Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setan Berwujud Manusia
"Anjing lo, Ris! Minuman apa yang elo kasih ke gue semalam?!"
Arunika menggebrak pintu kamar kost dengan brutal. Tubuh rampingnya yang biasanya penuh keanggunan kini terlihat bergetar karena amarah. Rambut hitam sebahunya kusut, sebagian menutupi wajah cantiknya yang memerah karena murka. Mata cokelat gelapnya yang besar menyala penuh kemarahan, bibir tipisnya bergetar hebat menahan emosi.
Di dalam kamar, Risa—teman sekamarnya—hanya melirik dengan santai. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari Arunika bersandar di meja, kulit putih pucatnya kontras dengan kaos oblong hitam lusuh yang ia kenakan. Rambut cokelat terang Risa tergerai berantakan sampai punggung, tapi tatapannya tetap tajam dan dingin. Mata kecil berwarna hazel itu memandang Arunika dengan ejekan tersembunyi.
Risa menatap Arunika dengan tatapan dingin tanpa sedikit pun penyesalan. "Minuman biasa... cuma gue masukin obat bius ke dalamnya," jawabnya datar.
"Teman laknat! Salah gue apa, bangsat?!" Tanpa bisa menahan diri, Arunika melayangkan tamparan keras ke pipi Risa.
Risa memegangi pipinya yang memerah, matanya berkilat marah. "Gue nggak suka sama lu, lonte! Elu tahu gue suka Arsen, tapi kenapa elu pacarin dia?"
Arunika terkesiap. Tamparan Risa tak sebanding dengan pukulan telak yang menghantam dadanya. Amarahnya bercampur aduk dengan rasa sakit yang menyesakkan.
"Lu... serius, Ris?" Suaranya bergetar hebat. "Lu ngelakuin ini... cuma karena gue pacaran sama Arsen?"
Risa mendengus sinis, jemarinya merapikan anak rambut yang berantakan akibat tamparan. "Gue udah suka dia dari lama, Nika! Gue juga udah sering curhat soal Arsen ke elu. Tapi lu—lu yang selalu sok polos, tiba-tiba jadian sama dia tanpa peduli perasaan gue!"
Napas Arunika tercekat di tenggorokan. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya karena luapan emosi, tapi juga karena rasa kecewa yang menusuk jantungnya.
"Jadi... karena itu lu kasih gue obat bius?" Suaranya melemah, nyaris berupa bisikan, namun tatapannya pada Nina tetap tajam, penuh luka.
Risa mengangkat bahu acuh tak acuh. "Gue cuma mau kasih pelajaran ke lu. Biar lu ngerasain gimana rasanya kehilangan kendali. Gue udah muak selalu jadi bayangan lu, Nika!"
Arunika mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Dadanya naik turun dengan cepat, berusaha menahan gelombang amarah yang hampir meluap. "Lu tahu nggak, Ris, yang lu lakuin ini udah ngerusak harga diri gue? Kita udah lama bersahabat... kenapa elu tega ngelakuin ini ke gue?" Air mata mulai menggenangi pelupuk matanya.
Risa tertawa sinis, meremehkan kepedihan Arunika. "Jangan naif, Nika! Seolah-olah gue yang salah di sini, elu yang mulai! Mulai sekarang, kita bukan lagi sahabat. Gue udah muak sama lo, Nika!" Risa membanting tutup koper hingga berbunyi keras. Matanya menantang, memancarkan kebencian yang selama ini tersembunyi.
"Sekarang lo tahu rasanya dikhianati, 'kan? Kayak gimana perasaan gue waktu lo diam-diam jadian sama Arsen."
Amarah dan kepedihan berperang hebat dalam diri Arunika. Ia ingin berteriak histeris, ingin menampar wajah Risa sekali lagi, ingin menghancurkan semua barang di kamar itu sebagai pelampiasan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu semua itu percuma. Persahabatan yang pernah mereka jalin telah hancur berkeping-keping. Kepercayaan yang selama ini ia berikan telah lenyap tak berbekas.
