NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:465
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 — Catatan Rahasia

DAVIN menghembuskan napas agak keras ketika samar-samar terdengar perdebatan ayah-ibunya yang tak bisa disembunyikan. Tidak terlalu keras. Tapi cukup "berisik" untuk mengganggu pendengaran—dan pikirannya.

Dari balik pintu kamarnya yang tertutup, seperti biasa suara Dianti, ibunya, mendominasi. Nada tajamnya menusuk seperti bel yang terus dipukul tanpa jeda. Sementara suara Adrian terdengar frustrasi dan letih.

Pemicu kejengkelan Dianti lagi-lagi masalah klasik. Dia marah karena Adrian kembali kehilangan uang ratusan juta untuk investasi yang tak jelas. Davin sendiri kadang bingung karena ayahnya terlalu lemah menghadapi bujukan Reno yang memang sangat piawai dalam marketing.

“Aku tidak mengerti kenapa kamu tega-teganya mengeluarkan uang sebanyak itu tanpa sepengetahuanku,” suara Dianti kembali memenuhi ruang santai keluarga. “Dua ratus juta, Pa. Dan kamu bahkan tidak tahu untuk investasi apa. Sudah aku bilang berkali-kali, Reno selalu bawa bisnis yang nggak jelas!”

“Tapi kali ini prospek bisnisnya sangat bagus.”

“Kata siapa?” sela Dianti tajam. “Kata Reno? Aku bilang sekarang, Pa, uang kita pasti bakalan ludes lagi!”

“Dia adikku, Ma.”

Davin menggelengkan kepala. Kalau ayahnya sudah mengucapkan kalimat pendek itu, berarti perdebatan mereka pun selesai. Dia menajamkan telinganya. Suara Dianti sudah tak terdengar lagi.

Davin mendengar dentingan gelas di bawah—dan dia dapat membayangkan langkah kesal ibunya ke dapur. Pertengkaran itu seperti badai yang berulang, dengan skenario yang sama. Dianti marah karena tindakan bodoh suaminya—Adrian mencoba menjelaskan alasan logisnya—sementara Reno entah di mana menikmati kemenangan kecilnya.

Davin menutup buku catatannya. Dia bersandar ke kursi sambil memejamkan mata sebentar. Sejak lama dia tahu oomnya tak pernah betah bekerja di kantor. Reno selalu berbicara soal “mimpi besar” dan proyek yang “pasti untung besar.” Gayanya parlente dengan jas rapi dan sepatu mengilap. Mobilnya selalu berganti, tapi bisnisnya… tak pernah jelas.

Dan bukan hanya Adrian yang ikut mabuk dalam mimpi besarnya. Adrian Hermawan mungkin dosen yang jenius dalam hal sains dan metafisika. Tapi jika sudah berhadapan dengan Reno, logikanya seperti dilipat lalu dibuang ke sudut.

Davin meraih ponselnya. Pesan Rayan masuk lagi—dan terdengar tak sabaran seperti biasa. “Prof, buruan! Dan jgn lupa bawa skate!”

Davin beranjak dari depan meja belajar. Dia menjejalkan beberapa peralatannya ke dalam ransel. Ketimbang terganggu oleh perdebatan ayah-ibunya, mendingan dia meluncur ke rumah Rayan. Lagian, semua tugas sekolahnya sudah beres. Tapi dia terpaksa mencari skateboard-nya di attic.

Dia malas bertanya kenapa Rayan tiba-tiba mendesak dirinya untuk main skateboard. Mungkin ada cewek cantik yang sedang diincar Rayan. Atau entah apa. Yang pasti, Rayan tidak pernah konsisten dalam hobi. Skateboard, panjat tebing, kamera, freestyle motor—semua dilakukan setengah hati, kecuali ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Hanya channel YouTube yang bertahan cukup lama karena selalu muncul tantangan baru untuk uji nyali.

