan setiap kali hujan turun, aku tahu… itu Sensei.

Aku duduk di teras, menatap hujan pertama bulan ini.

Butir-butirnya jatuh lembut di atap, menimbulkan irama yang hangat.

Aku menutup mata dan membiarkan hujan membasahi wajahku.

Di sela-sela suara hujan, aku mendengar bisikan samar, lembut dan akrab.

“Jaga dunia ini, Aki. Jangan biarkan waktu jadi beban.”

Aku tersenyum. “Aku akan jaga, Sensei. Tapi kadang aku masih rindu.”

“Rindu adalah bentuk waktu yang paling manusiawi.”

“Kalau kau bisa merasakannya, berarti dunia masih hidup.”

Aku tertawa kecil. “Kau selalu punya jawaban, ya?”

“Hanya karena aku belajar dari muridku.”

Air mataku bercampur air hujan, dan untuk pertama kalinya sejak semuanya berakhir… aku tertawa sambil menangis.

Sore itu, seseorang datang ke pantai.

Aku sedang memungut ranting saat melihat siluet seseorang berjalan di kejauhan — seorang pria dengan rambut hitam basah dan mantel panjang.

Jantungku langsung berhenti sesaat.

“Sensei…?”

Aku berlari mendekat, tapi semakin dekat, wajahnya semakin berbeda.

Bukan Mika.

Dia lebih muda, tapi ada sesuatu di matanya yang… familiar.

Pria itu menatapku tenang. “Kau Aki?”

Aku mengangguk ragu. “Kau siapa?”

Dia menunduk sedikit, lalu tersenyum. “Namaku Ren. Aku… terbangun di tengah laut tiga hari lalu. Dan anehnya, aku ingat wajahmu.”

Aku tertegun. “Wajahku?”

Dia mengangguk. “Iya. Dan aku juga dengar suara. Katanya aku harus menemukanmu. Bahwa kau tahu ‘arah waktu’.”

Aku menatapnya tak percaya. “Suara itu… siapa?”

Dia menatap laut. “Lembut, tapi kuat. Kayak suara seseorang yang sudah lama hidup di antara hujan.”

Aku menahan napas. “Sensei…”

Ren menatapku bingung. “Kau kenal dia?”

Aku tersenyum samar. “Lebih dari kenal. Dia yang menciptakan dunia ini.”

Ren terdiam lama, menatap langit yang mulai memerah.

“Aku nggak tahu kenapa aku di sini,” katanya akhirnya. “Tapi aku merasa… seperti pernah punya janji. Janji untuk melindungi sesuatu.”

Aku menatapnya lama. “Mungkin waktu belum selesai bekerja, Ren. Mungkin kau bagian dari kisah yang belum ditulis.”

Dia tersenyum kecil. “Kalau begitu, ajari aku, Aki.”

“Ajari?”

“Ajari aku… cara mendengarkan waktu.”

Malamnya, kami duduk di depan api unggun kecil di pantai.

Suara ombak dan angin bercampur jadi musik yang menenangkan.

Ren menatap bintang, lalu berkata pelan, “Aku nggak punya ingatan apa-apa. Tapi setiap kali aku menatap laut, aku merasa… ada seseorang yang menatap balik, menyuruhku hidup.”

Aku menatapnya. “Itu Sensei. Dia menjaga semuanya dari sini.”

Ren mengangguk. “Mungkin. Tapi anehnya, aku juga merasa dia menitipkan sesuatu padaku.”

Dia membuka telapak tangannya.

Di sana, sebutir pasir perak bersinar lembut — sama seperti cahaya liontin yang dulu Sensei punya.

Jantungku langsung bergetar. “Itu… bagian dari waktu.”

Ren menatapnya bingung. “Bagian dari… waktu?”

Aku mengangguk. “Itu bukti kalau kau bukan orang biasa, Ren. Waktu memilihmu.”

Dia tersenyum tipis. “Atau mungkin dia cuma pengen aku belajar artinya hidup.”

Aku balas tersenyum. “Kalimat itu… persis seperti yang pernah Sensei katakan padaku.”

Kami terdiam lama, menatap langit.

Bintang-bintang malam ini terasa lebih dekat, seolah mereka juga ingin mendengarkan.

Beberapa hari berlalu.

Ren membantu membangun jembatan kecil di tepi pantai, dan setiap pagi kami bicara tentang hal-hal sederhana: laut, angin, dan arti waktu.

Tapi diam-diam, aku tahu — dunia ini mulai berubah lagi.

Burung-burung kadang terbang ke arah yang sama selama berjam-jam, tanpa tujuan.

Ombak mulai mengulang pola yang sama setiap sore, seperti dunia kehilangan spontanitasnya.

Ren juga mulai bermimpi aneh — tentang seseorang bernama “Akira” yang berjalan di antara dua langit.

Aku tahu apa artinya.

Gerbang Langit mungkin sudah tertutup… tapi denyut waktunya masih bergetar.

Dan dunia baru ini, meski indah, masih rapuh.

Aku menatap laut suatu sore dan berbisik,

“Sensei, kalau kau mendengar aku… apa dunia ini sudah benar?”

Angin laut bertiup lembut.

Dan di antara suara ombak, aku mendengar bisikan halus, jauh tapi jelas:

“Dunia tidak pernah benar, Aki. Tapi selama seseorang berusaha menjaganya, ia akan tetap hidup.”

Aku menutup mata, tersenyum, dan menjawab, “Kalau begitu, aku akan terus menjaganya. Untukmu.”

Langit berubah warna jadi ungu, indah seperti lukisan.

Ren berdiri di sampingku, menatap arah yang sama.

“Kau dengar sesuatu?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan. “Iya. Tapi kali ini, bukan cuma suara. Itu… waktu yang bernafas.”

Dia tersenyum samar. “Kalau begitu, biar aku dengarkan juga.”

Kami berdiri berdampingan, membiarkan senja menelan cahaya hari, sementara dunia baru berdetak pelan — bukan lagi karena takut kehilangan, tapi karena ingin terus berjalan.

Dan di antara hembusan angin, aku mendengar lagi suara yang paling kurindukan:

“Bagus, Aki… sekarang waktumu dimulai.”

Aku menatap langit, tersenyum sambil meneteskan air mata.

“Ya, Sensei,” bisikku.

“Sekarang waktuku.”

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!