NovelToon NovelToon
Arsaka: Sang Kultivator Lintas Dimensi

Arsaka: Sang Kultivator Lintas Dimensi

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Action / Epik Petualangan / Sistem / Fantasi / Light Novel
Popularitas:433
Nilai: 5
Nama Author: Sourcesrc

Nama Tokoh Utama: Arsaka Adyatma

Latar: Dunia Kultivator Jepang (Nihon Reikai), tersembunyi di dimensi lain.

Ringkasan Plot
Arsaka Adyatma, seorang mahasiswa teknik elektro yang realistis dari Jakarta, melakukan perjalanan wisata ke Kyoto, Jepang. Ketika ia menyentuh sebuah Gerbang Kuil kuno yang tersembunyi dimensinya, ia secara tak sengaja ditarik ke dalam Nihon Reikai—Dunia Kultivator Jepang, sebuah dimensi di mana hukum fisika digantikan oleh energi spiritual yang disebut Reiki atau Ki, dan kekuatan menentukan segalanya.

Tiba-tiba terdampar dan dilengkapi dengan sistem antarmuka mirip game yang misterius dan warisan unik Segel Naga Void yang tidak aktif, Arsaka mendapati dirinya berada di dasar rantai makanan. Ia diselamatkan oleh murid-murid dari Sekte Awan Guntur di tepi Kekaisaran Tiga Bintang, yang langsung meragukan asal-usulnya.

Novel ini mengikuti perjalanan Arsaka dari seorang Murid Tahap Awal yang naif menjadi seorang Kaisar Kultivasi yang ditakuti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sourcesrc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1

Pagi di Kyoto membentang dengan kabut tipis yang menyerupai kain sutra putih, memeluk puncak-puncak gunung Higashiyama sebelum diusir perlahan oleh sinar matahari musim gugur yang mulai naik. Udara dingin yang tajam menusuk, membawa aroma dedaunan momiji yang mulai memerah dan keharuman kayu cendana dari kuil-kuil tua. Bagi Arsaka Adyatma, momen ini adalah pencerahan yang nyata, sebuah jeda sempurna dari hiruk-pikuk Jakarta yang selalu dipenuhi polusi dan kebisingan klakson yang memekakkan telinga.

Arsaka, 20 tahun, adalah pemuda khas Indonesia—rambut hitam pekat, kulit sawo matang yang hangat yang kontras dengan warna kulit orang Jepang, dan sepasang mata tajam yang selalu berbinar karena rasa ingin tahu yang tak terpuaskan. Ia mengenakan jaket hoodie abu-abu tebal bermerek lokal, celana jins belel, dan sepatu sneakers yang siap tempur melibas medan. Ia bukan turis biasa yang hanya mencari swafoto estetik untuk media sosial; ia adalah seorang penggemar berat sejarah dan mitologi Asia Timur, terutama yang berkaitan dengan cerita-cerita wuxia dan xianxia yang ia lahap sejak remaja—sebuah pelarian mental yang menyenangkan dari rumus-rumus fisika dan rangkaian elektronik. Perjalanan ke Jepang ini adalah hadiah mahal dari orang tuanya setelah ia berhasil masuk ke salah satu universitas teknik terbaik di Jakarta, sebuah impian yang ia perjuangkan mati-matian dengan bermandikan kopi instan dan begadang.

Hari ini, tujuannya adalah Kuil Hōkoku, sebuah struktur yang didedikasikan untuk Toyotomi Hideyoshi, yang terkenal dengan lonceng perunggu raksasa, Hōkoku-ji Kane, yang beratnya mencapai 74 ton. Arsaka sengaja memilih lokasi yang sedikit terpencil, jauh dari keramaian Gion atau hutan bambu Arashiyama yang sudah terlalu populer. Ia berharap menemukan kedamaian yang mendalam dan mungkin, beberapa artefak sejarah yang tidak terlalu banyak difoto.

Saat ia berjalan menaiki tangga batu yang diselimuti lumut tebal menuju gerbang kuil, sebuah sensasi aneh mulai menjalar. Udara di sekitarnya terasa lebih berat, lebih pekat, hampir seperti berjalan di bawah air. Ia menduga itu hanya kelelahan, efek dari kurang tidur, atau mungkin jet lag yang terlambat datang menghantamnya setelah beberapa hari di Kyoto. Namun, ketika ia melewati Torii pertama—gerbang merah tradisional yang menandai batas antara dunia profan dan sakral—ia merasakan getaran halus di saku celananya. Itu adalah batu akik yang ia bawa dari Indonesia, warisan turun-temurun dari kakeknya yang seorang paranormal amatir. Batu itu, yang konon memiliki kemampuan menenangkan pikiran, kini terasa panas seperti bara yang baru diangkat dari perapian.

"Aneh sekali," gumam Arsaka dalam Bahasa Indonesia, tangannya meraih batu itu. Bentuknya lonjong, berwarna hijau lumut dengan urat keemasan yang berkilauan samar. Ia selalu menganggapnya sebagai jimat biasa, paling banter sebagai gimmick metafisika yang menyenangkan, tidak lebih dari itu.

Di hadapannya kini tegak berdiri Karamon, gerbang utama Kuil Hōkoku. Namun, gerbang yang ia lihat di foto-foto internet, yang merupakan replika yang terawat baik dengan ukiran kayu berwarna keemasan dan cat hitam pekat, sangat berbeda dari apa yang ia lihat saat ini. Gerbang di depannya saat ini... berbeda secara fundamental.

Ia melihat sebuah gerbang kuno yang terbuat dari kayu yang tampak seperti sudah berusia ribuan tahun. Kayu itu berwarna hitam arang, diselimuti oleh aura kegelapan yang tenang, bukan karena kotor, melainkan karena energi yang meresapinya. Bukannya ukiran naga atau bunga peony khas Jepang yang biasa menghiasi gerbang kuil, gerbang ini dihiasi oleh simbol-simbol geometris aneh yang Arsaka yakini bukan dari aksara Jepang, Korea, atau bahkan Tiongkok. Simbol-simbol itu bersinar samar dengan warna biru safir yang berdenyut perlahan, hampir tidak terlihat, seperti bintang yang tenggelam di kedalaman laut.

Tidak ada turis lain. Tidak ada biksu yang menyapu halaman. Bahkan tidak ada suara burung. Hanya keheningan absolut yang memekakkan telinga.

Rasa ingin tahu Arsaka, yang sering kali menjadi pendorong sekaligus kelemahannya, mengalahkan naluri hati-hatinya. Sebagai seorang insinyur, ia selalu tertarik pada anomali, pada sesuatu yang melanggar logika. Ia melangkah maju, tangannya terulur untuk menyentuh kayu gerbang yang misterius itu, mencoba merasakan tekstur kayu purba yang dipenuhi simbol aneh.

Tepat saat ujung jarinya bersentuhan dengan permukaan gerbang, terjadi sesuatu yang melampaui segala pemahaman fisika yang pernah ia pelajari di bangku kuliah.

Simbol-simbol biru itu meledak dalam cahaya, bukan cahaya yang menyilaukan mata, tetapi cahaya yang terasa dingin, menusuk hingga ke tulang, dan entah bagaimana, berbau seperti ozon setelah badai petir. Ia mendengar sebuah suara, bukan suara yang diucapkan melalui pita suara, melainkan suara yang bergema langsung di dalam rongga tengkoraknya, sebuah getaran kosmik yang terasa seperti ribuan lonceng perunggu raksasa yang dibunyikan secara bersamaan di dalam ruang hampa.

"Terpilihlah engkau, Jiwa yang asing. Pintu Dimensi telah terbuka. Panggilan Jikuu no Michi (Jalan Ruang-Waktu) telah dijawab."

Arsaka merasa seolah-olah ia ditarik oleh pusaran air raksasa di dalam dimensi lain. Pandangannya kabur, tubuhnya terasa hampa, dan udara dingin berganti menjadi panas yang mencekik, diikuti oleh sensasi beku yang langsung melumpuhkan syarafnya. Di tengah kekacauan sensorik yang mengerikan itu, ia sempat melihat batu akik hijau di tangannya bersinar terang, memancarkan cahaya hijau yang beradu dengan cahaya biru dari gerbang misterius itu, seolah-olah dua sumber energi purba yang berbeda sedang bertarung untuk menariknya ke arah yang berlawanan.

Beberapa detik kemudian—atau mungkin itu adalah keabadian, ia tidak tahu—semuanya berhenti. Keheningan kembali, tetapi keheningan yang berbeda.

Arsaka terbatuk keras, memuntahkan udara dingin dan membusuk yang terasa seperti debu tua dan bau besi berkarat. Ia mendapati dirinya terbaring telungkup di atas tanah yang keras, bukan di atas batu tangga kuil.

Ia bangkit perlahan, kepalanya berdenyut-denyut seperti baru saja mengalami g-force ekstrem. Matanya beradaptasi dengan lingkungan barunya.

Ia tidak lagi berada di Kuil Hōkoku yang ia kenal.

Ia berada di sebuah hutan yang tak dikenal. Pepohonan di sekitarnya sangat tinggi, menjulang jauh lebih besar dari pohon-pohon cedar Jepang biasa, dengan cabang-cabang yang melengkung aneh dan daun-daun yang memancarkan kilau perak di bawah sinar matahari yang aneh—matahari di sini tampak lebih besar, lebih pucat, dan cahayanya memiliki semburat ungu tipis.

Udara di sekitarnya dipenuhi energi. Arsaka tidak tahu bagaimana mendefinisikannya, tetapi ia bisa merasakannya. Energi itu seperti udara yang dimampatkan, terasa menyejukkan dan memulihkan. Seluruh tubuhnya, yang tadinya lelah karena perjalanan dan syok dimensional, kini terasa segar. Bahkan jet lag kronisnya lenyap seketika.

Insting pertama Arsaka adalah panik. Ia adalah mahasiswa teknik, bukan karakter novel fantasi. Ia mencoba mengeluarkan ponselnya—iPhone 13 Pro Max yang canggih yang berisi semua kenangan dan peta digitalnya.

Layar ponselnya mati total. Baterainya penuh, tetapi tidak ada sinyal. Bahkan ia tidak bisa menyalakannya. Seolah-olah perangkat elektroniknya telah menjadi benda mati, sebuah batu bata modern yang tidak berguna.

"Sialan! Di mana aku? Ini tidak masuk akal!" Arsaka mengutuk dalam Bahasa Indonesia, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Ia beralih ke Bahasa Jepang yang ia pelajari dari anime dan kursus singkat, " Koko wa doko desu ka? (Di mana tempat ini?)"

Tidak ada jawaban. Hanya suara desiran angin dingin di antara daun-daun perak yang gemerisik.

Ia mulai mengamati sekelilingnya lebih teliti. Di kejauhan, ia melihat siluet pegunungan yang menjulang tinggi secara tidak wajar, puncaknya diselimuti salju abadi meskipun iklim di hutan itu cukup hangat. Salah satu puncak itu terlihat seperti cakar naga raksasa yang mencengkeram langit. Pemandangan itu, meskipun menakjubkan, sangat asing.

Saat itulah Arsaka melihatnya—sebuah tablet batu yang ditancapkan ke tanah tepat di samping tempat ia mendarat. Tablet itu tingginya sekitar satu meter, terbuat dari batu giok hitam yang mengkilap, dan di atasnya terukir aksara yang sama persis dengan yang ia lihat di gerbang kuil tadi.

Dengan ragu, ia mendekat. Tiba-tiba, aksara giok itu bersinar biru. Sekali lagi, suara yang menggema di dalam kepalanya muncul, kali ini lebih jelas, lebih terstruktur, dan yang mengejutkan, dalam Bahasa Indonesia yang formal dan kuno, dengan aksen yang megah.

"Selamat datang, Arsaka Adyatma, Penjaga Takdir. Engkau telah melangkah ke Shinsekai (Dunia Baru)—Dunia Para Kultivator, yang dikenal oleh penduduknya sebagai Nihon Reikai atau Alam Spiritual Jepang. Garis waktu di sini melenceng ribuan tahun dari duniamu."

