NovelToon NovelToon
I Want You

I Want You

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romantis / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mapple_Aurora

Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.

Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.

Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.



Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 24

Siang itu udara di Jakarta terasa lebih panas ketika Rada turun ke lobi apartemennya. Ia mengenakan dress putih sederhana dan cardigan abu muda, rambutnya dibiarkan terurai tanpa banyak riasan. Gavin sudah menunggunya di depan, berdiri di samping mobil hitam dengan pakaian santai namun tetap rapi mengenakan kemeja linen biru muda dan celana krem. Wajahnya tenang seperti biasa, terlalu tenang hingga sulit ditebak apa yang sebenarnya ia rasakan.

“Sudah siap?” tanya Gavin pelan. Rada hanya mengangguk tanpa suara.

Perjalanan menuju bandara pribadi milik keluarga Gavin berlangsung dalam keheningan. Hanya terdengar dengung mesin mobil. Gavin beberapa kali menoleh ke arah Rada, ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Ia tahu Rada tidak ingin bicara.

Sesampainya di landasan, jet pribadi sudah siap. Mama Lauren terlihat sedang berbincang dengan Bunda Istina sambil tersenyum. Keduanya tampak begitu akrab seolah tidak ada ketegangan apa pun di antara anak-anak mereka.

“Anakku cantik sekali, cocok sekali nanti kalau pakai gaun pengantin,” ujar Istina dengan bangga saat Rada mendekat.

Rada hanya tersenyum tipis, memeluk ibunya sekilas. “Terima kasih, Bun.”

Lauren juga memeluk Rada singkat, lalu meminta Rada untuk berjalan lebih dulu bersama Gavin.

Ingat akan sesuatu, Rada menoleh ke ibunya dan bertanya. “Bun, udah ada kabar dari Daniel?”

“Duh, Rada, kebiasaan deh kamu. Panggil Abang, jangan Daniel terus. Dia seumuran sama Gavin lho, nggak sopan.” Bukan mendapat jawaban positif, Rada langsung di omeli oleh Bundanya karena selalu lupa menambahkan panggilan Abang untuk kakak tertuanya.

“Ya ampun, Bunda, Naysa aja manggilnya gitu kok.”

“Radaaaa, Bunda cubit ya.”

Mendengar itu Rada langsung berlari menjauhi Bundanya, Gavin hanya tersenyum tipis lalu menggandeng lembut tangan Rada untuk naik ke jet.

Di dalam jet, Rada duduk di sisi jendela. Ia menatap keluar, melihat pemandangan langit yang semakin tinggi. Di sebelahnya, Gavin membuka tablet, mengecek jadwal pemotretan dan lokasi yang akan mereka datangi. Pantai pasir putih, air terjun tersembunyi, dan satu resort eksklusif di Lombok bagian selatan.

“Fotografer sudah standby di sana. Kita akan langsung ke resort setelah mendarat,” ucap Gavin datar.

Rada mengangguk pelan. “Baik.”

Lauren tersenyum ke arah mereka. “Kalian harus menikmati momen ini, ya. Foto pranikah itu kenangan indah sebelum pernikahan. Jangan terlalu tegang.”

“Ya, Ma,” jawab Gavin sopan.

Jet itu pun terus melaju membelah awan menuju Lombok, sementara di dalam kabin, Rada menutup mata, berharap perjalanan ini cepat berakhir.

Dua jam kemudian mereka akhirnya mendarat di Lombok. Begitu roda jet menyentuh landasan bandara di Lombok, sinar matahari yang hangat menyambut mereka. Angin laut membawa aroma asin yang khas, seolah memanggil siapa pun yang datang untuk melupakan sejenak kepenatan dari dunia yang riuh.

Mobil van hitam sudah menunggu di luar bandara untuk membawa rombongan ke lokasi pertama sesi foto. Perjalanan menuju pantai memakan waktu sekitar empat puluh menit melewati jalanan yang berkelok dengan pemandangan biru laut di sisi kiri.

Rada duduk di kursi belakang bersama mamanya, menatap jendela dengan mata yang mulai tenang. Ada sesuatu pada udara Lombok yang menenangkan hatinya—suara debur ombak yang jauh, sinar matahari yang tidak terlalu menyengat, dan bau pasir yang lembut terbawa angin.

