Dona Agnesia dan Bayu Wirawan adalah sepasang kekasih yang gemar sekali berpetualang. Mereka ikut dalam klub pencinta alam di Kampus mereka. Mereka sudah bersama selama lima tahun, dan selama itu pula banyak gunung yang sudah mereka daki. Sampai pada akhirnya mereka memilih untuk mendaki Puncak Cartenz, salah satu gunung tertinggi di Indonesia. Pada akhirnya keinginan mereka pun tercapai, tapi di Gunung itu pula akhirnya kisah Cinta mereka harus dipisahkan oleh kematian. Sang kekasih hati pergi untuk selama- lamanya dalam pelukan Cartenz. Apakah Dona bisa menerima kepergian sang Kekasih? dan apakah Dona bisa membuka hatinya untuk Cinta yang baru. baca terus kelanjutan ceritanya hanya di NT.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maria Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6. MAKAN MALAM BERDUA
POV BAYU
Hai, selamat malam bayu..."
Aku mendengar suara yang lembut memanggil namaku, aku pun segera membalikkan badanku.
"Mira, kamu sangat cantik malam ini?" aku terpana melihat kecantikan wajahnya itu.
"Cantik apa sih Bayu? sedangkan aku ini hanya pake celana jeans dan blouse saja... kamu lebay sekali?" jawab Dona sambil tersenyum.
"Justru penampilanmu yang sederhana inilah yang membuatku terpana. Oh iya, silakan duduk." jawabku sambil menarik kursi untuknya.
"Terimakasih" balasnya dengan tulus.
Bayu segera memanggil waiters dan segera memesan makanan dan minuman untuk mereka berdua.
"Rumah kamu dekat ya dengan cafe ini?"
"Iya, hanya selang 2 blok saja dari cafe ini".
"Aku melihat kamu ini sepertinya anak orang berada tapi caramu berpakaian betul-betul sederhana ditambah dengan hobimu yang lumayan ekstrim untuk perempuan seperti kamu".
Dona menaikkan alisnya, dia sepertinya merasa aneh dengan perkataanku?
"Maksud kamu? Memangnya aku perempuan yang seperti apa?"
"Hmmm... kamu jangan tersinggung, maksud aku kamu kelihatan seperti cewek rumahan yang tidak biasa pergi- pergi ke tempat yang jauh, apalagi harus masuk-keluar hutan?" jelasku yang tidak ingin dia menjadi tersinggung.
Dona pun tertawa mendengar perkataanku, "terkadang penampilan luar boleh menipu, tidak tau dalamnya seperti apa kan??" Jawabnya sambil tertawa.
Tidak lama kemudian pesanan kami datang, Kami pun segera menikmati hidangan itu sambil mengobrol.
"Kamu sejak kapan menyukai pendakian gunung?"
"Sejak SMP, waktu SMP kelas 1-3 kami sering membuat acara jambore setiap tahunnya. Dan waktu SMA aku pun mengikuti kegiatan pencinta alam sampai mengikuti diklat dan mempunyai nama gunung," Dona menjelaskannya kepadaku sambil dia sepertinya mengenang masa itu.
"Wah, hebat juga kamu! gunung apa saja yang pernah kamu jelajahi?" tanya Bayu lagi.
"Belum banyak sih, baru gunung Salak, gunung Gede-Pangrango aja. Maunya pas kuliah ini harus bisa menjelajahi semua gunung yang ada di indonesia... terutama menaklukkan puncak Cartenz." Jelas Dona kepadaku dan aku mendengarkan ceritanya dengan penuh minat.
"Hmmm... dari tadi kayanya kamu menginterogasiku terus?" ucapnya padaku dan itu membuatku merasa malu.
"Sekarang gantian aku yang bertanya ya bayu? Boleh kan aku juga mengetahui tentang kamu?" Tanya Dona padaku dan aku pun menganggukkan kepalaku.
"Trus kamu sendiri sejak kapan hobi naik gunung?"
Aku menarik nafas panjang, sebenarnya pembahasan tentang gunung ini membuatku ingat dengan almarhumah mamaku.
"Kalau kamu merasa pertanyaanku salah? Kamu bisa kok tidak usah menjawabnya." ucap Dona yang sepertinya merasa tidak enak denganku.
