 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Malam mulai terasa sunyi, hanya terdengar jam dinding dan suara angin yang berhembus, di ruang kamar ini seorang istri masih berada diatas sajadahnya, tangannya masih bergerak perlahan memutar butiran tasbih dengan mulut yang melafalkan dzikir.
Entah sampai kapan Aisy duduk berlama-lama dengan mukena yang masih menempel di seluruh tubuhnya, hatinya terasa hampa setelah dua hari suaminya itu tidak kunjung pulang, matanya menatap nanar bahkan ia sudah tidak tahu lagi untuk meminta doa yang seperti apa hatinya terasa sudah lelah untuk meminta agar suaminya itu pulang dan melihat dirinya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Aku sudah berusaha, namun jika Mas Reyhan melanggar janjinya demi keluarganya, maka akan ku pastikan dia kehilangan jati diriku yang sesungguhnya," ucapnya bagaikan belati yang akan menyakiti dirinya sendiri.
Entah berapa lama Aisy mulai terasa lelah, ia pun hendak meneguk segelas air putih yang ada di nakas kecil tadi ia siapkan, tangannya mulai terulur untuk meneguk air putih itu, namun entah kenapa, dahaganya tidak kunjung teratasi.
"Aku haus tapi kenapa air putih ini seolah tidak bisa menyegarkan tenggorokanku," ucapnya sendiri lalu meletakkan gelas itu kembali.
Tidak berselang lama, ia mendengar handphone berdering, matanya sedikit melirik, ia berharap pesan itu dasi suaminya yang mungkin baru bisa mengabarinya karena padatnya pekerjaan, akan tetapi di saat jari telunjuknya menggeser tombol kunci, hatinya begitu tercengang.
Dengan tangan yang gemetar Aisy mencoba untuk menyimak detik demi detik video itu, penyambutan yang begitu meriah, serta senyum sumringah yang tergambar jelas dari wajah keluarga besar suaminya.
Aisy mulai menyoroti genggaman tangan yang tidak asing lagi baginya. Ya tangan kokoh itu yang terbiasa menggenggam tangannya kini mulai beralih menggenggam tangan wanita lain, air matanya jatuh tak terbendung, tanpa ada yang tahu bagaimana sakitnya hati seorang istri, yang pengorbanannya menjadi sia-sia hanya karena seorang anak.
"Di- dia sudah benar-benar mengingkari janji dan tidak menghiraukan perkataanku," ucap Aisy dengan suara yang bergetar.
Handphone yang ada ditangannya jatuh begitu saja, dan tatapannya mulai kosong, seolah hatinya menjerit kesakitan, seolah doa-doa yang selama ini ia panjatkan tersia-sia begitu saja.
"Tuhan ... dimana letak keadilan mu, aku hanya seorang istri yang sudah mengabdi dengan segenap jiwa dan ragaku, tapi kenapa balasan yang aku terima begitu indah ... bahkan sangking indahnya aku sampai tidak berdaya lagi, aku tidak tahu ini ujian apa takdir, tapi satu kali lagi aku nyatakan. Aku istri pertama tidak pernah ikhlas dan meridhoi pernikahan itu!" teriaknya menggaung di seluruh ruangan kamarnya.
Aisy menatap foto pernikahannya dengan Reyhan diatas meja riasnya, tangan lemah itu kini menjadi bringas entah kekecewaan apa yang kini tengah ia hadapi, yang jelas semua isi kamarnya satu persatu mulai ia berantakan, semua barang-barang pemberian dari Reyhan mulai ia keluarkan dan ia hancurkan satu persatu sebagai pelampiasan kehancuran hatinya dan kekecewaan dirinya yang tidak dihiraukan sama sekali.
"Dulu kalung ini sebagai simbol cintamu, nyatanya apa, semuanya hanya dusta, hanya dusta!" amarah Aisy mulai menggebu.
Entah berapa lama wanita itu mengacak-acak kamarnya sendiri, sehingga ia tertunduk dengan wajah yang kusut karena air mata, bahkan mukena masih menempel di wajahnya.
Tubuhnya terhuyung ke lantai, tanpa sadar amarahnya sudah menghancurkan segalanya.
"Aku tidak terima ... tidak terima ...," ucapnya dengan nada yang lirih nyaris berbisik.
☘️☘️☘️☘️☘️
Keesokan harinya mentari mulai bersinar, wanita cantik itu masih duduk di kursi riasnya sambil berkaca, bukan dengan tatapan normal, melainkan dengan tatapan kosong, ia tidak tahu harus berbuat apa yang jelas saat ini ia benar-benar merasakan keterpurukan yang begitu luar biasa, sepuluh tahun mengarungi kebahagiannya dan hancur hanya karena satu malam itu saja.
Pintu kamar mulai terbuka, Aisy masih sempat menengok, dalam keadaan yang sangat kacau ia masih berharap suaminya itu pulang, namun yang ia lihat wajah panik pembantunya melihat kamar yang selalu rapi berubah menjadi acak-acakan.
"Ibu ... kenapa ... Ibu sakit?" tanya pembantunya itu dengan cemas.
Tak ada jawaban diam di ruang hampa yang terasa kosong. "Bu, jangan seperti ini, sebenarnya apa yang terjadi," kata Bi Jum yang merasa iba.
