NovelToon NovelToon
Godaan CEO Serigala Hitam

Godaan CEO Serigala Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Manusia Serigala
Popularitas:198
Nilai: 5
Nama Author: Lily Benitez

Saat tersesat di hutan, Artica tidak sengaja menguak sebuah rahasia tentang dirinya: ia adalah serigala putih yang kuat. Mau tak mau, Artica pun harus belajar menerima dan bertahan hidup dengan fakta ini.

Namun, lima tahun hidup tersembunyi berubah saat ia bertemu CEO tampan—seekor serigala hitam penuh rahasia.

Dua serigala. Dua rahasia. Saling mengincar, saling tertarik. Tapi siapa yang lebih dulu menyerang, dan siapa yang jadi mangsa?

Artica hanya ingin menyembunyikan jati dirinya, tapi justru terjebak dalam permainan mematikan... bersama pria berjas yang bisa melahapnya bulat-bulat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Benitez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 1

Hari itu sangat dingin, namun bagi Artica, itu tak lebih dari semilir angin yang menyentuh kulit. Seolah-olah tubuhnya memang ditakdirkan untuk tak gentar pada hawa dingin. Rambut putih panjangnya menjuntai sampai ke paha, berkilau dalam kabut pagi yang tipis.

Dari atas pohon tinggi, ia memandangi cakrawala... dan di kejauhan, sebuah helikopter terlihat mendekat.

Sudah lama sejak ia diselamatkan oleh wanita tua dari badai hebat. Sejak itu, Artica hidup tersembunyi di tempat terpencil, belajar berburu dan bertahan hidup. Jalanan telah lama tertutup air, dan kini dunia terasa begitu jauh.

Tapi helikopter itu… menghadirkan kenangan yang selama ini ia kubur.

***

Aku mengingatnya dengan jelas, seolah baru kemarin.

Pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Ibuku memanggil agar aku tak terlambat. Itu adalah hari terakhir karyawisata sebelum naik ke jenjang sekolah menengah. Aku mencium ibu dan ayah, penuh semangat, sementara adikku, Polo, membuat bajunya berantakan dengan sarapan. Ibuku mengeluh kami akan terlambat.

Hari itu tampak biasa. Tidak ada pertanda akan berubah segalanya.

Aku menghirup napas dalam-dalam saat keluar rumah. Aroma tanah basah menyeruak di udara.

"Akan hujan," kata ibuku sambil menatap langit.

"Jangan bilang begitu, hari ini karyawisata…" aku mengeluh pelan.

"Ramalan cuaca bilang hari ini cerah," ayah meyakinkan, menatap layar ponselnya.

"Aku gak mau pergi," Polo bersungut-sungut.

"Kelasmu enak… main, gambar, dikasih permen. Aku malah harus belajar pecahan!" Aku ikut mengeluh, matematika adalah mimpi burukku.

"Masuk, anak-anak," ucap Ibu. Ia menatap langit sejenak. Ibuku tak butuh aplikasi cuaca, dia selalu tahu apa yang akan terjadi.

Sesampainya di sekolah, aku mengantar Polo ke kelas. Begitu melihat gurunya, ia langsung lupa padaku.  Aku berjalan ke kelasku. Sahabatku, Paty, sudah menyimpan tempat duduk untukku.

"Hai, Putih!" sapanya. (Itu julukanku, karena rambut dan mataku yang keperakan—tergantung suasana hati.)

"Namaku Artica," balasku malas.

"Kau tetap 'Putih' bagiku! Cocok kok," ia terkekeh.

Aku dilahirkan albino. Aku selalu mengenakan pakaian tertutup, lengkap dengan topi dan kacamata khusus jika harus keluar rumah. Kulitku terlalu sensitif pada sinar matahari. Jika terpapar terlalu lama, akan mengelupas seperti sisik. Adikku tidak sepertiku, dia bebas bermain di bawah cahaya hangat itu.

"Perhatian!" suara guru kami menggema.

"Kalian harus memilih teman sebangku dan tetap bersama kelompok. Kita akan ke cagar alam. Aturan sudah kalian terima minggu lalu. Jika izinnya lengkap, ambil barang-barang kalian dan bersiaplah naik bus!"

"Horeee!" anak-anak bersorak.

"Paty, jangan jauh-jauh dariku," aku memperingatkannya. Aku tahu betul betapa ia gampang terdistraksi.

"Hari ini aku akan menyatakan cinta!" katanya sambil menggigit pensil, matanya tak lepas dari cowok tampan di kelas.

"Kau gila. Kalau ayahmu tahu, kau bakal dikurung sebulan!"

"Kau bilang begitu karena kau belum pernah naksir siapa pun," katanya. Dan benar juga. Entah kenapa, tak pernah ada yang terasa… cocok.