"Aku memang dari kecil sangat suka naik gunung. Aku ingat ketika aku masih berumur 5tahun dan sebelum mamaku pergi untuk selamanya. Beliau mengajakku jalan-jalan ke gunung Salak bersama ayahku juga. Dan memang hobiku ini menurun dari mama, sedangkan papa hanya ikut-ikutan saja. Kami memang belum sampai puncak karena mama kasihan denganku. Jadi kami hanya setengah dari perjalanan saja. Aku sangat suka situasi di gunung, aku merasakan kenyamanan dan kedamaian saat berada di Gunung. Dan di gunung itu pula aku merasa lebih dekat dengan mama. Kalau sampai di puncak aku suka berteriak memanggil mamaku dan mengatakan bahwa aku sangat merindukannya. Dan mama selalu berpesan padaku untuk mencintai alam ini, jangan pernah merusak ciptaan Tuhan, jadilah anak yang bersahabat dengan alam, maka alam pun akan bersahabat denganmu. Kamu harus mengikuti jejak mama nak, jadilah petualang sejati dan tetap mengikuti peraturan yang berlaku selama kamu di gunung. Itulah yang mama pesankan untukku. Makanya dari sekarang hobi itu betul-betul aku nikmati dan memang sudah mendarah daging, walaupun aku memang mempunyai riwayat asma tapi aku tetap tidak perduli. Selama aku sanggup, aku tetap akan mencoba. Sudah banyak gunung yang aku taklukkan bersama George. Di mana ada aku, di situ harus ada George karena memang dia harus menjagaku."
"Aku merasa tersentuh dengan cerita kamu, Bay. Aku tidak menyangka dari umur kamu 5 tahun, kamu sudah ikut naik gunung bersama ibumu."
"Dan pada akhirnya ayahku menikah lagi dengan mama Dinda, mama kandung kak George. Mama Dinda sangat menyayangiku layaknya anak kandung begitupun dengan George yang sangat menjagaku dan bahkan sangat protective."
"Mungkin kamu ingat yang kita ketemu di sekretariat mapala dan aku marah-marah dengan George?"
"Iya, aku ingat..!!"
"Aku marah karena dia sempat melarangku untuk ikut kegiatan mapala ini. Aku kesal karena memang aku tidak bisa jauh dari yang namanya rimba gunung."
"Kenapa dia melarang kamu? apa karena penyakit asma kamu?" tanya Dona kepadaku.
"Iya, memang betul karena penyakit asmaku. Karena saat liburan kelulusan sebelum masuk kuliah kami mendaki di gunung Ciremai, dan ketika sampai di puncak asmaku kambuh dan itu sangat parah. Sampai aku harus ditandu saat turun dari puncak. Itulah mengapa George sampai melarangku ikut kegiatan ini lagi ditambah papa dan mama sangat protective, mereka takut aku mati, hahahaha...?" ucapku sambil tertawa.
"Kenapa kamu tertawa? Apa kamu menganggap itu lelucon? Orang tua manapun akan takut kalau anaknya ada apa-apa di hutan. Apalagi asma itu tidak boleh kena udara dingin, lebih baik kamu jangan ikut kegiatan ini, Bay?"
"Aku tidak bisa Dona, karena naik gunung adalah hidup dan matiku, dan kamu tenang saja karena aku selalu membawa inhaler jadi aman. Kapan hari saat asmaku kambuh memang karena aku kecapean dan aku lupa membawa obatku itu." Jelasku pada Dona.
"Dan aku tidak takut Dona, jika nantinya aku harus mati di gunung."
"Kamu ini ngomong sembarang aja deh, Bay. Ya udah yang semangat ya Bay, kalau kamu merasa sanggup lakukanlah yang menurutmu baik. Dan maaf apa aku boleh bertanya kenapa mama kamu meninggal?"
"Uh... rasanya sedih sekali mengingat peristiwa itu, tapi aku akan tetap menceritakannya kepadamu. Seminggu setelah kepulangan kami dari gunung Salak. Saat itu di bulan november mama bersama anggota mapalanya saat kuliah dulu memutuskan pergi ke Mahameru di Jawa Timur. Papa sempat marah dan melarang mama jalan karena papa merasakan firasat yang tidak enak ditambah saat itu bulan november sedang musim hujan, pasti di gunung akan sangat dingin ditambah mama sama sepertiku mempunyai riwayat penyakit asma."
Aku sedikit menarik nafasku karena aku merasakan sesak jika mengingat kepergian cinta pertamaku itu.
"Mama bilang ke papa kalau mendaki Mahameru adalah impian terbesarnya dan dari dulu mama sangat ingin ke sana tapi tidak pernah kesampaian. Dan sekarang saat diberikan kesempatan mama tidak akan menyia-nyiakannya. Dan mama pun berjanji pada papa bahwa itu adalah pendakian terakhirnya. Setelah itu dia akan resign dari hobinya itu dan akan fokus mengurusi aku dan papa. Tapi ternyata itu adalah benar- benar pendakian terakhirnya dan mama pergi untuk selama-lamanya meninggalkan aku dan papa."
Aku merasa ingin menangis saat mengingat kenangan itu.
Dona menyentuh tanganku dan memberikan kekuatan kepadaku.
"Maaf ya Bayu kalau aku membuatmu harus membuka luka itu lagi seharusnya aku tidak bertanya tentang mamamu."