Sesampainya di lokasi pertama, fotografer dan tim sudah menunggu. Pantainya sepi, luas, dengan tebing karang di sisi timur dan air laut sebening kristal. Gaun putih sederhana sudah disiapkan untuk Rada, sementara Gavin mengganti pakaiannya dengan kemeja putih dan celana krem.

Ketika Rada keluar dari ruang ganti, angin berhembus pelan, membuat rambutnya terurai lembut di bahunya. Gavin menatapnya sejenak, matanya yang biasanya dingin perlahan melunak tanpa ia sadari. Wajahnya tetap datar seperti biasa, tapi dalam hati ia merasa damai.

“Hati-hati, pasirnya agak licin.” Gavin berjalan mendekat dan menawarkan tangannya. Rada menatap tangan itu sejenak, lalu menyambutnya. Sentuhan hangat itu membuatnya sedikit terkejut.

Selama sesi foto, Rada berusaha tersenyum, meskipun awalnya terasa canggung. Namun seiring waktu, ia mulai bisa tertawa kecil. Ombak yang tiba-tiba mengenai kakinya membuatnya spontan menoleh ke Gavin, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, senyuman tipis muncul di wajahnya.

Momen itu terekam sempurna oleh kamera fotografer, dua orang yang berdiri di tepi pantai, dengan angin menerbangkan rambut mereka, seolah dunia hanya milik berdua.

Di sela-sela jeda, Rada duduk di kursi bambu yang disiapkan di tepi pantai. Ia menatap laut dengan mata kosong, tapi ada sedikit kilau di sana. Dalam pikirannya, bayangan tentang El dan Naysa semalam sempat terlintas, namun perlahan memudar. Mungkin ini sudah menjadi jalan terbaik. Mungkin dengan cara ini, semuanya bisa berakhir damai.

Gavin duduk di dekatnya tanpa banyak bicara, hanya menatap laut yang sama. Dalam diam, hatinya berbisik ingin sekali mengatakan bahwa semua ini bukan sekadar formalitas, bahwa ia sungguh mencintai perempuan di sebelahnya. Tapi setiap kali ia hendak berbicara, sesuatu menahannya.

Ia tahu, jika terlalu cepat menyatakan, Rada akan semakin menjauh. Jadi ia memilih diam, menunggu dengan sabar, berharap suatu hari nanti Rada bisa melihatnya bukan sebagai keterpaksaan, tapi sebagai seseorang yang benar-benar mencintainya.

Dari jauh, fotografer memanggil lagi, “Baik, kita lanjut sesi berikutnya! Kali ini di bawah tebing batu, cahaya mataharinya bagus banget!”

Rada berdiri, menepuk-nepuk pasir di gaunnya. Gavin menatapnya sebentar, lalu berjalan di belakangnya, melindunginya dari hembusan angin laut yang kuat.

Fotografer dan tim sudah menyiapkan tempat berikutnya di bawah tebing batu besar yang menjulang di ujung pantai. Cahaya sore mulai turun miring, membias lembut di permukaan laut, membuat suasana di sana terasa hangat dan berwarna keemasan.

Rada mengganti gaunnya dengan dress berwarna krem lembut yang jatuh ringan hingga ke mata kaki, sementara Gavin kini mengenakan kemeja linen abu muda dan celana putih. Angin laut meniup rambut Rada hingga beberapa helai menempel di pipinya, tapi justru membuatnya tampak alami dan memukau di lensa kamera.

“Baik, pose-nya bisa lebih dekat. Nona Rada, sedikit condong ke arah Tuan Gavin... ya, begitu,” ucap fotografer sambil mengatur jarak kamera.

Gavin melangkah setengah langkah lebih dekat, tubuh mereka kini hanya berjarak beberapa inci. Rada menahan napas sesaat ketika merasakan panas tubuhnya yang begitu dekat, tapi ia tetap menjaga ekspresi tenangnya.

“Tangan bisa di pinggang, Nona... ya, begitu. Lalu Tuan Gavin, pandang Nona Rada saja, bukan kamera.”

