Clara Adelin, seorang gadis bar bar yang tidak bisa tunduk begitu saja terhadap siapapun kecuali kedua orangtuanya, harus menerima pinangan dari rekan kerja papanya.
Bastian putra Wijaya nama anak dari rekan sang papa, yang tak lain adalah musuh bebuyutannya sewaktu sama sama masih kuliah dulu.
akankah Clara dan Bastian bisa bersatu dalam satu atap? yuk simak alur ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Martha ayunda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menang banyak dapat kang ojek.
sorak Sorai bergemuruh saat Bima mendominasi balapan tersebut, bibir pemuda itu tersenyum tipis saat melihat Clara tertinggal di belakang, garis finis tinggal beberapa meter lagi di depan Bima, rupanya Bima terlalu jumawa dengan predikatnya sebagai raja jalanan.
dia belum tahu bagaimana liciknya seorang Clara dalam memainkan trik, Clara dulu juga sering ikut balap liar sewaktu masih duduk di bangku SMA, dengan senyum mengembang gadis cantik bernama bulat indah itu memacu motor milik Reza dengan skill yang luar biasa.
"whuussss!."
"ciieeettt!."
suara derit rem motor memekakkan telinga, di susul sorak Sorai bergemuruh dari para penonton yang dari tadi dibuat deg deg gan oleh permainan mereka.
"sial!." umpat Bima sembari memukul tangki motornya.
"waoow! Kamu keren!."
"hebat sekali! nggak nyangka ya Bima di taklukkan oleh seorang cewek!."
"kita foto foto dulu! Ayo ayo gantian."
"kamu bisa ngalahin si raja jalanan, aku padamu pokoknya!."
"kami ini dari club mana? tadi itu keren sekali."
Bima nelangsa sambil menatap kearah Clara yang sedang di kerumuni para pemuda yang dari tadi menonton balapan itu.
"yang sabar ya bro!." Reza datang lalu menepuk pundak Bima.
"gue nggak nyangka banget sama skill tuh cewek." ucap Bima yang masih menatap Clara yang jadi bintang jalanan malam ini.
"bener banget bro, lu tau sendiri kan standar motor gue masih jauh dibandingkan sama milik elu, tapi tuh cewek bisa membuat kita yang nonton tahan nafas."
"rupanya gue terlalu meremehkan dia." Bima tersenyum tipis lalu turun dari motornya.
"yok kita samperin mereka." ajaknya sembari melangkah mendekati kerumunan anak anak muda yang kini berbalik mengidolakan Clara.
"udah ya, aku pegel nih diatas motor dari tadi, mana kakiku nggak nyampe lagi."
"eh, iya maaf maaf." Samuel memperhatikan kaki Clara yang berjinjit untuk menopang motor milik Reza.
"ayo bubar bubar, sudah cukup malam ini." imbuh Samuel yang langsung menyuruh mereka untuk bubar.
"bro, bantuin aku turun hehehehe." Clara cengengesan karena motor Reza lumayan berat dan besar.
"biar gue saja." Bima selari kecil lalu membantu Clara turun dari motor itu.
"bagaimana tuan Bima, apakah aku bisa meminta tas ku sekarang?." Clara dengan gaya petentang petenteng langsung menadahkan tangan untuk meminta tasnya kembali.
"eh, tunggu tunggu! Lo tau nama gue darimana?." tanya Bima.
"kamu pikir aku ini budek? Ya dari mereka lah, orang dari tadi Mereka, terutama para cewek selalu berteriak menyebut nama kamu!."
"oh, iya ya." Bima menggaruk garuk kepalanya sambil tersenyum malu.
"ehmm... Sebelum gue kasih tas lo, kita kenalan dulu, dari tadi gue belum tau nama elu siapa?." Bima menyodorkan tangannya.
"Clara!." ucap Clara menyambut uluran tangan Bima.
"Clara! Clara! Clara!."
Suara berisik kembali terdengar saat mereka mengetahui siapa nama gadis yang telah berhasil menaklukkan si raja jalanan.
"nama yang bagus, ini tas lo." puji Bima sembari mengembalikan tas Clara.
"kak, nih bagian dari gue, gue memang besar malam ini, mereka semua yang mendukung kak Bima kalah sama gue, karena gue satu satunya yang mendukung kak Clara tadi."
