Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Dunia Tak Lagi Sama
Di sudut taman sekolah, tak jauh dari koridor utama, seorang gadis duduk sendiri. Earphone menempel di telinganya, musik mengalun mengisi ruang pikirannya yang sepi. Wajahnya datar. Tatapannya kosong, seperti menatap dunia yang tidak dimengerti siapa pun. Dia adalah Zee Vanya Alexandra Wolfe—gadis yang dikenal dingin, pendiam, dan enggan berbaur jika tak benar-benar perlu.
Beberapa siswa yang melintas hanya sekilas melirik lalu segera mengalihkan pandangan. Mereka tahu, Zee bukan tipe yang bisa diajak ngobrol santai. Suasana di sekitarnya seolah memberi jarak—tak terlihat, tapi nyata.
Tiba-tiba ponselnya bergetar di saku seragam.
Zee mengerutkan kening, sedikit terganggu. Dengan gerakan malas, ia mengeluarkan ponsel dan membuka layarnya.
Satu pesan masuk.
(Zee... Meninggal)
Jantungnya seperti di remuk dari dalam. Jemarinya lunglai, ponsel nyaris terlepas.
Tidak… Ini pasti salah. Ini pasti lelucon bodoh.
Namun rasa dingin menjalari tengkuknya. Tanpa berpikir panjang, Zee berdiri dari bangku dan berlari menuju kelas. Panik menggerogoti wajah tenangnya. Ia berlari, napasnya tak beraturan, menghancurkan citra dingin yang biasa ia tampilkan.
Beberapa siswa memperhatikan, bingung dan cemas. Bukan setiap hari mereka melihat Zee panik—gadis itu biasanya seperti tak tersentuh oleh apa pun.
Zee menerobos masuk ke kelas, mengambil tasnya dengan tangan gemetar.
“Zee kenapa, ya?” bisik Rara pada Dara, menyaksikan Zee yang buru-buru pergi tanpa suara.
“Gue juga bingung. Tapi takut nanya. Tatapan dia barusan... kayak orang yang baru kehilangan dunia.”
•••
Zee melaju di jalanan dengan motornya. Angin malam menghempas wajahnya, tapi ia tak peduli. Jemarinya mencengkeram setang kuat-kuat, seakan itu satu-satunya cara agar pikirannya tetap waras.
Tujuannya hanya satu: mansion keluarga. Di sana... jenazah Zia dibaringkan.
Zee menolak percaya. Tapi semakin dekat ia tiba, semakin nyata semuanya terasa.
Di depan rumah, sudah banyak orang berkumpul. Tapi ia tak menggubris mereka. Langkahnya besar, tergesa. Saat memasuki ruang tengah, dunianya benar-benar runtuh.
Tubuh itu... terbaring diam.
Zia.
Adik kembarnya. Bagian dari dirinya yang tak terpisahkan.
Zee jatuh berlutut di samping tubuh itu, tangannya gemetar saat menyentuh lengan dingin Zia.
“Mana janji lo mau ajak gue jalan-jalan liburan nanti? Zia… bangun… Bangun, Zi…”
Tangisnya pecah. Bukan hanya air mata yang jatuh, tapi juga semua dinding pertahanan yang selama ini dia bangun.
Zee tak lagi dingin. Tidak di hadapan Zia.
“Sayang…” suara lembut sang mommy, Zavira Wolfe, menggetarkan bahunya. Ia memeluk putrinya perlahan, mencoba memberi kekuatan di tengah kehilangan yang sama.
“Zia sudah pergi, Nak… Dia udah tenang sekarang…”
Zee hanya mengangguk perlahan, menatap mommynya dengan pandangan kosong. Tapi air matanya terus mengalir.
•••
Di pemakaman, tanah merah masih basah. Bunga-bunga segar menutupi pusara yang baru saja ditutup. Di sana, tiga sosok berdiri—diam, bisu oleh duka.
Zidan Alexander Wolfe mencium nisan putrinya. “Selamat tinggal, sayang… Maaf belum bisa jadi ayah terbaik buat kamu.”
Zavira menyusul, suaranya gemetar. “Zia… Mommy akan selalu doakan kamu. Suatu hari nanti, kita akan ketemu lagi…”
Sementara Zee berdiri terpaku. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Matanya sembab, tapi tetap menatap nisan itu dengan keras kepala. Seolah menolak kenyataan.
“Sayang, ayo kita pulang…” bujuk sang ibu, pelan.
Zee tak bergeming.
“Zia akan sedih kalau kamu terus seperti ini…” tambah sang ayah.
Hening.
Akhirnya, suara dingin itu terdengar lagi, lirih… tapi jelas.
“Kalian pulang duluan. Aku masih mau di sini.”
Zidan ingin membantah, tapi sorot mata Zee menghentikannya. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang bahkan lebih dingin dari sebelumnya.
Ia hanya mengangguk pelan. “Baiklah… Tapi jangan lama-lama ya.”
Zee kembali menatap nisan itu. Dunia di sekelilingnya seakan membisu.
Sebuah janji terbentuk dalam diam--bukan sekedar tekad, tapi sesuatu yang gelap... dan tidak bisa dibatalkan.