Davin menarik tangga lipat kayu. Tangga lipat itu berderit pelan ketika dia memanjatnya. Begitu dia mendorong pintu kecil menuju attic, bau kayu tua dan debu menyeruak. Udara di atas terasa berbeda—lebih kering, dengan aroma khas kertas tua seperti perpustakaan yang sudah lama ditinggalkan. Cahaya matahari sore menerobos masuk lewat kaca jendela.

Attic adalah dunia lain bagi Adrian Hermawan. Bagi orang luar, mungkin ruangan itu cuma gudang berantakan. Tapi bagi Davin, attic seperti museum pribadi ayahnya. Rak penuh buku tua dengan sampul kulit yang warnanya memudar. Teleskop rusak teronggok di sudut ruangan. Kotak-kotak kayu berisi kabel, peralatan elektronik lawas dan tumpukan catatan kuliah yang sudah menguning.

Davin melangkah pelan melewati sebuah meja besar yang dipenuhi lensa optik dan alat-alat yang bentuknya lebih mirip karya seni daripada perangkat ilmiah. Dia mencari-cari skateboard lamanya yang sudah hampir setahun tak tersentuh.

Dia memindahkan tumpukan kotak di sudut ruangan. Dia melihat papan skate-nya di balik kardus berisi majalah lama. Ban rodanya berdebu. Grip tape-nya mulai mengelupas. Tapi papan kayunya masih utuh. Dia mengangkat papan itu sambil meniup debu, lalu matanya menangkap sesuatu di atas meja kecil dekat jendela attic.

Sebuah buku bersampul kulit.

Tidak seperti buku-buku lain di attic, buku itu tidak tertutup debu. Sampulnya berwarna hitam kusam, tapi terlihat sering dipegang. Di bagian depan, dengan spidol tebal, tertulis satu kata yang membuat Davin berhenti.

Umbral.

Davin mengerutkan kening. Kata itu terdengar asing di telinganya. Dia tak pernah mendengarnya dari mulut ayahnya, meskipun Adrian sering berbicara tentang konsep aneh dalam metafisika atau teori yang jarang diajarkan di kelas.

Umbral?

Bidang ilmu dari sains baru?

Metafisika? 

Atau… sesuatu yang lain?

Davin meraih buku hitam itu, lalu membuka sampulnya perlahan. Halaman pertama penuh tulisan tangan Adrian—bukan bahasa formal, melainkan campuran catatan sains dengan simbol aneh dan diagram berlapis. Ada garis melingkar dengan pola mirip gelombang, diselingi tanda-tanda seperti alfabet asing.

Davin menyeringai samar. Ternyata hanya salah satu eksperimen ayahnya di masa lalu. Dia sudah hafal kebiasaan aneh ayahnya. Adrian selalu mencatat ide-idenya di buku bersampul kulit, lalu meninggalkannya begitu saja. Kadang di ruang kerja, kadang di ruang santai keluarga, kadang di attic.

Davin heran karena sampul bukunya tak berdebu seperti buku-buku lain. Permukaannya bersih—seperti baru saja dibaca seseorang.

Davin menaruh buku itu kembali di tempatnya semula. Dia tahu butuh tenaga ekstra untuk memahami tulisan Adrian yang rumit—tulisan tangan yang nyaris separah tulisan dokter. Malahan penuh dengan kode-kode dan simbol yang bahkan profesor lain pun belum tentu bisa paham. 

Kecuali duduk berhadapan langsung dengan ayahnya, baru dia bisa memahaminya dengan lancar dan jernih.

Davin menghela napas. Dia mustahil bisa menafsirkan maksud semua coretan itu.

Dia meraih skateboard-nya yang tergeletak di lantai, lalu berbalik….

Buk.

Suara benda jatuh terdengar dari sudut loteng. Entah apa. Tidak terlalu keras, tapi bunyinya cukup untuk membuat langkah Davin terhenti.