Kami memanggul ransel berat berisi bekal dan perlengkapan, lalu berjalan menuju bus. Paty memintaku duduk di dekat lorong agar ia bisa duduk di samping Marcos, yang berada di seberang dengan temannya, Luis.

Aku setuju duduk di dekat jendela; aku menyukai semilir angin yang masuk dari celah kaca.

Setelah empat jam perjalanan, kami tiba di cagar alam. Seorang pemandu menunjukkan kabin untuk anak perempuan dan satu lagi untuk anak laki-laki. Guru kami, Bu Sonia, menemani kami, sementara Pak Gabriel, guru olahraga, mendampingi anak laki-laki. Meski firasatku terasa aneh, aku mengabaikannya dan memilih menikmati kebersamaan bersama teman-teman.

"Baik, siapkan ransel kalian. Kita akan memulai perjalanan dengan pemandu," seru Bu Sonia.

"Selamat pagi. Karena jumlah kalian tiga puluh orang, kami akan membagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok akan menuju utara, kelompok lain ke selatan bersama rekan saya," jelas sang pemandu.

Aku dan Paty bergandengan, tak ingin terpisah. Aku memakai tabir surya tebal di wajah dan tangan.

"Aduh, Putih... tabir suryamu baunya menyengat," keluh Paty.

"Aku tahu, tapi aku tak punya pilihan. Kalau tidak, kulitku bisa terkelupas," jawabku, dan Paty meringis.

Kami mengikuti pemandu sambil mendengarkan cerita tentang flora dan fauna. Tapi saat mendekati kandang puma, binatang-binatang itu menjadi gelisah. Mereka menggeram, menggigit pagar, bahkan tampak ingin menerkam. Monyet-monyet pun menjauhiku, memanjat tinggi dan menatap dengan waspada.

"Kayaknya hewan-hewan nggak suka sama kamu," canda Paty.

Lalu aku mencium aroma aneh, tajam, menarik. Tanpa sadar, aku melangkah ke arahnya dan mendapati seekor anjing hitam besar di balik pagar. Ia menatapku tajam. Anehnya, ia tak menjauh. Aku tersenyum dan melepas kacamataku untuk memotret lebih baik.

"Terima kasih... kamu satu-satunya yang nggak kabur," gumamku.

"Anak, jangan terlalu dekat!" seru pemandu, menarik perhatianku. "Itu hewan berbahaya!" katanya sambil menunjuk papan peringatan.

Tiba-tiba, angin kencang bertiup.

"Kembali ke kelompok!" teriak pemandu.

Topiku terbang, jatuh tepat ke dalam kandang. Aku mencoba meraihnya dengan tongkat tapi gagal. Debu beterbangan, badai datang cepat. Dalam kekacauan, aku melihat anjing itu mengarahkan kepalanya ke tempat berteduh. Ragu-ragu, aku akhirnya masuk ke kandangnya.

"Jangan gigit aku. Kalau kau gigit, kau yang rugi!" ancamku sambil berlindung.

Anjing itu berdiri di depanku, tubuhnya jadi pelindung dari badai. Entah berapa lama, tapi aku tertidur, ditemani kehangatan dan aroma binatang itu.

Saat badai reda, ia berdiri dan memberi ruang agar aku bisa keluar. Aku melihat salah satu kakinya terluka.

"Aku akan bantu merawat kakimu... jangan bergerak, ya," kataku sambil menuang air dan mengoleskan krim antiseptik. Ia tampak mengerti.

Aku duduk, memandang sekeliling. Banyak pohon tumbang, pagar kandang rusak total. "Sekarang... ke mana perginya kabin itu?" gumamku, nyaris menangis.

Anjing itu menyenggolku. Ia memberi isyarat dengan kepala agar aku mengikutinya. Sepanjang jalan, aku berbagi sandwich dan airku. Kami tiba di rumah kecil yang dikelilingi pepohonan dan bunga-bunga yang indah.

Ia menunjuk dengan tubuhnya, seolah berkata, "Masuklah. Di sinilah tujuanmu."

"Ah... kau ingin aku yang mengetuk? Aku takut... aku bahkan tak tahu siapa yang tinggal di sana," gumamku pelan. Anjing besar itu mendorongku lembut ke arah pintu, tubuhnya menempel di kakiku. Ragu-ragu, akhirnya kuangkat tangan dan mengetuk.

"Siapa itu?" terdengar suara wanita tua dari dalam.

"Saya Artica... saya tersesat... bolehkah saya masuk?" sahutku cepat.

Pintu terbuka perlahan, menampakkan sosok wanita pendek berambut abu-abu, mengenakan gaun panjang hingga mata kaki. Tatapannya terpaku padaku, matanya membelalak.

