Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 1 - Anak tiri
Senja itu turun secara perlahan, mewarnai langit dengan jingga keemasan. Namun, keindahan senja tak mampu meredam ketegangan di dalam rumah mewah berlantai dua milik keluarga Wirawan.
Di ruang tengah yang megah, sebuah teriakan menggema di seluruh ruang rumah tersebut.
"Berani-beraninya kamu menolak perintahku! Kalau aku tidak memungutmu, kau sudah jadi gembel di jalanan sana!," bentak Rita, sang ibu tiri, dengan mata yang menyala marah.
Bahkan, gaun merah menyala yang membungkus tubuhnya pun seolah ikut menyalakan amarahnya.
Azura, gadis berusia dua puluh satu tahun, tengah terduduk lemas di lantai marmer yang dingin. Air matanya mengalir begitu deras, membasahi pipi pucatnya yang tampak lelah.
"Tapi Bu... aku tidak mengenal laki-laki itu... hiks hiks... bagaimana bisa aku menikah dengannya..." ucap Azura dengan suara yang parau, bahkan nyaris hilang tertelan isak tangisnya.
Mendengar keluhan Azura, Rita pun mendekat dengan langkah yang cepat, sehingga tumit sepatunya pun berdetak nyaring menghantam lantai.
Tap! Tap! Tap!
Setelah berada tepat di hadapan Azura, jarinya yang runcing langsung menunjuk wajah Azura tanpa ampun.
"Justru karena kau tidak mengenalnya, pernikahan itu akan berjalan damai! Kamu pikir kamu siapa sampai bisa pilih-pilih jodoh? Aku yang membesarkanmu setelah ibumu mati!," teriak Rita.
Mendengar kata ibu, hati Azura terasa begitu sakit. Dulu, ia tidak kekurangan kasih sayang dari ibu kandungnya itu sampai akhirnya dunia telah merenggutnya hingga menjadikan ia seorang anak tiri yang tidak di sayangi.
Azura pun semakin menunduk dengan tubuh yang bergetar. Sementara itu, di sudut ruangan, nampak berdiri sosok lelaki paruh baya.
Dialah Pak Wirawan, ayah kandung Azura. Ia duduk di sofa tanpa ekspresi, sambil menyesap tehnya tanpa peduli pada apa yang terjadi pada putrinya.
"Ayah..." lirih Azura sambil menoleh, dengan sorot mata yang memohon. "Ayah, tolong aku... aku tidak mau menikah dengan orang itu..."
Namun, sang ayah hanya mendesah lalu menjawab, "Rita sudah memutuskan. Dia tahu apa yang terbaik. Jangan mempermalukan keluarga ini, Azura."
Mendengar jawaban sang ayah, dada Azura terasa seperti tertikam. Ayah kandungnya... lelaki yang seharusnya melindunginya... justru berpaling dan tega mengabaikannya.
Deg deg!! Deg deg!! Deg deg!!
Jantung Azura berdegup keras, seolah berusaha menyuarakan ketidakadilan yang tidak bisa ia teriakkan.
"Laki-laki itu... dia bahkan-bahkan tidak sadar siapa dirinya sendiri... orang-orang bilang dia tidak waras, Bu!," seru Azura dengan suara yang masih bergetar.
"Itu bukan urusanmu!," sergah Rita tajam. "Yang penting dia punya harta. Tanah. Rumah. Kau tinggal diam dan menikah! Habis perkara!."
"Ti-dak...."
Azura menggelengkan kepalanya dan mencoba bangkit dari lantai. Tapi Rita segera menahannya, lalu tangan dinginnya mencengkeram lengan Azura kuat-kuat.
"Kau pikir kau bisa hidup nyaman di rumah ini selamanya tanpa bayarannya? Hari ini kau tunduk, atau aku usir kau keluar tanpa sehelai pun pakaian!," teriak Rita lagi.
Seketika mata Azura membulat. Napasnya terengah. Dalam hatinya, ribuan pertanyaan dan ketakutan saling bertabrakan.
Siapa lelaki itu sebenarnya? Bagaimana hidupnya setelah ini? Mengapa tidak ada satu pun yang peduli pada keinginannya?
**
Keesokan harinya, Azura mengunjungi makam sang ibu tercinta. Kesedihan hatinya membuat gadis cantik itu tidak bisa memendamnya sendiri.
Angin sore berhembus lembut di tengah komplek pemakaman yang sepi. Aroma tanah basah dan bunga melati begitu tercium karena terhembus angin.
Langit tampak murung, menggantungkan awan kelabu seolah turut merasakan duka Azura yang belum usai.
Azura berjongkok di hadapan sebuah nisan sederhana bertuliskan nama ibunya, Saraswati Dewi.
Ia mengusap pelan batu nisan yang sudah mulai berlumut di pinggir, lalu meletakkan sebuket bunga mawar putih di atasnya.
"Bu... aku datang lagi," lirih Azura pelan.
Ia duduk di tanah sambil memeluk lutut dan memandangi nisan itu dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maaf ya, Bu... aku cuma bisa datang diam-diam. Kalau bu Rita tahu aku ke sini, pasti aku dimaki-maki lagi. Katanya, nangis di kuburan itu kerjaan orang lemah," lirih Azura.
Azura mencoba menguatkan diri dari rasa kehilangan yang tidak pernah terlupakan, seraya menahan air matanya yang mulai menggenang.
"Tapi Bu, aku lelah... aku benar-benar lelah. Mereka jahat, Bu. Ibu tahu kan? Bu Rita... Nadine... mereka selalu menyakitiku. Nadine bahkan pernah menyiramkan teh panas ke tanganku cuma karena aku lupa menyiapkan bajunya," lanjut Azura.