Bi Jum mulai membersihkan kembali kamar majikannya itu, namun sebuah teriakan dari Aisy benar-benar membuatnya takut. "Pergi ...!" teriaknya seolah bukan ini yang ia mau.
Bi Jum segera keluar dengan perasaaan yang sedikit ketakutan dan iba karena merasa suara itu bukan dari suara Aisy yang sebenarnya.
Sementara itu Aisy duduk di kursi dekat jendela kamar, masih dengan pakaian yang sama. Rambutnya tergerai acak, wajahnya pucat. Di pangkuannya tergeletak mushaf kecil yang belum dibuka sejak kemarin. Hanya pandangannya yang kosong, menembus kaca jendela, seolah sedang menatap sesuatu yang jauh, jauh di masa lalu, tempat di mana Reyhan masih menggenggam tangannya dengan lembut.
Tidak ada tangisan, tidak ada amarah lagi
Hanya tertinggal diam. Diam yang panjang dan berat.
Ponsel di meja terus bergetar pesan dari teman-teman, panggilan tak terjawab dari sahabat karib namun Aisy tidak bergerak. Bahkan ketika sore menjelma malam, ia tetap di sana duduk dengan kesendiriannya. Nafasnya pelan, matanya sayu, seperti seseorang yang perlahan kehilangan makna hidup tapi belum siap untuk pergi.
☘️☘️☘️☘️
Sementara itu di kediaman keluarga Rifat Firmansyah, suasana meriah telah usai. Musik berhenti, tamu sudah pulang, hanya tinggal cahaya lampu taman yang redup. Reyhan duduk di ruang tamu, jasnya sudah ia lepaskan, dasinya terurai. Pikirannya kosong, dadanya sesak.
Ia mencoba menenangkan diri, tapi satu pesan yang masuk ke ponselnya membuat seluruh tubuhnya menegang.
Pesan dari pembantu yang menjaga Aisy di rumahnya.
“Pak, maaf… saya hanya ingin bilang… Bu Aisy belum makan semenjak Bapak pergi. Dan sekarang tambah parah. Dia cuma duduk di kursi dari pagi sampai malam. Matanya kosong, seperti nggak kenal siapa pun.”
Reyhan terdiam.Pesan itu seperti pisau yang menusuk jantungnya dalam-dalam.
Tangannya gemetar, ponsel hampir terjatuh. Ia menatap foto pernikahan barunya yang masih di atas meja dirinya dan Arsinta yang tersenyum bahagia. Tapi yang muncul di benaknya justru wajah Aisy yang diam, wajah yang dulu selalu menyambutnya setiap pulang kerja.
Tanpa pikir panjang, ia berdiri, mengambil kunci mobil, lalu melesat keluar. tidak menghiraukan yang lainnya.
☘️☘️☘️☘️☘️
Di perjalanan jantungnya bergemuruh hebat, sangking mengadakan pesta dua hari dua malam, sampai-sampai ia lupa jika ia punya istri lain yang tengah menunggu kedatangannya.
"Ais maaf, jangan sampai kau kenapa-napa," ucapnya panik namun matanya fokus ke arah jalan di depannya.
☘️☘️☘️☘️☘️
Di rumah Aisy, malam sudah larut ketika suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Lampu ruang tamu masih menyala lembut. Reyhan masuk pelan, menahan napas.
Ia menemukannya di sana di kursi dekat jendela kamar tempat yang sama, posisi yang sama, mata yang sama sayunya.
“Aisy…” suaranya serak. “Sayang, kamu dengar aku, kan?”
Aisy tidak menjawab. Hanya memalingkan wajah pelan, lalu menatap Reyhan sejenak. Tatapan itu bukan kebencian tapi kehampaan.
Tatapan seseorang yang sudah terlalu sering terluka hingga tak tahu lagi bagaimana rasanya hidup.
Reyhan berlutut di depannya, menggenggam tangan itu yang terasa dingin.
“Maaf… aku minta maaf…”Suaranya bergetar, air matanya jatuh satu per satu.
Tapi Aisy tetap diam, hanya menatap ke arah jendela di mana hujan mulai turun pelan-pelan.
"Ais tolong jawab Ais jangan diamkan aku seperti ini, aku tahu aku salah, tapi dengan keadaanmu yang seperti ini membuat rasa bersalahku semakin dalam," ucapnya sambil membingkai wajah istrinya.
Namun yang ada hanya keheningan, dengan tatapan nanar, yang entah seberapa dalam luka yang dirasakan oleh istri pertamanya itu.
Sekilas Reyhan mulai teringat akan kata-kata terakhir dari istrinya. "Jika kamu tidak menuruti permintaanku maka jangan harap kamu akan menemukan sosok diriku yang seperti dulu lagi."
Dan semuanya terbuktikan, Aisy tidak pergi, ia masih tinggal di rumah yang sama, namun pikirannya entah kemana, hanya meninggalkan tatapan kosong dan kamar yang berantakan.
Dalam keheningan itu, Reyhan baru benar-benar mengerti bahwa kadang, diam bisa lebih menakutkan dari kemarahan,
lebih tajam dari cacian, dan lebih menyakitkan dari seribu perpisahan.
Bersambung ....
Ayo kakak beri dukungan untuk Aisy yang sedang berada di titik terendahnya.
 
                     
                     
                    