Gavin menatap ke arah Rada sesuai instruksi, dan sesuatu dalam dirinya tiba-tiba berhenti. Cahaya matahari memantul di mata perempuan itu, menimbulkan bayangan lembut di wajahnya yang cantik, kuat, tapi ada kesedihan yang entah kenapa membuatnya ingin memeluk.

Fotografer terus memotret. “Bagus! Jangan ubah ekspresi itu! Sekarang, bisa sedikit menunduk ke arah Rada, seolah berbisik.”

Gavin menuruti, wajahnya kini sangat dekat dengan telinga Rada. Suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, “Kamu kelihatan lebih tenang hari ini.”

Rada menoleh sedikit, bibirnya nyaris menyentuh pipi Gavin. “Mungkin karena lautnya,” jawabnya singkat, mencoba terdengar santai, tapi jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya.

“Oke! Sempurna!” seru fotografer, bertepuk tangan kecil. “Sekarang pose terakhir, kalian jalan berdua di tepi air, bergandengan tangan.”

Rada menatap Gavin sekilas, sedikit ragu. Tapi Gavin hanya tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya tanpa berkata apa-apa. Tangannya besar dan hangat, menunggu dalam kesabaran yang entah bagaimana membuat Rada tidak bisa menolak.

Mereka berjalan perlahan di sepanjang tepian ombak, membiarkan air laut menyentuh kaki mereka. Dari belakang, fotografer terus mengambil gambar, sementara matahari tenggelam di balik tebing.

Rada sempat melirik ke samping. Gavin menatap laut dengan ekspresi tenang yang jarang ia lihat pada siapa pun. Saat itu, ia berpikir, mungkin, pria ini tidak seburuk yang ia bayangkan. Tidak seperti El yang selalu ingin memiliki, Gavin tampak hanya ingin mendampingi.

Ketika sesi foto selesai, fotografer mendekat sambil berkata, “Gambar-gambarnya luar biasa, kalian berdua punya chemistry yang kuat. Sungguh alami.”

Rada hanya tersenyum sopan, sementara Gavin mengangguk kecil. Tapi saat mata mereka bertemu, seolah ada sesuatu yang belum sempat diucapkan.

Hari mulai gelap. Langit berubah jingga keunguan, dan kru mulai membereskan peralatan. Rada menatap horizon, lalu berkata pelan, “Entah kenapa... aku merasa tenang di sini.”

Gavin menatapnya lama sebelum menjawab, suaranya rendah dan tulus, “Mungkin karena di sini... tidak ada yang perlu kau lawan.”

Rada menoleh, menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pandangan kembali ke laut. “Mungkin,” katanya pelan.

Mereka berjalan kembali menuju mobil, diiringi suara ombak dan langit yang mulai kehilangan cahaya.

...☆...

Malam itu, resort tempat mereka menginap terasa sangat tenang. Ombak terdengar lembut memecah di kejauhan, dan udara laut membawa aroma asin bercampur angin hangat. Lampu-lampu taman menyala temaram, memantulkan cahaya keemasan di jalur batu menuju vila tempat Rada dan Gavin menginap.

Kedua mama mereka sengaja tidak bergabung malam itu, katanya agar “keduanya bisa saling mengenal lebih dalam tanpa gangguan.” Gavin hanya mengangguk sopan saat mendengar alasan itu, sementara Rada menanggapinya dengan gumaman malas. Tapi sebenarnya, di dalam hati, Rada tahu mereka berdua memang butuh waktu untuk bicara, setidaknya tanpa ada sorot mata penasaran yang terus mengamati.

Mereka duduk di taman vila, di meja kecil dengan dua gelas jus tropis dan pemandangan laut yang gelap. Suasana canggung dan damai.

“kamu pasti tertekan hari ini,” ucap Rada pelan, memecah keheningan.

Adrian menoleh, menatapnya dalam cahaya lembut lampu taman. “kenapa kamu bisa berpikir begitu?”

“Karena setelah aku cari tahu, kamu jarang terlihat dekat dengan perempuan. Jadi, mungkin kamu tertekan karena harus foto dengan jarak sedekat itu.”

“Mungkin kamu salah duga.” balas Gavin dengan nada datar.

Rada menunduk, memainkan sedotan di gelasnya. Untuk sesaat, mereka tampak tenang. Tapi kedamaian itu tidak bertahan lama.