Arunika menarik napas panjang, berusaha keras menenangkan gejolak emosi yang menggerogoti hatinya. "Lo udah dapet yang lo mau, Ris. Sekarang pergi dari sini sebelum gue beneran kehilangan kesabaran."
Risa menyeringai sinis. "Gue juga udah males lihat muka lo." Dengan langkah angkuh, ia menyeret kopernya keluar dari kamar kost, meninggalkan Arunika seorang diri dalam keheningan yang mencekam, dikelilingi oleh puing-puing persahabatan yang hancur.
Begitu pintu tertutup rapat, pertahanan Arunika runtuh. Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah, membasahi pipinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana jika Arsen tahu tentang apa yang terjadi? Bagaimana jika semua orang tahu kehancuran yang ia alami?
Arunika memeluk dirinya sendiri erat-erat, menggigit bibirnya kuat-kuat agar isakannya tidak terdengar terlalu keras. Malam itu, seluruh dunianya terasa runtuh. Kepercayaannya dikhianati oleh orang terdekat, tubuhnya dinodai oleh tipu daya sahabatnya sendiri, dan kini ia terperangkap dalam kesendirian yang menyakitkan di kamar kost yang terasa semakin sempit dan mencekik.
Getaran dari ponsel di atas meja membuyarkan kesedihannya sejenak. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya. Nama Arsen terpampang jelas di layar.
Arsen: “Nika, kamu di mana? Aku udah dari tadi nunggu di kafe.”
Arunika menatap pesan itu untuk waktu yang lama, air matanya terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Akhirnya, dengan jari-jari yang masih bergetar, ia mengetik balasan singkat.
Arunika: “Aku nggak bisa ketemu sekarang.”
Tak lama berselang, ponselnya kembali bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Arsen. Arunika menghela napas berat, keragu-raguan berkecamuk dalam hatinya sebelum akhirnya ia mengangkat panggilan itu.
“Halo?” Suaranya serak dan bergetar, jejak tangis masih terasa jelas.
“Nika, kamu kenapa? Suaramu beda.” Nada suara Arsen terdengar khawatir.
Arunika menggigit bibirnya kuat-kuat. Haruskah ia menceritakan semuanya? Tentang Risa, tentang minuman terkutuk itu, tentang rasa malu dan kehancuran yang kini ia rasakan?
“Aku cuma capek,” akhirnya ia berbohong, kata-kata itu terasa pahit di lidahnya.
Arsen terdiam sejenak, hanya suara napasnya yang terdengar di ujung telepon. “Aku ke kost kamu sekarang.”
“Jangan!” Arunika buru-buru menolak, panik membayangkan Arsen melihat kondisinya saat ini. “Aku cuma butuh waktu sendiri.”
Keheningan kembali menyelimuti percakapan mereka, hanya suara napas Arsen yang terdengar samar.
“Oke,” katanya akhirnya, nada suaranya menunjukkan kekecewaan. “Tapi kalau ada apa-apa, janji bakal cerita ke aku.”
Arunika memejamkan mata, air matanya kembali menetes. Bagaimana ia bisa menjanjikan hal itu, jika bahkan dirinya sendiri belum tahu bagaimana menghadapi kenyataan pahit ini?
Satu hal yang pasti ia rasakan: malam ini telah mengubahnya. Ia bukan lagi Arunika yang sama seperti sebelum Nina mengkhianatinya.
Pandangan Arunika tertuju pada sebuah kartu nama yang tersembunyi di dalam tasnya. Benda itu ia temukan di lantai ,Pria yang telah merenggut kesuciannya menjatuhkan kartu nama itu di kamar hotel tempat ia terbangun dengan kebingungan dan rasa sakit yang tak tertahankan. Sebuah kartu nama bertuliskan Blue Moon Cafe and Resto. Tanpa nama seseorang hanya ada alamat yang tertera di sana.
Arunika menggenggam erat kartu nama itu, buku-buku jarinya memutih. Jantungnya berdebar kencang, memompa darahnya dengan panik. Ribuan pertanyaan berkecamuk di benaknya, saling berebut jawaban. Siapa pemilik kartu nama ini ? Apa sebenarnya yang terjadi semalam? Mengapa ingatannya kosong, hanya menyisakan rasa pusing yang hebat dan tubuhnya yang terasa remuk tak bertenaga?
