Pindah

"Gimana, Ri?" tanya Dinda setelah Riana kembali ke ruangan.

"Nggak gimana-gimana," jawab Riana sambil masih menahan pusing.

"Jadi tunangan sama Tuan Barra?" tanya Dinda memastikan. Riana hanya mengangguk.

"Apa dia bilang sesuatu yang romantis gitu di ruangannya?" tanya Dinda penuh selidik.

'Romantis? Yang ada kepala ku jadi tambah pusing,' batin Riana. Lalu menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Dinda.

"Berarti rekan satu tim gue beneran tunangannya Tuan Barra? Duh, nggak bisa main-main nih," celetuk Leo.

"Lo mau kerja apa main?" kata Dinda sambil menoyor kepala Leo.

"O ya. Ketua tim kita Raga," kata Dinda. Riana melihat ke arah Raga. Sepertinya menjadi pacar Raga akan lebih menenangkan dibanding menikah dengan Barra.

"Kenapa, Ri?" tanya Raga pada Riana yang menatap ke arahnya.

"Eh, nggak apa-apa. Ada kerjaan yang bisa aku bantu?" tanya Riana.

"Lo ada ide nggak buat game pra-sekolah?" tanya Raga.

"Game pra-sekolah ya? Biasanya tentang berhitung, pengenalan abjad, warna dan bentuk apalagi ya?" kata Riana sambil berpikir.

"Konsepnya gimana?" tanya Raga.

"Kita butuh karakter ya? Yang kira-kira disukai anak-anak," kata Riana sambil mencoret-coret kertas di depannya. Raga mendekat ke meja Riana. Dalam sekejap Riana mampu membuat sketsa sebuah karakter, seekor kucing lucu, diberi nama Kitty.

"Gimana?" tanya Riana sambil menunjukkan sketsa kasar karakter yang dibuatnya pada Raga.

"Lo bisa gambar manual?" tanya Raga takjub.

"Kalo sketsa kasar aja sih, bisa. Ntar untuk gambar bagusnya bisa pake aplikasi," jelas Riana.

"Kereeen..." kata Dinda ketika melihat hasil sketsa Riana.

"Keknya Tuan Barra nggak salah pilih calon tunangan deh," celetuk Leo yang ikut nimbrung melihat sketsa gambar Riana.

Raga melirik ke arah Riana yang tersenyum. Ada rasa menghujam di dadanya. Entah mengapa senyuman Riana begitu manis. Kalau diingat lagi, ini pertama kalinya Riana tersenyum sedari datang tadi pagi. Raga kembali melihat ke arah sketsa gambar Riana.

'Dia punya potensi,'

***

"Keliatan lelah banget lo, Ri," kata Ibeth yang sore ini terlihat nongkrong di depan kamarnya lagi. Riana menghela nafasnya panjang.

"Susah ya kerja di Gameflix?" tanya Ibeth penasaran.

"Sepertinya gue salah pilih perusahaan, Beth," kata Riana dengan nada loyo dan lalu masuk ke kamarnya. Ibeth bengong, mencoba memahami maksud Riana.

'Seberat itu kerja di Gameflix?' pikir Ibeth sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ibeth sedang akan masuk ke kamarnya ketika dilihatnya seorang cowok berjas rapih memasuki kawasan kost.

"Nyari siapa, Bang?" tanya Ibeth.

"Nona Riana ada?" tanya cowok misterius itu.

"Ada perlu apa ya?" tanya Ibeth lagi tanpa menjawab pertanyaan cowok itu. Riana dari dalam kamarnya samar-samar mendengar namanya disebut.

"Ada apa, Beth?" tanya Riana sambil keluar kamar.

"Itu," tunjuk Ibeth ke arah cowok misterius yang berdiri di pelataran kost.

'Hah? Rei? Ngapain sekretaris Tuan Barra ada disini?'

"Iya?" tanya Riana pada Rei yang berdiri menunggu dengan sabar.

"Anda ditunggu Tuan Barra. Silakan," kata Rei singkat sambil menunjukkan arah mobil Barra terparkir.

'Hah? Mau ngapain lagi?'

"Nggak bisa besok aja ya?" tanya Riana ragu-ragu.

"Tuan Barra sudah menunggu Nona. Silakan," kata Rei tanpa menjawab pertanyaan Riana.

'Percuma saja negosiasi sama sekretarisnya,' batin Riana.