Matanya kini memejam sehingga air matanya pun jatuh satu per satu.
"Ayah lihat semuanya. Tapi dia... dia cuma diam. Sejak Ibu pergi, Ayah bukan lagi ayahku. Dia milik bu Rita sekarang," ratap Azura sambil menggenggam rumput di depannya, lalu mencabutnya perlahan.
"Kadang aku iri, Bu. Iri sama orang-orang yang punya rumah tempat mereka pulang dengan tenang. Aku pulang ke rumah bukan untuk istirahat, tapi untuk dihukum. Untuk disuruh. Untuk dicaci hiks... hiks...."
Azura kini hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Hanya suara dedaunan dan burung yang terdengar samar menemani hatinya yang bersedih.
"Mereka bilang aku harus menikah, Bu... dengan pria yang bahkan tidak aku kenal. Dan Ayah... Ayah menyetujuinya. Aku ini apa sih, Bu? Barang? Boneka? Kenapa hidupku seperti ini?," lanjut Azura.
Azura lalu menunduk dan menangis sejadi-jadinya. Tapi itu hanya sebentar. Ia langsung mengusap air matanya dengan cepat dan berkata,
"Maaf, Bu... aku janji tidak akan menangis lagi. Aku tahu menangis tidak akan mengubah apa-apa. Tapi... aku juga tidak tahu harus bagaimana lagi. Satu-satunya tempat yang masih mendengarkan aku cuma di sini hiks... hiks...."
Setelah beberapa saat, Azura berdiri perlahan, lalu menatap nisan itu untuk terakhir kalinya sebelum pulang.
"Doakan aku ya, Bu... entah akan seperti apa hidupku setelah ini, aku cuma ingin satu... jangan biarkan aku lupa bahwa aku juga pantas bahagia, meski cuma sedikit."
Kemudian, Azura melangkah menjauh, meninggalkan makam dengan hati yang berat. Sementara itu, hujan pun mulai turun rintik-rintik, seolah langit pun ikut menangis bersama Azura.
**
Hari berganti hari, tapi keadaan seolah tidak mendukung kehidupan Azura.
Hari itu hujan turun begitu deras. Langit pun menggelap lebih cepat dari biasanya. Jalanan kota lengang, sebagian besar orang memilih berteduh. Tapi tidak Azura.
Dengan mantel panjang dan tas belanja di tangannya, Azura melangkah dengan cepat menuju halte.
Nafasnya memburu di karenakan udara dingin yang menusuk, di tambah karena pikirannya yang kacau.
Sejak pagi, Rita tak henti-hentinya membahas soal pernikahan. Sementara Ayahnya hanya diam. Diam yang memekakkan dan meleburkan harapan Azura.
Tiba-tiba...
DUARRR!!!!
Sebuah petir yang menyambar langit menghentikan langkah Azura sejenak karena saking terkejut. Ia lalu mencoba mengatur napas, tapi matanya tertumbuk pada sesuatu di kejauhan.
Ia melihat seorang pria yang berjalan tanpa alas kaki. Bajunya basah kuyup dan berantakan. Matanya liar, rambutnya awut-awutan.
Pria itu berlari menyeberangi jalan dengan sembrono, dan hampir saja ditabrak oleh mobil yang melintas.
Tidiid!!! Tidiid!!
Suara klakson pun meraung dengan pengemudi yang mengumpat keras. "Dasar gila!!! Kau mau mati ya!!."
Melihat pemandangan itu, Azura pun menjerit dan spontan berlari mendekati pria yang terlihat malang tersebut. "Tunggu! Hati-hati!."
Pria itu pun berhenti lalu menatap Azura dengan tajam namun terlihat kosong. Bibirnya bergerak pelan, seperti menggumamkan sesuatu yang tidak dimengerti.
"Dia... dia di sini... aku tahu... suara itu... suara itu hidup..."
Azura tertegun melihat racuan pria tersebut tapi ia tidak bisa hanya berdiam diri melihat seseorang hampir celaka.
"Kau baik-baik saja? Siapa namamu? Kau tersesat ya?," tanya Azura pelan, sambil menunduk agar wajahnya sejajar dengannya.
Pria itu tiba-tiba tersenyum. Aneh. Manis, tapi juga menakutkan karena matanya tetap kosong.
"Kau cantik... kamu datang dari mimpiku, ya? Aku tahu kamu bukan nyata... kamu juga dengar mereka kan? Suara-suara itu..." racuan pria itu lagi.
Gllek!!!
Azura menelan ludah, tubuhnya pun menegang karena sedikit takut. Tapi ia tidak mundur.
"Aku... aku tidak tahu kamu bicara apa. Tapi kamu harus keluar dari jalanan. Ayo ke pinggir. Kamu bisa kedinginan," ucap Azura.
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan dari seberang jalan. Lalu dua lelaki yang berpakaian seragam putih berlari ke arah mereka.
"Pak Rangga! Jangan lari lagi! Kami sudah bilang ini berbahaya!."
"Astaga! Dia hampir ketabrak mobil lagi!."
Azura pun menoleh dengan cepat. Rangga?
Sebelum Azura bereaksi lebih, pria di hadapannya yang tampak tidak waras itu tiba-tiba menggeram dan memegangi kepalanya.
"Argghh!!! Mereka mau suntik aku lagi... jangan! Aku benci jarum! Mereka jahat! Jahat semua!," teriak pria yang bernama Rangga itu.
Ia meronta, lalu berlari menjauh. Dan, dua petugas itu pun segera mengejarnya.
Sementara itu, Azura hanya bisa berdiri terpaku dengan jantung yang berdebar-debar, dan basah kuyup di bawah hujan.
~Jangan lupa kasih dukungan buat karya baru author ini ya... Selamat membaca 😊~
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong