Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1.
Akhri dari awal sebenarnya....
"Penerbangan dari Tokyo tadi lumayan lancar. Aku sempat lihat bintang. Banyak sekali." Kata Asmara sembari tersenyum manis.
Laki-laki yang duduk di sebelahnya, hanya menatap ke depan, ia bergumam lirih.
"Aku tidak bisa, Asmara."
Asmara menghela napas.
"Tidak bisa apa, Van? apa kamu baru saja mencoba bicara pada Ayahmu, lagi ?
Devanka menoleh, matanya terlihat lelah.
"Maaf.. Aku... aku tidak bisa meyakinkan mereka. Mereka bilang, ini bukan soal cinta, tapi soal masa depan. Soal keyakinan yang kita bawa ke anak-anak kita nanti."
"Lalu? Apa maumu sekarang ?apa kita harus menyerah begitu saja? Tiga tahun ini, Devanka. Tiga tahun kita jalani ini bersama-sama. Hanya untuk berakhir karena... karena perbedaan yang sudah kita tahu sejak awal?" suara Asmara bergetar.
"Aku tahu, Sayang. Aku tahu. Tapi aku juga tidak bisa memilih antara kamu dan keluargaku. Ini seperti... meminta aku membelah diri." kata Devanka dengan raut wajah gusar.
Asmara menarik napas dalam-dalam, menatap Devanka lekat-lekat.
"Aku tidak memintamu membelah diri. Aku hanya memintamu untuk berjuang bersamaku. Aku tidak pernah memintamu untuk berubah, Devanka. Tapi ternyata sekarang mereka memintaku pergi."
Devanka menggenggam tangan Asmara erat.
"Jika ada cara, Asmara. Percayalah, aku akan melakukan apa pun. Tapi ini buntu. Ayah bilang, jika aku tetap bersamamu, mereka tidak akan pernah merestui."
Asmara melepaskan genggaman tangannya, air mata mulai menetes.
"Jadi, apa ini berarti jika kita harus benar-benar berhenti ?"
Devanka menunduk, suaranya tercekat.
"Aku... aku tidak tahu lagi, Asmara. Tolong berikan aku waktu. Untuk mencari jalan. Atau..." Devanka mengangkat kepala, menatap Asmara dengan tatapan penuh rasa sakit.
Asmara mengangguk perlahan, meski hatinya terasa hancur.
"Baiklah. Aku akan memberimu waktu. Tapi ingat, Devanka. Waktu bukan cuma menyembuhkan, waktu juga bisa membuat orang lupa bagaimana rasanya berjuang untuk cinta."
...✈️🌸✈️...
Setelah percakapan itu, jarak mulai tercipta. Asmara semakin sibuk dengan jadwal penerbangannya. Ia sering meminta jadwal terbang lebih padat, seolah ingin menghindari kenyataan yang menunggunya di darat. Di ketinggian jarak 30.000 kaki, di antara senyum para penumpang dan suara mesin pesawat, Asmara mencoba melupakan kekosongan di hatinya.
Hingga suatu hari, di sebuah kota di luar negeri, ia mendapat pesan dari Devanka. Pesan itu hanya berisi foto dan sebuah kalimat pendek. Foto itu adalah tangan Arjuna dan seorang wanita lain. Kalimatnya berbunyi,
^^^"Ini pilihanku, As. Maaf."'^^^
Dunia Asmara runtuh.
Asmara menangis di kamar hotelnya yang asing. Ia merasa seperti pesawat yang kehilangan arah. Cinta yang ia kira akan menjadi tujuan, ternyata hanya persinggahan sementara. Patah hati ini jauh lebih menyakitkan daripada jetlag terburuk sekalipun.
Setelah badai tangisnya reda, Asmara melihat ke cermin. Ia melihat seorang wanita yang lebih kuat. Wanita yang sadar bahwa kebahagiaannya bukan lagi tergantung pada restu orang lain, melainkan pada dirinya sendiri.
...✈️🌸✈️...
