Tak Terduga

Jam sudah menunjukkan pukul 18.35. Riana masih tertegun melihat pantulan dirinya dalam cermin. Bagaimana bisa Barra memilihkan gaun yang begitu cocok dan pas untuknya. Riana tak begitu memperhatikannya saat mencobanya tadi. Kini, Riana seolah tak percaya bahwa sosok wanita yang di dalam cermin itu adalah dirinya.

'Jam!' ingat Riana sambil menggelengkan kepala menyadarkan dirinya dari rasa terpesona dengan diri sendiri.

Saat hendak keluar, Riana baru sadar bahwa dia tidak memiliki sepatu cantik untuk dipasangkan dengan gaun cantiknya saat ini. Riana bingung. Yang dia miliki hanya beberapa pasang sneakers dengan warna berbeda. Riana memutuskan untuk memakai sneakers putihnya yang memang jarang dia pakai.

'Sudahlah begini saja,' pikir Riana.

Riana lalu keluar kamar dan mengunci pintunya. Bergegas turun sebelum Barra datang. Riana menunggu Barra di depan gerbang apartemen. Penampilannya yang tak biasa sukses membuat orang-orang yang berlalu-lalang menoleh untuk memastikan bahwa Riana adalah manusia dan bukaan jelmaan dewi.

Mobil Barra sudah berhenti di depan Riana. Dengan cepat Riana membuka pintu mobil dan duduk di samping Barra. Barra melihat penampilannya yang tak biasa dengan gaun pilihannya.

'Persis seperti yang gue duga,' batin Barra. Kemudian mata Barra menangkap sepatu yang dipakai Riana. Satu alisnya terangkat begitu melihat sneakers yang dipakai Riana.

"Kamu nggak punya sepatu lain?" tanya Barra tanpa melihat ke arah Riana.

"Eh? Oh, saya nggak pernah pakai gaun Tuan. Jadi, saya nggak punya sepatu cantik," kata Riana jujur.

Barra menghela nafas panjang. Rei seperti tahu kekesalan tuan mudanya.

"Apa kita perlu mampir dulu, Tuan?" tanya Rei.

"Nggak perlu. Langsung menuju rumah ayah," jawab Barra. Riana yang bingung memilih untuk diam.

'Lagian kalau misalkan aku pake high heels, yang ada aku nggak bisa jalan,' batin Riana.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan kota masih ramai dipenuhi orang-orang yang ingin menghabiskan waktu Sabtu malam mereka. Riana, seperti biasa, menatap keluar jendela tanpa suara. Mau bicara pun juga percuma. Riana tak tahu apa yang harus dibicarakan dengan Barra.

Barra, sesuai julukannya Si Gunung Es, juga menutup rapat mulutnya. Mungkin karena mulut Barra memang sudah disetting untuk membicarakan hal yang penting-penting saja. Jadi, Barra tak mau repot-repot membuka suara untuk hal-hal yang menurutnya remeh.

'Kenapa mereka nyaman sekali dengan keheningan ini?' tanya Rei dalam hati.

Mobil perlahan memasuki sebuah halaman luas. Terlalu luas sehingga membuat Riana terpana dan menegakkan duduknya untuk melihat bahwa apa yang dilihatnya adalah nyata. Di tengah halaman terdapat rumah, atau lebih tepatnya istana megah yang berdiri kokoh. Bangunan bergaya kolosal itu, tidak pantas disebut rumah karena ukurannya yang terlalu besar. Riana menatap takjub ke arah bangunan itu.

'Ini beneran rumah Tuan Barra?' tanya Riana dalam hati.

Mobil berhenti tepat di depan rumah. Riana masih tertegun melihat kemewahan rumah yang ada di depan matanya, sampai-sampai tak sadar bahwa pintu mobil sudah dibukakan Rei untuknya.

"Silakan, Nona," kata Rei yang kemudian menyadarkan Riana. Riana perlahan turun dari mobil.

"Ayo masuk," ajak Barra santai.

"Tunggu, Tuan," kata Riana tiba-tiba. Barra yang sudah akan menaiki tangga menuju teras rumahnya berhenti dan menoleh ke arah Riana.