Arsaka hampir jatuh terduduk. Ia mencubit lengannya dengan keras. Sakit. "Alam Spiritual Jepang? Kultivator? Apa-apaan ini? Apakah aku sedang mengalami delusi massal?"

Suara itu melanjutkan, mengabaikan pertanyaan Arsaka dengan nada otoritatif.

"Gerbang yang engkau lewati adalah Jikuu no Tsubasa, Sayap Ruang-Waktu, yang tersembunyi di bawah dimensi Kuil Hōkoku di duniamu. Gerbang ini hanya terbuka jika ada Jiwa Asing dengan Ki yang kuat, tetapi tidak terolah, yang menyentuhnya. Engkau memiliki potensi itu."

"Engkau sekarang berada di Hutan Bayangan Naga, di tepi Kekaisaran Kultivasi Tiga Bintang, sebuah wilayah yang dikenal sebagai Tanah Belakang yang terpencil. Kehidupan di sini diatur oleh energi spiritual, Reiki (Ki), dan mereka yang dapat memanipulasinya disebut Kultivator atau Shugyōsha."

"Dunia ini dipenuhi dengan bahaya—binatang buas mistis, faksi-faksi kultivasi yang saling berperang, dan hukum rimba yang kejam. Pengetahuan ilmiahmu dari Bumi tidak berlaku di sini. Hanya kekuatan spiritual yang akan menyelamatkanmu."

"Sebagai kompensasi atas perpindahan dimensi yang tak disengaja ini, Warisan telah diaktifkan dalam dirimu."

Tiba-tiba, Arsaka merasakan sakit yang luar biasa di bagian dahinya, seolah-olah ada jarum panas yang menusuk otaknya, menggabungkan sensasi migrain terburuk dengan kejutan listrik. Ia menjerit kesakitan dan berlutut, memegangi kepalanya, menggigit bibirnya hingga berdarah.

Ketika rasa sakit itu mereda, muncul sebuah antarmuka yang tembus pandang, hanya terlihat olehnya, melayang di udara di depan matanya—persis seperti game Role-Playing (RPG) yang sering ia mainkan di laptopnya, tetapi dengan detail yang mengerikan.

[STATUS KULTIVATOR]

Nama: Arsaka Adyatma

Asal: Bumi (Dimensi ke-3)

Umur: 20 tahun

Energi Spiritual (Reiki): 10/100 (Sangat Lemah)

Tingkat Kultivasi: Murid Tahap Awal (Fase 1 dari 10 Tingkat)

Garis Keturunan (Warisan): Segel Naga Void (Tidak Aktif)

Elemen Bawaan: Petir (Mutasi Langka), Tanah (Primer)

Keahlian Khusus: Sistem Antarmuka Lintas Dimensi (Aktif)

Teknik Kultivasi: Belum Ada

Teknik Bela Diri: Belum Ada

Warisan Khusus: Batu Akik Penenang (Terkunci)

[PEMBERITAHUAN SISTEM]

Quest Utama Awal: Bertahan Hidup dan Mencari Kota Manusia Terdekat.

Hadiah: Teknik Kultivasi Dasar Mugen Kyūki (Penyerapan Tak Terbatas).

Kegagalan: Kematian.

Batas Waktu: 72 Jam.

Arsaka menelan ludah. Wajahnya yang tadinya bingung kini pucat pasi karena ketakutan yang dingin dan logis. Ini bukan mimpi. Ini adalah realitas baru yang kejam dan absurd, tetapi terstruktur.

"Sistem... Reiki... Murid Tahap Awal... Ini benar-benar dunia kultivasi seperti di novel!" gumamnya, otaknya yang insinyur mulai bekerja cepat, memproses data yang mustahil ini menjadi input dan output yang bisa ia pahami.

Ia kembali menyentuh tablet batu itu, yang kini terasa dingin. Sekali lagi, suara itu muncul, kali ini terdengar seperti perpisahan yang terakhir.

"Batu Akik Penenang yang engkau miliki adalah pecahan dari Inti Formasi Dimensi. Energi di dalamnya terlampau besar untukmu saat ini. Ia berfungsi sebagai Penanda Dimensi dan kunci potensimu. Rawat dan tingkatkan Reiki-mu hingga batas yang ditentukan untuk membukanya. Ingatlah, Arsaka. Kekuatanmu adalah pengetahuanmu. Keberanianmu adalah kunci kultivasimu. Selamat berjuang."

Cahaya biru di tablet itu meredup, dan batu itu mulai retak dengan suara krek yang pelan. Dalam hitungan detik, batu itu berubah menjadi abu halus yang diterbangkan angin, meninggalkan jejak panas di tanah. Arsaka kini benar-benar sendirian, tanpa pemandu, tanpa peta, tanpa sinyal ponsel.

Rasa lapar dan haus mulai menyerang dengan brutal. Kelelahan yang ia pikir hilang ternyata hanya tertahan sementara oleh kejutan dimensi. Ia menyadari ia harus bergerak. Quest Utama sistem itu jelas: Bertahan Hidup.

Ia melihat ke sekitar. Hutan ini terlalu sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada dengungan serangga, tidak ada tanda-tanda ekosistem normal. Hanya keheningan yang mengancam, seperti alam raya sedang menahan napas. Arsaka memutuskan arah pergerakannya—ke arah matahari yang pucat itu terbit, yang ia harap membawanya ke timur, tempat peradaban biasanya berpusat.

Langkah pertamanya terasa berat, tetapi ia memaksakan diri. Ia harus bertindak.

Sambil berjalan, ia mulai mencoba memahami "Sistem Antarmuka Lintas Dimensi." Ia berkonsentrasi, membayangkan antarmuka itu, dan tiba-tiba, sebuah tab baru muncul, lebih detail.

[INVENTARIS]

Hoodie dan Pakaian Biasa (Tidak Berguna untuk Pertahanan)

iPhone 13 Pro Max (Komponen Mati)

Dompet (Berisi Uang Rupiah dan Yen — Tidak Ada Nilai)

Batu Akik Penenang (Terintegrasi ke dalam Jiwa. Tingkat Reiki Diperlukan untuk Aktivasi: 1000/1000)

[TEKNIK KULTIVASI]

Kosong

[TEKNIK BELA DIRI]

Kosong

"Sial. Aku bahkan tidak punya pisau saku, apalagi pedang kuno," Arsaka mendesah frustrasi. "Sistem, bagaimana cara aku mendapatkan Reiki? Aku harus naik level, kan?"

Sistem, meskipun hanya berupa antarmuka, tampaknya responsif dan praktis.

[PEMBERITAHUAN SISTEM]

Untuk meningkatkan Reiki (Energi Spiritual), Anda harus melakukan Kultivasi.

Kultivasi adalah proses menyerap Reiki dari lingkungan (Reikai) ke dalam Dantian (titik energi di perut bagian bawah).

Anda belum memiliki Teknik Kultivasi Dasar.

Peringatan: Reiki di lingkungan Hutan Bayangan Naga sangat tipis dan tercemar oleh aura Yōkai (Roh Jahat). Mencoba menyerapnya tanpa teknik yang tepat dapat merusak Dantian Anda secara permanen.

Solusi: Selesaikan Quest Utama Awal untuk mendapatkan Teknik Dasar.

"Oke, jadi aku harus bertahan hidup, sampai ke kota, dan baru bisa mulai berlatih," simpul Arsaka. Ia merasakan kekecewaan yang mendalam, tetapi sebagai mahasiswa yang terbiasa begadang dan menghadapi masalah teknis yang rumit dalam waktu sempit, ia memiliki ketahanan mental yang tinggi. Ia hanya perlu menganggap ini sebagai project terbesar dalam hidupnya.

Ia melanjutkan perjalanan. Setelah sekitar satu jam berjalan, ia mulai melihat tanda-tanda kehidupan yang menakutkan, yang sekaligus membenarkan peringatan Sistem.

Di batang pohon besar, ia melihat bekas cakaran raksasa yang panjangnya hampir satu meter. Bekas cakaran itu begitu dalam, seolah-olah bilah pedang telah mengukirnya menembus kulit kayu yang keras. Dari ukurannya, Arsaka memperkirakan makhluk yang melakukannya pasti seukuran kuda besar atau bahkan mobil kecil.

Ketakutan dingin kembali merayapi tulang punggungnya. Ia mulai bergerak lebih hati-hati, berusaha untuk tidak menginjak ranting kering yang bisa menimbulkan suara.

Tiba-tiba, ia mendengar suara gemerisik yang keras dari semak-semak di depannya, diikuti oleh suara mendesis yang rendah. Itu bukan suara kelinci atau tupai. Itu adalah suara daun-daun dan semak yang disobek oleh sesuatu yang besar dan bergerak cepat dengan tujuan predator.

Arsaka membeku. Ia tahu ia tidak punya kesempatan untuk melarikan diri jika itu adalah makhluk buas biasa, apalagi Binatang Setan. Ia mundur perlahan, matanya terpaku pada semak-semak itu.

Sebuah bayangan merah tiba-tiba melesat keluar. Itu adalah sejenis serigala, tetapi ukurannya hampir dua kali lipat serigala biasa, dengan bulu merah menyala yang tampak seperti api yang tenang dan sepasang mata kuning neon yang memancarkan kebencian murni. Lebih menakutkan lagi, ia memiliki sepasang tanduk kecil yang melengkung seperti sabit di dahinya.

[PEMBERITAHUAN SISTEM]

Musuh Terdeteksi: Serigala Merah Hutan (Mori Ketsurō).

Tingkat Energi Spiritual: Murid Tahap Menengah (Fase 4).

Peringatan: Bahaya Tinggi! Musuh ini 400% lebih kuat dari Anda! Tidak ada peluang dalam pertarungan langsung!

Serigala itu tidak mengeluarkan suara gonggongan. Ia mengeluarkan suara geraman rendah yang mengguncang tanah, lalu tanpa ragu, melompat dengan kecepatan mencengangkan ke arah Arsaka.

Arsaka, dalam kepanikan yang luar biasa, tidak punya waktu untuk berpikir. Secara naluriah, ia mengangkat kedua tangannya ke atas, seperti mencoba menangkis serangan mendadak.

Pada saat itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Bukan karena kekuatan fisiknya, tetapi karena warisan yang baru saja diaktifkan.

Batu akik hijau yang kini terintegrasi di dalam jiwanya bereaksi terhadap rasa takut akan kematian yang mendalam. Sebuah energi kebiruan tipis yang nyaris tak terlihat melilit tubuh Arsaka, hanya bertahan selama seperseratus detik.

Serigala Merah itu, yang seharusnya menghantamnya dan merobek tenggorokannya, tiba-tiba terpental mundur seolah-olah menabrak dinding tak terlihat yang terbuat dari kristal, mengeluarkan erangan kesakitan yang melengking saat ia jatuh ke tanah dengan keras.

Arsaka terkejut. Ia melihat ke tangannya, lalu ke serigala yang kini sedang merangkak, matanya yang kuning penuh kebingungan, seolah-olah ia tidak mengerti mengapa mangsanya memiliki perisai yang tak terlihat.

"A-apa yang terjadi?"

[PEMBERITAHUAN SISTEM]

Warisan Terpicu: Perlindungan Void Level Awal.

Efek: Menggunakan 100% dari total Reiki (10/10) untuk memanifestasikan Penghalang Energi Murni.

Keterangan: Efek ini hanya dapat digunakan sekali per hari pada tingkat Reiki Anda saat ini.

Peringatan: Reiki Anda sekarang adalah 0/100. Anda sangat rentan!

Arsaka tidak membuang waktu untuk mencerna informasi itu. Ia sadar ia baru saja menggunakan cheat sekali pakai yang harus diisi ulang selama 24 jam. Ia harus lari!