"Maaf mengganggu... saya sedang karyawisata bersama sekolah, tapi badai datang dan saya terpisah dari rombongan... bisakah Anda menolong saya?" ulangku dengan gugup.

"Oh... kasihan sekali... kamu... kamu..." Ia tampak kesulitan menyusun kata.

"Ya, saya albino. Saya memang lahir begini," jelasku sebelum dia sempat bertanya.

Wanita tua itu mengangguk pelan. "Tentu, masuklah. Temanmu mana?"

Aku menoleh. Anjing besar itu sudah menghilang. "Dia yang mengantarku ke sini."

"Menarik... kau punya ikatan dengan binatang," gumamnya. "Masuklah, kau pasti lapar. Jujur saja, aku jarang sekali kedatangan tamu. Biasanya petugas cagar alam datang bawa perbekalan tiap akhir bulan... tapi tidak ada yang pernah tinggal lama."

Dia tampak baik... kenapa bisa sendiri? pikirku.

"Anda tinggal sendirian? Tak punya keluarga?" tanyaku.

"Dulu punya... tapi sekarang mereka sudah hidup masing-masing," jawabnya tenang. Di luar, langit kembali gelap dan suara badai mulai terdengar lagi. "Sepertinya akan lama... setidaknya kau aman di bawah atap. Rumah ini kecil, tapi cukup hangat."

"Terima kasih banyak... kalau keluargaku menemukan saya, mereka pasti akan membalas kebaikan Anda," ujarku tulus.

"Tak perlu, Nak. Aku justru senang akhirnya punya teman."

"Nak"? Aku bukan anjing... pikirku geli.

Aku membuka tasku dan menemukan cokelat yang seharusnya kuberikan pada Polo. Aku menepuk jidat.

"Ibu pasti marah... aku lupa kasih cokelat untuk Polo..."

"Polo?" tanya wanita tua itu sambil meletakkan secangkir teh di meja kecil.

"Adik laki-lakiku... lima tahun. Aku sendiri nggak pernah makan cokelat, katanya aku alergi... walau aku sendiri nggak ingat rasanya seperti apa."

"Berapa usiamu?" tanyanya, duduk di bangku kecil dari batang pohon.

"Sebelas..." jawabku ragu.

"Kau tampak tak yakin."

"Aku baru saja ulang tahun... masih belum terbiasa," kataku. Di luar, angin makin kencang dan hujan deras mengguyur. Aku melirik jendela cemas.

"Tenang... wilayah ini tinggi, banjir tak akan sampai ke sini," ujarnya menenangkanku.

"Jadi... tempat ini bisa tergenang?"

"Segalanya bisa terjadi. Aku tak menyangka kau akan datang, sama seperti hujan ini... yang tampaknya belum akan berhenti."

"Aku tak bisa keluar saat begini... orang tuaku pasti cemas."

"Kau akan bertemu mereka. Mereka pasti lebih lega kau selamat."

"Benar juga," aku menarik napas panjang, lalu menguap lebar.

"Kau lelah. Kau bisa tidur di sana," katanya sambil menunjuk ranjang dari jerami dan selimut.

"Terima kasih," balasku. Begitu aku berbaring, aku langsung terlelap.

Aku bermimpi aneh.

Di mimpi itu, serigala-serigala mengelilingiku dan membungkuk, seolah menghormat. Lalu, sepasang mata biru menatapku lekat-lekat. Dalamnya seperti samudra, seperti langit malam tanpa ujung.

Aku terbangun dengan napas memburu, melihat wanita tua itu duduk di dekat perapian, menenun.

"Hari sudah malam," gumamku.

"Iya, dan hujan belum reda," sahutnya lembut.

"Apa yang sedang Anda lakukan?"

"Menenun selimut. Malam akan semakin dingin." Jarinya lincah memainkan kayu-kayu kecil di antara benang. Aku menghela napas.

"Kau sedih... kau rindu keluargamu. Tapi jangan putus asa. Hujan akan reda, dan kau akan bertemu mereka," katanya, suaranya menghangatkan.

Hari-hari berlalu. Kami melihat dari jendela ketika air bah menyapu daratan sekitar lima puluh meter dari rumah. Tapi rumah kecil ini tetap kokoh. Aku mulai terbiasa hidup bersama wanita tua itu—Cielo, begitu ia memperkenalkan diri. Aku memanggilnya Nenek, dengan penuh sayang.

Saat ia jatuh sakit, aku yang merawatnya. Aku belajar banyak darinya: meramu obat dari tumbuhan, menenun baju, bahkan berburu. Aku bertahan.

Lalu hari itu datang. Sebuah helikopter melintas. Aku melambaikan tangan dan mereka melihatku. Mereka mulai mendekat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!