"Oke, sebentar. Saya ambil barang saya dulu," kata Riana lalu masuk ke dalam kamar dan mengambil tasnya lagi.

"Aman, Ri?" tanya Ibeth khawatir.

"Oh. Nggak apa-apa, Beth. Aman. Makasih ya," kata Riana sambil berlalu menuju Rei.

Ibeth memperhatikan Riana yang kemudian memasuki mobil mewah. Di dalam mobil terlihat ada sosok pria yang Ibeth tak tahu siapa.

'Baru sehari kerja di Gameflix, Riana udah dapet kecengan kaya,' batin Ibeth lalu masuk ke kamarnya.

Sementara itu di mobil, Riana merasa sama sekali tak nyaman. Dirinya sudah merebahkan diri di kasur ketika dia mendengar suara Rei di luar kamarnya. Ditambah dirinya belum sempat mandi dan harus pergi lagi.

'Mau kemana sih? Kalo tanya kira-kira dijawab nggak?' tanya Riana dalam hati.

"Kita cuma pergi sebentar. Saya cuma mau kasih tau kost baru kamu. Kamu bisa pindah kapan aja. Tapi lebih cepat lebih baik," kata Barra yang seolah membaca pikiran Riana.

"Kost baru? Kenapa? Lagian disana lebih murah,"

"Saya nggak mau kamu dipandang sebelah mata sama orang. Lagi pula kamu hanya akan disana dua atau tiga bulan. Setelah menikah kamu pindah ke rumah saya," kata Barra.

"Tunggu. Kenapa saya harus menerima pernikahan ini? Saya punya hak untuk menolak kan?" tanya Riana akhirnya, merasa sudah sangat kesal dengan sikap Barra.

"Silakan saja kalo kamu mau menolak. Hanya saja, kamu harus siapkan diri kamu untuk angkat kaki dari Gameflix," kata Barra dingin.

"Dan jangan pernah berharap untuk dapat bekerja di perusahaan lain," lanjut Barra dengan nada yang lebih dingin.

Riana terbelalak. Kenapa pria di depannya ini sangat ingin menikah dengannya? Cinta? Bullshit. Kalaupun Barra jatuh cinta padanya pada pandangan pertama, tidak sebegitunya juga untuk terus memutuskan bertunangan dan menikah. Riana mulai curiga ada sesuatu yang Barra sembunyikan dibalik kata-kata pernikahan.

"Apa Tuan butuh bantuan saya untuk mendapatkan sesuatu? Warisan mungkin? Jadi, Tuan buru-buru menikah. Saya rasa..."

"Kamu memang bukan sembarang gadis. Kenapa kamu bisa berpikir bahwa saya menikahi kamu karena warisan?"

"Bisa saja itu syarat yang diajukan oleh orang tua Anda. Tapi, kalau untuk menikahi gadis seperti saya sepertinya Tuan sa..."

"Saya hanya akan menikah dengan kamu. Kamu tidak ada hak mengungkapkan pendapat kamu. Cukup diam dan menikah saja. Toh, kamu tidak akan rugi menikah dengan saya," kata Barra sambil menatap Riana tajam. Riana hanya mampu menelan ludah. Sepertinya Barra bukan tipe cowok yang mudah dia lawan.

"Sudah sampai, Tuan," kata Rei memecah keheningan.

Barra membuka kaca mobilnya. Terlihat sebuah rumah kost mewah berlantai dua berdiri di samping mobil mereka yang berhenti. Riana menatap rumah kost itu dengan tak percaya.

'Biaya kost sebulan disini bisa ngabisin uang gaji ku sebulan,' pikir Riana.

"Saya sudah pesan satu kamarnya. Di lantai dua. Ini kuncinya. Saya harap besok kamu sudah pindah kesini," kata Barra sambil memberikan sebuah kunci kamar.

'Serius?'

"Tapi Tuan kalau hanya dua atau tiga bulan mending saya nggak usah pindah aja. Sayang, uangnya," kata Riana mencoba membujuk Barra.

"Kamu lakuin apa yang saya suruh. Kalau saya minta kamu pindah, kamu harus pindah. Paham?" tanya Barra dengan nada tegas.

Riana hanya bisa pasrah. Kenapa hidupnya jadi begitu riuh seharian ini? Belum lagi nanti kalau dirinya menikahi CEO dingin, galak dan semaunya sendiri ini? Apa tidak ada jalan keluar bagi Riana?

'Mama!'

***

Episodes
Episodes

Updated 67 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!