Suara dering ponsel kembali memecah keheningan kamar kost. Kali ini, nama Tante Rena muncul di layar.
Arunika berusaha sekuat tenaga menghentikan isak tangisnya, tak ingin membuat Tante Rena khawatir dengan kondisinya yang kacau.
“Halo, Nika... kamu di mana, Nak?” Suara Tante Rena terdengar lembut namun penuh kekhawatiran.
“Nika di kamar kost, Tante. Ada apa?” Suara Arunika masih tercekat, berusaha terdengar normal.
“Kamu bisa segera pulang nggak, Nik? Ibu kamu masuk rumah sakit...”
Ucapan Tante Rena bagai petir di siang bolong. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menggema seperti lonceng kematian yang merenggut harapan terakhirnya.
“Ibu... masuk rumah sakit? Kenapa, Tante?” Suaranya nyaris tak terdengar, tangannya mencengkeram erat ponselnya seolah mencari pegangan.
“Kalau kamu pulang nanti Tante jelaskan, intinya kondisi ibumu sangat mengkhawatirkan.” Nada suara Tante Rena semakin membuat hati Arunika mencelos.
Jantung Arunika berdetak tak karuan, memompa darahnya dengan panik. Seakan semua beban yang telah menghancurkannya malam ini belum cukup, kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ibunya—satu-satunya tempat ia mencari perlindungan dan kasih sayang—sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
“Aku akan segera pulang, Tante. Ibu dirawat di rumah sakit mana?” Air mata kembali membasahi pipinya, kali ini bercampur dengan rasa takut yang mendalam.
“Rumah Sakit Bina Kasih. Tante tunggu di sini, ya.”
Tanpa menjawab lagi, Arunika segera bangkit dari tempat tidurnya. Air matanya terus menetes, namun ia tak punya waktu untuk meratap lebih lama. Dengan tangan gemetar, ia meraih tas ranselnya dan memasukkan beberapa potong pakaian dan barang-barang penting seadanya. Kartu nama Blue moon Cafe and Resto masih tergenggam erat di telapak tangannya, sebelum akhirnya ia menyimpannya dengan tergesa-gesa ke dalam saku jaketnya.
Saat keluar dari kamar kost, langkahnya terasa berat dan tertatih-tatih. Seakan beban yang ia pikul malam ini terlalu berat untuk ditanggung seorang diri. Kepalanya berdenyut nyeri, pikirannya dipenuhi oleh tumpukan masalah yang tak tahu harus ia urai dari mana. Pengkhianatan Nina, malam kelam yang memorinya hilang, dan kini kabar buruk tentang ibunya.
Di perjalanan menuju stasiun kereta, pikirannya melayang-layang dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Apa yang menyebabkan ibunya jatuh sakit? Apakah karena kelelahan bekerja keras demi dirinya? Atau adakah sesuatu yang selama ini ibunya sembunyikan darinya? Rasa bersalah dan khawatir bercampur aduk dalam hatinya.
Arunika menggenggam erat tiket kereta di tangannya yang terasa dingin. Stasiun sore itu tampak sepi, hanya beberapa orang yang duduk termenung menunggu kedatangan kereta. Cahaya lampu neon yang redup semakin menambah kesan suram dan melankolis di hatinya.
Pikirannya terus menerus dihantui oleh dua hal yang saling bertentangan namun sama-sama mengkhawatirkan. Tentang Risa yang berkhianat dan kondisi kesehatan ibunya di rumah sakit. Ia masih tidak mampu mengingat secuil pun tentang kejadian malam itu. Bagaimana bisa ia kehilangan kesadarannya sepenuhnya? Siapa pria asing yang telah merenggut kesuciannya itu? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Suara pengumuman dari pengeras suara memecah lamunannya yang kelam.
"Kereta tujuan Bandung... akan segera tiba di jalur tiga..."