Dua tahun kemudian, Asmara tidak lagi sama. Ia kini adalah senior pramugari yang disegani. Senyumnya tidak lagi hanya sekadar formalitas, tapi terpancar dari hati yang tulus. Ia masih bekerja meniti karir di ketinggian, tapi kakinya kini lebih kokoh jika harus kembali untuk menjejak bumi. Ia belajar mencintai dirinya sendiri, dan menemukan kedamaian dalam kesendirian.
Suatu hari, di terminal kedatangan, ia tak sengaja berpapasan dengan Devanka. Pria itu tampak berbeda, lebih tua dan raut wajahnya terlihat lelah. Di sampingnya, ada seorang wanita berhijab yang tersenyum padanya. Asmara membalas senyum itu.
Devanka menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. "As... kamu terlihat bahagia."
Asmara tersenyum, senyum yang tulus, bukan senyum formal. "Aku memang bahagia, Devan. Dan kamu? Semoga kamu juga bahagia."
Asmara berjalan melewatinya, melangkah menuju gerbang keberangkatan. Ia tidak lagi melihat ke belakang. Ia tahu, kebahagiaannya bukan di terminal kedatangan, tapi di langit yang luas, di mana ia bisa terbang bebas tanpa batasan. Di antara awan, ia menemukan dirinya yang sejati.
Asmara melanjutkan langkahnya, berjalan tegap di koridor, beberapa kolega masih saja memandangnya aneh setiap kali ia melangkahi Devanka dan istrinya tanpa menoleh. Hatinya telah berdamai. Ia telah menutup pintu masa lalu itu rapat-rapat. Tujuan hidupnya kini lebih jelas, terbang tinggi, mencapai impian-impian baru yang tak terikat pada orang lain.
Saat ia berbelok di salah satu lorong menuju ruang kru, tiba-tiba seorang pria berpapasan dengannya. Tubuhnya tinggi semampai, mengenakan seragam pilot baru yang rapi, dengan pangkat yang berkilauan di pundaknya. Wajahnya... memang tampan, seperti pahatan dewa-dewa Yunani, dengan rahang tegas dan hidung mancung.
Namun, ada aura dingin yang menyelubungi. Sorot matanya tajam, seolah sedang memindai setiap inci sekitarnya, namun tanpa emosi. Bibirnya terkatup rapat, menciptakan garis lurus yang kaku.
Asmara melihatnya sekilas. "Pilot baru, ya?" batinnya datar.
Memang, beberapa hari terakhir ini gosip tentang pilot baru yang katanya "tampan tapi beku" sudah menyebar di kalangan pramugari. Beberapa bahkan sempat histeris melihat ketampanannya, tapi tidak bagi Asmara. Baginya, ketampanan tanpa kehangatan adalah sesuatu yang... membosankan.
Ia hanya mengangguk sopan, melewati pria itu tanpa kesan berarti.
Pria itu adalah Kapten Ryan.
Kapten Ryan Pratama.
Ryan yang berada di sisi lain, sempat melirik Asmara. Seorang pramugari yang berparas cantik, bermake up natural. Ia tak melihat tatapan kagum atau rasa ingin tahu yang biasa ia terima dari kru wanita lain. Hanya sebuah anggukan profesional yang nyaris tak terlihat. dan Itu menarik perhatiannya, sejenak. Namun, seperti biasanya, ia mengabaikannya, melanjutkan langkahnya dengan ekspresi dingin yang tak berubah.
Beberapa hari kemudian, Asmara mendapat jadwal penerbangan ke Sydney. Kali ini, ia bertugas di kelas bisnis.
Seperti biasa, ia memastikan segala persiapan berjalan lancar, dari ketersediaan majalah hingga suhu kabin.
Saat ia sedang sibuk memeriksa isi galley—dapur pesawat—sebelum penumpang masuk, pintu kokpit terbuka.
Ryan keluar, memegang cangkir kopi panas di tangannya. Raut wajahnya masih sama, kaku dan tanpa ekspresi, seolah ia baru saja terbangun dari tidur yang tidak nyaman. Ia berjalan menuju konter galley, tak menyadari ada Asmara yang sedang membungkuk di balik meja, mengambil beberapa sachet teh herbal.
