Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HANTU MASA LALU KEMBALI
Langit senja mulai memudar menjadi warna abu-abu gelap ketika Seo Han berbelok ke jalan menuju rumahnya. Ketenangan yang ia dapatkan dari pantai masih tersisa, membungkusnya seperti selimut tipis. Di tangannya, kotak makanan terasa hangat, pengingat nyata bahwa ada orang yang peduli.
Lalu, segalanya runtuh.
Mobil hitam mengkilap, kontras dengan rumahnya yang sederhana, terparkir tak senonoh. Dan di sampingnya, berdiri seorang pria dengan jas hitam yang mahal—sebuah siluet yang hanya muncul dalam mimpi buruk paling gelap Seo Han.
Kruk!
Kotak makanan itu jatuh dari genggamannya. Nasi, gimbap, dan bulgogi yang disusun rapi oleh tangan lembut Ibu Jae Hyun kini berserakan di tanah. Ceceran saus bulgogi membentuk noda hitam di aspal. Tapi Seo Han tidak peduli. Seluruh indranya hanya fokus pada satu titik.
"Ayah..." gumamnya dalam hati, tapi kata itu terasa seperti batu yang menyangkut di tenggorokan.
Dengan gerakan lambat, ia memungut kotak makanan yang rusak. Isaknya tertahan di paru-paru ketika ia berusaha melewati ayahnya, seolah pria itu adalah patung ancaman.
"Arsya."
Suara itu—suara yang dulu pernah menjadi satu-satunya tempat berlindung, suara yang selama bertahun-tahun ia rindukan—kini terasa seperti sayatan pisau dingin.
"Jangan," bisiknya, suaranya parau dan gemetar. "Jangan panggil aku itu."
Ia terus berjalan menuju pintu, tangannya gemetar mencari kunci. Ia hanya ingin masuk, menutup pintu, dan menghilang.
"Ayah datang untukmu, Nak." Kali ini suara ayahnya lebih dekat, penuh dengan emosi yang dipaksakan, sebuah kepalsuan yang melukai.
Seketika itu pula, segala bendungan pertahanan Seo Han jebol.
Byur!
Seo Han berbalik cepat dan melemparkan kotak makanan yang basah, kotor, dan penuh makna itu tepat ke wajah ayahnya. Sisa-sisa nasi dan saus bulgogi menempel dan menetes dari jas mahal itu, membuat pola yang mengerikan.
"UNTUK APA?!" teriak Seo Han, suaranya pecah, bergetar, dan menggema penuh kepedihan. "SETELAH SEMUANYA, SETELAH AKU TUNGGU SAMPAI MATI, UNTUK APA KAU DATANG SEKARANG?!"
Air mata yang selama ini ia tahan meledak keluar—bukan tangisan biasa, tapi isakan yang dalam, tersedak-sedak, seperti anak kecil yang terluka parah.
"Aku... aku dulu menunggu! SETIAP HARI! Aku tidur di depan pintu karena takut melewatkan kedatanganmu!" Setiap kata disertai isakan yang membuat dadanya sakit. "Aku makan mi basi selama seminggu karena uangmu habis! Aku... aku pingsan di sekolah karena kelaparan!"
Wajah ayahnya memucat, terkejut, namun Seo Han sudah terlalu hanyut dalam badai lukanya.
"Dan kau... kau baru datang sekarang? Setelah aku berhasil membangun hidupku sendiri? Setelah aku tidak butuh uangmu lagi? Setelah aku belajar untuk TIDAK MEMBUTUHKANMU LAGI?!"
Dadanya naik turun tak beraturan, mencengkeram kain kausnya. Ia mendekatkan wajahnya yang basah kuyup oleh air mata dan keputusasaan kepada ayahnya.
"Pergi," desisnya, suaranya bergetar penuh kebencian murni dan luka yang tak tersembuhkan. "Pergi dan jangan pernah kembali! Aku lebih baik menjadi yatim piatu daripada memiliki ayah sepertimu!"
Kata-kata itu, diucapkan tanpa sentuhan fisik, menghantam sang ayah lebih keras daripada pukulan apa pun.
Seo Han membalikkan badan, membuka pintu dengan brutal, dan membantingnya. Di balik pintu, tubuhnya roboh ke lantai dingin. Ia merangkak, tangisnya semakin menjadi-jadi. Isakannya yang keras dan tak terbendung bergema di rumah yang sunyi itu—tangisan untuk semua tahun yang hilang, untuk semua rasa sakit yang harus ditanggungnya, untuk anak laki-laki yang dipaksa dewasa terlalu cepat.
Di tengah tangisan, penglihatan Seo Han mulai kabur, digantikan oleh gambaran yang nyata dari masa lalu yang ia coba lupakan:
...----------------...
FLASHBACK
Lantai dingin di depan pintu kamar rumah mereka. Udara malam desa gimnyeong-ri menusuk tulang. Bocah berusia sembilan tahun itu meringkuk di atas kaus yang dijadikan bantal. Perutnya kosong, perih karena hanya terisi mi instan dingin yang ia temukan di dapur. Ia tidak berani tidur di kasur karena takut Ayah datang dan ia tidak mendengarnya. Kehangatan adalah kata yang asing. Satu-satunya teman adalah rasa lapar yang menusuk dan janji palsu yang Ayah ucapkan: "Tunggu sebentar, Ayah akan segera kembali." Seminggu. Dua minggu. Bau mi basi yang menyengat di kamar mandi dan pusing yang membuatnya jatuh di lapangan sekolah menjadi lagu pengantar tidurnya selama berbulan-bulan.
...----------------...
🚪 Kembali ke Saat Ini
Isakannya mereda menjadi desahan pelan, menyisakan keheningan yang mematikan. Seo Han bersandar pada pintu, kelelahan total. Air mata sudah mengering di pipinya, menyisakan bekas rasa asin.