Dia menoleh ke arah datangnya bunyi itu. Matanya perlahan menyapu ruangan. Kotak kabel, tripod rusak, dan tabung-tabung bekas eksperimen masih di tempatnya. Tak ada yang berubah.

Tapi sesuatu membuatnya terpaku.

Buku itu.

Buku bersampul kulit hitam dengan tulisan Umbral di depannya.

Beberapa detik lalu Davin menaruhnya tertutup. Dia ingat betul posisi sampulnya rata. Sekarang buku itu… terbuka. Halamannya terentang di tengah—memamerkan deretan tulisan tangan Adrian yang padat, dengan simbol-simbol melingkar di tepinya.

Davin kembali mengerutkan alis.

Ditiup angin?

Dia melirik ke sekeliling attic. Udara di situ terasa begitu pengap. Tak ada jendela yang terbuka. Bahkan ventilasi untuk sirkulasi udara pun tak ada.

Davin berdiri diam beberapa detik. Rasanya seperti sedang dilihat balik oleh gambar di buku itu.

Dia menggelengkan kepala.

Rayan pasti ketawa kalau tahu gue begini.

Dia melangkah mendekat, lalu menunduk untuk memeriksa halaman. Tulisan itu lebih rumit dari sebelumnya—diagram berbentuk cincin konsentris, garis-garis melengkung seperti gelombang suara, dan di tengahnya… sebuah simbol lingkaran dengan titik hitam di tengah.

Davin melihat deretan tulisan di bagian bawah halaman. Catatan kaki ayahnya yang ditulis lebih kecil seolah sengaja disembunyikan.

Umbral bukan lorong ke dimensi lain. Dia adalah entitas nonfisik yang hidup. Aku melihatnya. Aku bahkan seperti bisa berdialog dengannya.

Davin mengerutkan kening, lalu menyeringai kecil. Kalimat itu entah mengapa mengingatkannya pada Rayan. Ayahnya benar-benar mirip sahabatnya. Bedanya, Rayan terjun ke dunia horor untuk konten YouTube—memburu tempat angker, menguji mitos urban, lalu bersesumbar di depan kamera bahwa semua itu tidak lebih dari cerita bohong untuk menakuti orang.

Sedangkan Adrian mendekati misteri dari sudut yang tak biasa—dengan teknologi dan metode ilmiah.

Davin menutup buku itu sebentar, dan mengusap bagian sampulnya dengan ibu jari. Dia tak pernah meragukan kejeniusan ayahnya. Teori-teori Adrian memang selalu menggelitik rasa ingin tahunya. Seperti semua buku sains karya Adrian, baik yang sudah dicetak maupun yang masih dalam bentuk riset, isinya selalu spektakuler. Dan mengusik para ilmuwan lain—membuat mereka antara kagum dan skeptis.

Umbral… entitas nonfisik yang hidup?

Dia ingin membaca lebih jauh. Ingin membuka halaman berikutnya. Mungkin ada diagram yang menjelaskan seperti apa “entitas nonfisik hidup” itu menurut ayahnya.

Tapi jam di pergelangan tangannya berdetak mengingatkan. Dia tak punya waktu sekarang.

Rayan sudah menunggunya dari tadi.

Davin menutup buku itu perlahan. Dia menatap sampulnya sekali lagi—Umbral—lalu mengembalikannya ke tempat semula di atas meja kecil dekat jendela attic. Dia sengaja menekan sampulnya hingga benar-benar rata.

Tapi ketika dia berbalik untuk kedua kalinya… dari sudut attic, sesuatu berderit—pelan, nyaris seperti tarikan napas dari papan kayu tua.

Entah apa yang mendorong dia untuk menengok ke arah buku bersampul hitam itu. Rasanya mustahil kalau buku itu….

Dia tertegun ketika melihat buku catatan rahasia itu kembali terbuka di halaman yang sama. Mau tak mau bulu kuduknya meremang.

Oh, shit!

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!