"Tidak apa-apa Dona, aku malah senang bisa menceritakannya padamu. Aku merasa bebanku berkurang. jujur saja baru sama kamu aku mau terbuka seperti ini. Biasanya aku adalah orang yang tertutup."
"Aku senang sekali Bayu kalau aku bisa mengurangi bebanmu itu." Ucap Dona sambil tersenyum tulus kepadaku.
Aku pun melanjutkan ceritaku itu,
"Pada saat itu karena mama terus memaksa akhirnya papa pun mengizinkan mama untuk pergi bersama teman-temannya. Tidak lupa papa memberikan obat asma itu untuk mama. Sebelum pergi mama mencium dan memelukku sangat erat seolah mama akan pergi jauh dan tak akan kembali. Mama berpesan agar aku selalu menjaga papa dan menjadi anak yang baik, nurut sama papa dan tidak boleh nakal. Dan juga berpesan agar meneruskan hobi mama itu. Setelah itu aku dan ayah mengantar mama sampai stasiun kereta api. Kami menunggu mama naik kereta baru kami pulang ke rumah. Dan saat aku melihat mama menaiki kereta aku merasakan sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti, aku merasa sepertinya mama akan pergi jauh dan tidak akan kembali lagi. Setelah 3 hari kemudian papa mendapat telepon yang mengabarkan bahwa mama telah meninggal yang dikarenakan terlalu capek dan mama terlalu memaksakan diri untuk sampai di puncak padahal saat itu nafas mama sudah sangat setengah mati. Dan saat turun dari puncak mama harus ditandu tapi saat sampai di shelter ternyata mama sudah meninggal. Kami pun hanya bisa menunggu jenazah mama di rumah. Papa sudah tidak bisa bicara lagi papa hanya menangis terus dan semua tetangga berdatangan ke rumah dan segera mempersiapkan kedatangan jenazah mama. Dan ketika jenazah itu sampai di rumah aku hanya berpikir kalau mama itu sedang tidur, aku pun membangunkannya tapi mama tidak mau bangun, aku mengguncang tubuhnya pun mama tetap tidak bergeming. Sampai pada akhirnya papa pun memeluk dan menguatkanku. Papa bilang kalau mama sudah bahagia di Surga. Sampai penguburan habis pun aku masih tidak bisa terima semuanya itu. Aku bilang kalau mama itu pembohong, bilang mau fokus mengurus aku dan papa tapi mana janjinya, mama bohong. Selama 1 tahun aku dan papa benar- benar tidak bisa terima dengan kepergian mama. Papa pun sangat trauma, sampai papa bilang padaku kalau Tuhan memberikan jodoh lagi untuk papa, papa tidak mau mendapatkan istri yang hobi naik gunung karena papa tidak mau lagi merasakan kehilangan yang seperti itu. Sampai pada akhirnya papa meminta ijin padaku untuk menikah dengan mama Dinda, janda anak satu. Awalnya aku menolak karena aku tidak mau ada orang lain yang menggantikan tempat mamaku. Tapi pada akhirnya papa memberikan pengertian padaku dan membawa mama Dinda dan George ke rumah dan memperkenalkannya padaku. Seiring berjalannya waktu akhirnya aku mengijinkan papa menikah dengan mama Dinda. Dan aku pun merasa bahagia mendapatkan mama seperti mama Dinda dan kakak seperti George karena ternyata mereka sangat baik dan menganggap aku seperti anak kandungnya sendiri ditambah George pun sangat menjagaku karena kami mempunya selisih umur 3 tahun."
Tak terasa Dona pun meneteskan air matanya.
"Aku sangat sedih mendengar ceritamu itu." Dona pun menggenggam tanganku erat dan menasehati aku.
"Tidak apa-apa, mama sudah bahagia di Surga. Sekarang tinggal bagaimana kamu menjalani kehidupan ini. Apalagi kamu diberikan mama tiri dan kakak yang baik. Dan Kamu bisa menceritakan apapun yang kamu rasakan padaku mulai hari ini."
Dona pun melepaskan tangannya dan memberikan jari kelingkingnya kepadaku, "mulai malam ini kita berteman?" tanyanya padaku.
Dan aku pun balas mengaitkan kelingkingku padanya sambil tersenyum.
"Oke, kita berteman mulai malam ini dan seterusnya." kami pun tertawa bersama-sama.
Tidak terasa kami mengobrol sangat lama dan sudah hampir mau jam 9 malam.
"Sudah mau jam 9 sepertinya kita harus mengakhiri makan malam ini?" ucap Dona.
"Iya kamu betul sekali, kalau begitu aku akan membayar bill ini dulu dan baru aku akan mengantarkan kamu pulang."
Dan Dona pun menganggukan kepalanya.
Setelah selesai membayar kami pun segera berjalan menuju parkiran mobil.
Tapi tiba-tiba saja,
"Dona.... awassss....!!"
*** Bersambung***