"Tuan yakin mau memperkenalkan saya kepada orangtua Tuan sebagai calon isteri?" tanya Riana pada Barra, merasa semakin tidak pantas bersanding dengan Barra ketika melihat kemegahan rumah Barra. Barra menghela nafas kasar, lalu berjalan menuju Riana. Tanpa berkata apapun, Barra langsung menarik tangan Riana, menggandengnya berjalan masuk ke rumah.

Riana semakin ciut ketika memasuki rumah yang seperti istana itu. Ruangan di dalamnya begitu luas. Mungkin cocok kalau digunakan untuk mengadakan pesta dansa. Barra terus berjalan masih sambil menggandeng Riana, menuju ruang makan tempat ayahnya sedang menyantap makan malam.

"Eh, Barra? Kamu pulang? Kenapa nggak kasih kabar?" sapa seorang wanita yang duduk di dekat ayahnya. Ayah Barra hanya melirik ke arah Barra. Barra hanya diam.

'Dia mamanya? Kenapa Tuan Barra tidak menjawab pertanyaannya?' batin Riana, bingung.

Barra kemudian berjalan mendekat ke arah meja makan, menarik satu kursi lalu menyuruh Riana duduk. Kemudian Barra duduk di samping Riana.

"Barra datang, mau memperkenalkan calon isteri Barra, Riana," kata Barra, langsung pada poinnya. Ayah Barra dan wanita yang duduk di samping ayah Barra melihat ke arah Riana. Riana yang dilihat, mencoba menyunggingkan senyuman di tengah atmosfer yang menurutnya aneh. Ayah Barra tetap datar, sedangkan wanita di sebelahnya tersenyum ramah.

"Barra akan melangsungkan pertunangan bulan depan. Dan pernikahan akan dila..."

"Kamu dibayar berapa sama Barra?" tanya ayah Barra, memotong kalimat Barra.

"Ba..."

"Saya tidak dibayar oleh Tuan Barra. Tuan Barra sendiri yang melamar saya," jawab Riana santai. Barra yang tadinya akan menjawab pertanyaan ayahnya, menoleh ke arah Riana. Barra cukup terkejut, Riana dengan santai menghadapi ayahnya. Sebuah senyuman tersungging di wajah ayahnya.

"Melamar? Kamu pikir saya akan percaya?" tanya ayah Barra pada Riana.

"Tidak," jawab Riana cepat.

"Karena saya juga tidak percaya saya dilamar oleh CEO saya di hari pertama saya bekerja. Tuan curiga terhadap saya? Tapi, saya lebih curiga terhadap putra Tuan yang tiba-tiba melamar saya. Apa tujuannya?" lanjut Riana tanpa terdengar gentar sekalipun. Ayah Barra tersenyum lebih lebar. Barra seolah tak percaya Riana berani mengatakan hal itu di depan ayahnya.

'Gila nih cewek. Ternyata dia masih berusaha kabur,' batin Barra.

"Jadi, kamu tidak tahu kenapa dia melamar mu?" tanya ayah Barra kepada Riana diikuti anggukan dari Riana.

"Cinta?" tanya ayah Barra.

"Cinta? Omong kosong! Bahkan kami belum pernah bertemu dan bicara sebelumnya. Bagaimana bisa ada cinta?" jawab Riana. Bukannya membuat ayah Barra heran, tapi jawaban Riana membuat ayah Barra kelihatan tertarik dengan Riana.

"Jadi, kenapa kamu tidak menolaknya?" tanya ayah Barra kemudian.

"Karena saya tidak mau kehilangan pekerjaan saya," jawab Riana tegas. Ayah Barra tertawa. Wanita di sampingnya pun tersenyum. Barra terkejut. Sudah lama sekali dia tidak melihat ayahnya tertawa seperti itu.

"Kapan kalian akan menikah?" tanya ayah Barra ketika sudah berhenti tertawa.

"Tiga bulan lagi," jawab Barra singkat.

"Persiapkan dengan matang," kata ayah Barra lalu beranjak dari kursinya. Wanita yang duduk di samping ayah Barra mengikuti ayah Barra pergi.

Hening. Riana mengira dia akan ditolak mentah-mentah oleh ayah Barra. Kenyataannya, ayah Barra malah langsung menyetujui tanpa bertanya hal-hal teknis, seperti latar belakang keluarga dan sejenisnya. Riana menoleh ke arah Barra yang ternyata sudah menatapnya tajam entah sejak kapan.

'Eh? Aku salah ngomong?'

***

Episodes
Episodes

Updated 67 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!