Seorang gadis berpakaian tomboy memberikan segepok uang berwarna merah ke Clara, di tangan kirinya dia mendekap tumpukan uang yang lumayan banyak.
"kamu taruhan?." tanya Clara yang belum mau mene uang tersebut.
"iya dong, setiap malam Minggu gue kesini buat taruhan, tapi baru kali ini gue menang besar!." sahut gadis itu dengan bangga.
"yaudah kamu simpen sendiri uang itu, aku nggak mau makan uang hasil taruhan, itu sama saja seperti judi." tolak Clara.
"ya... Kak Clara kok gitu sih? Aku tambahin deh!." gadis itu mengambil 3 ikat uang dengan warna yang sama.
"nggak usah, kakak nggak butuh uang, udh buat kamu aja."
"ya udah deh kalau kakak nggak mau, ehmm... Nama gue eria kak, barangkali kita ketemu di jalan atau dimana gitu, kakak sapa ya?."
"oke aria." Clara mengacungkan dua jari jempolnya.
Bima makin terpesona melihat Clara yang ternyata baik hati dan tidak mata duitan, mau mata duitan bagaimana orang Clara memang dari orok tidak pernah yang namanya kekurangan uang.
"ya udah aku balik dulu." Clara hendak berlalu meninggalkan Bima, namun pemuda itu segera menahannya.
"Lo mau jalan kaki?." tanyanya.
"iya deng, aku kan tadi sudah jalan kaki lumayan jauh."
Lalu bibir Clara tersenyum penuh arti, dia kembali mendekati Bima.
"sudah siap jadi tukang ojekku?." tanyanya sembari tersenyum penuh keyakinan.
"tentu saja!." Jawab Bima tanpa penolakan.
"yaudah ayo!." ajak Clara.
"kamu kemana ini?." tanya Bima setelah Clara naik ke bagian belakang motornya.
"kamu ada tempat favorit gak? Misalnya cafe atau tempat nongkrong di alam terbuka gitu, aku lagi males pulang dulu malam ini."
"ada tempat nongkrong, tapi kayaknya gue nggak pantas ngajak elu kesana."
"nggak pantas?." Clara menelengkan kepalanya untuk melihat wajah Bima.
"loe gadis berkelas, nggak mungkin gue ajak nongkrong di tempat lesehan pinggir jalan."
"hais! nggak masalah, di kuburan pun aku nggak bakalan nolak kok, asal gak ada hantunya saja."
"eh, kuburan mana yang kagak ada hantunya?." Bima mengernyit sambil menjalankan motornya perlahan meninggalkan kerumunan teman temannya yang lain.
"udah gak usah banyak cakap, kasihan othornya pusing, ayo cepat jalannya." ujar Clara.
"pegangan dong!." pinta Bima.
"eh?."
Clara mencengkeram jaket Bima lalu mereka pun pergi ke tempat tujuan Bima, yaitu sebuah tempat lesehan di pinggir jalan yang memang tempatnya enak dan ramai pengunjung muda mudi.
"nggak cocok kan buat kamu?." tanya Bima.
"biasa aja, sepertinya enak tempatnya, aku mau disana saja." Clara langsung menuju sebuah meja lesehan yang agak jauh dari pengunjung lain.
Mereka duduk berdua menghadap ke sebuah taman kecil yang digunakan untuk futsal, Clara yang teringat akan masalahnya bersama Bastian langsung mengecek ponselnya.
puluhan panggilan tidak terjawab dari nomor Bastian dan nomor gak di kenal memenuhi layar ponselnya, jari jemari lentiknya membuka pesan masuk yang bejibun.
Bima yang melirik sekilas langsung tahu kalau gadis di sebelahnya itu sedang ada masalah, lalu tanpa sengaja mata Bima tertuju ke sebuah cincin yang melingkar di jari manis Clara.
(dia sudah punya tunangan?.) batin Bima.
terdengar helaan nafas berat dari Clara, Bima yang tak tahu harus berbuat apa hanya bisa menawarkan minuman yang mereka pesan tadi.
Sementara itu Bastian sudah keliling kota namun ia tak kunjung menemukan keberadaan Clara, akhirnya dengan terpaksa Bastian memberatkan diri mendatangi rumah Clara.