Suara langkah keras terdengar dari arah jalan setapak. Gavin langsung menoleh, matanya berubah tajam ketika sosok yang tak diinginkan muncul di bawah cahaya lampu taman.

“El?” Rada bangkit berdiri dengan mata membulat tak percaya. “Kamu... ngapain di sini?”

El mengenakan kemeja yang kusut, wajahnya tampak lelah, tapi matanya menyala dengan obsesi. “Aku harus bicara sama kamu, Rada. Sekarang.”

Gavin berdiri di sisi Rada, suaranya dingin, nyaris seperti ancaman. “Kamu tak seharusnya di sini.”

“Aku nggak datang buat ngomong sama kamu, Gavin,” balas El sengit, menatap Rada lagi. “Aku datang buat dia.”

Rada mengangkat dagunya, menatap El dengan tatapan tegas. “Kita sudah selesai, El. Sudah sejak kamu meniduri kakakku.”

“Aku tahu aku salah, tapi aku masih cinta kamu! Aku akan ceraikan Naysa. Aku janji, Ra. Aku cuma butuh satu kesempatan lagi—”

“Cukup!” potong Rada tajam. “Kamu pikir aku mau jadi alasan pernikahan orang hancur? Kamu pikir aku akan jatuh cinta lagi ke pria yang nggak bisa setia?”

Suara Rada keras dan bergetar karena emosi. El terdiam sesaat, tapi kemudian melangkah mendekat, nekat menggenggam pergelangan tangan Rada. “Aku tahu kamu masih sayang aku. Kamu cuma marah. Aku bisa lihat dari matamu—”

Belum sempat ia melanjutkan, Gavin sudah menarik tangan El dengan kasar dan menghantamkan tinjunya ke wajah pria itu. Suara pukulan terdengar keras di antara semilir angin malam.

“El!” Rada berteriak kaget, tapi Gavin sudah kehilangan kendali. Ia memukul lagi, dan lagi, hingga El tersungkur ke tanah.

“Jangan pernah sentuh dia lagi!” desis Gavin, suaranya rendah namun penuh amarah.

Rada segera menahan bahunya, berusaha menarik Gavin menjauh. “Cukup! Gavi, berhenti! Kamu nggak perlu menurunkan dirimu ke levelnya!”

Gavin masih menatap El dengan napas berat, dadanya naik turun cepat, tapi akhirnya ia mundur setelah melihat ekspresi Rada yang benar-benar kecewa dan marah.

Rada kemudian menatap El yang kini duduk di tanah dengan wajah lebam. “Aku nggak tahu apa yang lebih menyedihkan… kamu yang nggak bisa move on, atau aku yang dulu pernah mencintaimu. Pulang, El. Sebelum aku benar-benar kehilangan rasa hormat terakhirku padamu.”

Ia lalu menarik tangan Gavin dan berjalan pergi, meninggalkan El sendirian di taman yang kini sunyi. El menatap punggung mereka menjauh, matanya memerah dan rahangnya mengeras.

“Aku nggak akan kalah darinya...” gumamnya dengan suara rendah, hampir seperti ancaman yang tertelan malam.

Sementara itu, di jalan menuju pintu vila, Rada masih menggenggam pergelangan tangan Gavin dengan keras.

“Kenapa kamu harus memukulnya?” katanya kesal, tapi suaranya bergetar.

“Karena dia menyentuhmu,” jawab Gavin singkat tanpa menoleh.

“Aku bisa jaga diriku sendiri.”

“Aku tahu,” jawab Gavin lebih lembut. “Tapi kalau dibiarkan dia akan terus mengganggumu.”

Rada berhenti melangkah. Suara ombak kembali terdengar di antara diam mereka. Tatapan Rada melembut sedikit, tapi hanya sesaat. Ia kemudian menarik napas panjang dan berjalan duluan ke arah vila.

Gavin menatap punggungnya lama, sebelum akhirnya mengikuti dari jauh.

...✯✯✯...

1
Lunaire astrum
💯
Lunaire astrum
Bagus juga. Nanti baca lagi, mau ke warung dulu
Ega
Suka sama karakter Gavin🥰🥰🥰
Ega
cowok kyak El nih nyebelin banget deh😏
Adit monmon
cinta dlm diam ya vin🤭
Nda
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!