Serigala Merah itu, meskipun kesakitan, kini pulih. Ia menatap Arsaka dengan kemarahan yang membara karena merasa dipermainkan. Ia berjongkok, siap melompat lagi.

Arsaka berbalik dan lari secepat yang ia bisa, tanpa memedulikan arah, hanya berjuang untuk menjaga dirinya tetap tegak. Ia berlari menerobos semak-semak dan akar pohon, jantungnya berdebar kencang seolah akan keluar dari dadanya.

Ia mendengar suara langkah kaki serigala di belakangnya, suara yang semakin mendekat dan semakin cepat. Kecepatan Binatang Setan itu jauh melampaui kemampuan lari maraton Arsaka.

Saat putus asa mencapai puncaknya, Arsaka melihat seberkas cahaya terang di kejauhan, di antara pepohonan. Itu tampak seperti jalan setapak yang ditata, mungkin buatan manusia, atau bahkan... sebuah jurang.

Ia memacu kakinya, mengabaikan rasa sakit dan tusukan ranting di kulitnya.

Tiba-tiba, ia keluar dari hutan lebat dan mendapati dirinya di tepi sebuah jurang yang curam dan dalam. Di seberang jurang itu, terbentang sebuah lembah yang indah, dan di tengah lembah itu, terlihat sekelompok bangunan tradisional Jepang kuno dengan atap genteng hitam dan kayu merah. Itu adalah sebuah desa atau mungkin sebuah sekte kultivasi.

Ia telah menemukan jalan!

Namun, tidak ada waktu untuk bersorak. Serigala Merah itu sudah berada hanya beberapa meter di belakangnya, napasnya yang panas dan berbau darah menyentuh leher Arsaka, bersiap untuk menerkam dan mencabik-cabiknya.

Serigala itu melompat.

Arsaka hanya bisa menutup matanya, mengucapkan selamat tinggal yang sunyi pada Jakarta dan orang tuanya, bersiap untuk akhir hidupnya yang terlalu singkat dan konyol di dimensi lain.

Tiba-tiba, dari arah lembah itu, melesat sebuah bayangan hitam.

Syuuut!

Bayangan itu adalah sebilah panah hitam yang terbuat dari logam yang sangat mengkilap. Panah itu menembus udara dengan kecepatan supersonik dan menghantam Serigala Merah tepat di antara kedua matanya. Panah itu tidak hanya menusuk; ia melepaskan ledakan energi Reiki yang terkompresi.

BUM!

Serigala itu tidak mengeluarkan suara. Tubuhnya yang besar ambruk di udara dan jatuh ke tanah dengan dentuman yang keras, debu beterbangan. Energi spiritualnya langsung menghilang, matanya yang tadinya kuning neon kini menjadi keruh dan gelap.

Arsaka membuka matanya. Ia terhuyung mundur karena kaget, menatap mayat serigala yang telah berubah menjadi bangkai biasa, kepala Binatang Setan itu telah remuk.

Di ujung jalan setapak di seberang jurang, kini berdiri tiga sosok yang mengenakan jubah putih bersih yang dibordir dengan lambang awan hitam yang megah di dada mereka. Mereka tampak muda, mungkin seusia Arsaka. Di tangan salah satunya—seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang diikat ekor kuda tinggi dan mata cokelat yang dingin—terpegang busur panjang yang elegan yang baru saja melesatkan panah mematikan itu.

Gadis itu, dengan wajah serius dan dingin, berbicara dalam bahasa Jepang yang terdengar sangat kuno dan formal, sebuah dialek yang Arsaka hanya dengar di film-film samurai.

"Siapa kau, orang asing? Dan mengapa kau dikejar oleh Binatang Setan Level Rendah dari Hutan Terlarang? Kau berhutang penjelasan pada kami, murid-murid dari Sekte Awan Guntur."

Arsaka Adyatma, yang Reiki-nya kini kosong, berdiri di tepi jurang, basah oleh keringat dingin, melihat ke seberang jurang kematian. Ia melihat harapan, tetapi juga ancaman baru. Ia hanya bisa berkata, suaranya parau:

"A-aku... aku dari Jakarta..."

....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!