"loh, Claranya mana?." tanya Edy yang celingukan mencari keberadaan sang putri saat Bastian muncul seorang diri.
"ehmm... Maafkan saya om, itulah tujuan saya datang kemari, saya ingin tanya, apakah Clara sudah pulang?." jawab Bastian dengan perasaan tegang.
"kamu ini bagaimana sih? Belum apa apa kok sudah tidak bisa bertanggung jawab! Jadi Clara dimana sekarang, kok bisa dia terpisah sama kamu ha!?." Edy langsung meradang.
"ta-tadi ada sedikit salah paham om, Clara pergi meninggalkan saya tanpa saya sadari, sekali lagi saya mohon maaf om." ucap Bastian dengan gelisah.
"jika sampai terjadi sesuatu dengan anak saya, saya tidak akan pernah memaafkan kamu, Bastian!." Edy meradang sambil membuka layar ponselnya.
Berkali kali dia menghubungiku nomor ponsel Clara, namun hasilnya nihil, Clara tak mau menjawab. Tapi tak lama kemudian terdengar suara notifikasi pesan masuk ke ponsel pria yang betah menduda demi anak semata wayangnya itu.
(ada apa pa, Clara lagi sama teman ini, mungkin nanti Clara mau nginap di tempat teman Clara saja, papa nggak perlu khawatir.)
Edy langsung menatap tajam kearah Bastian yang masih berdiri dengan cemas.
"cari dia sampai ketemu! Tunjukkan tanggung jawabmu sebagai seorang pria. Kalau tidak! Aku akan menghubungi kedua orangtuamu untuk memutuskan pertunangan kalian berdua!." ancam Edy.
"ja-jangan om, saya janji akan membawa Clara pulang, saya permisi dulu." Bastian langsung pergi meninggalkan Edy yang masih emosi.
(oke, kamu boleh nginep dirumah teman kamu nak, tapi angkat dulu telpon papa.) Edy membalas pesan anaknya.
Clara yang baru membuka pesan dari papanya langsung menghubungi nomor papanya karena dia takut sang papa khawatir.
"kamu jangan bersuara dulu ya, aku mau nelpon papa." ucapnya ke Bima yang duduk di sebelahnya.
"oke." Bima mengangguk.
(halo nak, kamu dimana? Bastian baru saja kesini dan katanya kamu pergi meninggalkan dia tadi, ada apa sebenarnya?.) tanya Edy dengan nada khawatir.
"besok saja Clara ceritakan pa, Clara lagi sama kok, papa nggak usah khawatir." jawab Clara.
(ya sudah pokoknya kamu baik baik saja, papa lega mendengarnya, kalau bisa jangan nginap lah, pulang saja meskipun larut malam, papa akan menunggu cla.)
"lah tadi katanya boleh, yaudah Clara pulang subuh boleh ya, ini Clara lagi nongkrong di taman kok pa, tempatnya enak, Clara masih betah disini."
(kok jadi ngelunjak sih anak papa, ya sudah yang penting kamu jaga diri baik baik.) pesan Edy.
"iya pa, ya udah ya Cakra nggak enak sama teman teman." ujar Clara. Panggilan pun terputus.
"cla, sebaiknya loe pulang saja deh, yuk gue anterin."
"eh, ogah lah! Aku masih betah kok disini, kamu bisa gak sih ngomongnya gak pake loe gue?. Kasihan authornya entar kepleset nulisnya jadi di bully yang baca."
"oh oke oke, jadi aku kamu ya?."
"nah gitu dong biar enak nulisnya."
"ehmm... Bagaimana kalau aku kamu jadi dia?." ucap Bima sambil tersenyum jahil.
"aku kamu jadi dia? Dia siapa?." Clara justru celingukan, dia pikir ada orang lain diantara mereka berdua.
"dia anak kita nantinya jiaahhhh...!" seloroh Bima.
"hiihh!." Clara langsung mencubit lengan Bima dengan gemas.
"aduh aduhh! Sakit cla, ampun!." Bima meringis kesakitan.
"dasar!." gerutu Clara sembari melepaskan cubitannya, sementara Bima yang kesakitan langsung mengusap lengannya yang terasa perih.