Tiba-tiba, pesawat mengalami sedikit guncangan saat roda pendaratan bergerak di runway. Ryan yang sedang melamun, kehilangan keseimbangan sesaat. Cangkir kopi di tangannya terlepas!
Panik, Asmara refleks menegakkan tubuh. Ia melihat cangkir itu terbang ke arahnya. Tanpa berpikir panjang, ia mengulurkan tangannya, mencoba menangkap atau setidaknya menahan agar kopi panas itu tidak tumpah ke lantai atau, lebih buruk lagi, mengenai instrumen pesawat.
DUK!
Cangkir kopi itu memang tidak tumpah ke lantai, tetapi mengenai tangan Asmara dengan cukup keras. Untungnya, kopi yang tumpah tidak terlalu banyak. Namun, rasa panas dan perih langsung menjalar di punggung tangannya yang kini memerah.
Asmara meringis kecil. "Aduh!"
Ryan yang sedari tadi terkejut, kini menatap Asmara dengan mata sedikit melebar. Itu adalah ekspresi paling jelas yang pernah ia tunjukkan sejak pertama kali ia bergabung.
"Maaf. Anda... baik-baik saja?" kata Ryan dengan nada datar, namun ada sedikit keterkejutan.
Asmara mengibas-ngibaskan tangannya yang perih. Ia menatap Ryan dengan tatapan kesal, campuran antara rasa sakit dan jengkel.
"Menurut Anda? Tangan saya barusan jadi sasaran empuk kopi panas Anda, Kapten!" jawab Asmara sedikit ketus.
Ryan menunduk melihat tangan Asmara yang memerah. Kemudian, pandangannya kembali ke mata Asmara. Untuk pertama kalinya, Asmara melihat sedikit... sesuatu di mata dingin itu.
Entah itu rasa bersalah, atau mungkin terkejut.
Ryan berkata dengan nada suara sedikit melunak meski masih terdengar kaku. "Saya tidak sengaja. Biar saya lihat."
Ia melangkah mendekat, namun Asmara mundur selangkah.
"Tidak perlu. Saya bisa mengurusnya sendiri."
Ia mengambil beberapa lembar tisu dari dispenser, membasahinya sedikit, dan menempelkannya perlahan ke tangannya yang sakit.
Ryan hanya berdiri diam, mengamati. Ekspresi datarnya perlahan kembali, namun matanya tetap fokus pada Asmara. Ada sesuatu dalam respons pramugari ini yang berbeda. Tidak ada raut kaget berlebihan, tidak ada rengekan, hanya kejengkelan jujur dan kemandirian.
Ia bahkan tidak berusaha mencuri perhatian atau memuji ketampanannya setelah insiden ini.
Setelah beberapa saat hening, Ryan kembali bersuara. "Seragam Anda juga sedikit terkena noda. Anda harus menggantinya."
Asmara melirik noda kopi kecil di lengannya.
"Nanti saja. Sekarang saya harus memastikan semua siap sebelum boarding."
Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, mengabaikan Ryan yang masih berdiri di sana.
Pilot itu masih diam, namun ada kerutan samar di dahinya. Ia masih memikirkan respons Asmara. Gadis itu tidak peduli dengan siapa dia, seorang kapten pilot tampan yang baru. Dia hanya fokus pada pekerjaannya, dan sedikit kesal karena ulahnya.
Menarik. Pikir Ryan. Selama ini, semua wanita memperlakukannya dengan cara yang sama, kagum, penasaran, atau mencoba menarik perhatian. Asmara adalah yang pertama yang memperlakukannya... biasa saja, bahkan cenderung jengkel.
Ketika Asmara berbalik untuk mengambil sesuatu, Ryan sudah tidak ada. Ia kembali ke kokpit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tapi ada sesuatu yang berbeda di benaknya. Sosok pramugari dengan tangan memerah itu, dan tatapan kesalnya, terukir jelas.
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung^^^