Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KARMIN PERGI TENGAH MALAM
"Kenapa kamu nampak keberatan, Mas? Ada apa?" Sri menatap suaminya dengan penuh selidik. Nafasnya tersengal pendek karena dideru rasa kecewa yang membuncah.
"Kenapa kamu selalu nampak malas-malasan saat kuajak melakukan hubungan badan?" tegasnya.
"Menolak apaan? Kapan aku menolak, Dek? Aku selalu siap grak waktu kita melakukannya di rumah Mbak Samijan. Masa kamu lupa?" Karmin mecucu panjang. Dia nampak tidak terima.
"Kelon di rumah Mbah Samijan itu kan karena sebuah kewajiban untuk mengasah kolor. Kalau kelon di rumah itu ya untuk kesenangan pribadi. Tapi kamu selalu menolak saat aku mengajakmu melakukannya di rumah. Kenapa? Apakah kamu hanya mau menyentuhku saat kamu butuh kolor?" Suara Sri kian meninggi.
"Dek, tolonglah. Jangan kencang-kencang, nanti suaramu didengar para tetangga. Malu, Sayang." Karmin mendesah lelah.
"Halah ....peduli setan dengan omongan tetangga!" Sri masih memekik.
Karmin kicep. Dia menelan ludah dengan susah payah untuk mengairi tenggorokannya yang mengering. Berhadapan dengan Sri benar-benar membuat dia kehabisan kata-kata.
"Dek, tolong pahamilah. Aku ini capek. Besok saja ya. Aku hari ini benar-benar capek. Kamu kan seharian ini lebih banyak istirahat di dalam kamar. Jadi aku kewalahan di warung, Sayang." Karmin nyengir kuda. Dia berusaha memberi pengertian kepada sang istri.
"Hari ini memang capek karena urusan warung, terus bagaimana dengan yang kemarin-kemarin? Apakah juga capek?" Tatapan tajam Sri nampak garang seakan menuntut jawaban yang memuaskan dari mulut Karmin.
Karmin mendengkus, lalu menyeka keringan di keningnya. Dia memaksa mengulum senyum seraya menghampiri sang istri yang sedang berdiri tak jauh di hadapannya. Dipegangnya kedua pundak wanita gemuk itu dengan lembut, lalu Karmin pun menatap wajah bulat di hadapannya dengan teduh.
"Dek, aku janji, besok aku akan memuaskanmu sampai kamu klepek-klepek," bisiknya di telinga sang istri.
"Ah, bohong. Kamu selalu memberikan janji palsu. Kamu pembohong! Aku sudah muak!" Sri mendengkus.
"Sumpah, besok aku akan membuatmu menyelami lautan cinta dan menikmati surga dunia yang akan membuatmu melayang hingga kamu serasa berada di atas awan." Pria itu merayu.
"Sumpah?"
"Sumpah, Dek. Ayolah ... jangan begini. Aku ini tidak mau kita bertengkar hanya karena urusan ranjang. Malu didengar tetangga, Dek."
Sri pun nampak melirik sinis sang suami dengan wajah menekuk. "Oke, besok lho ya. Awas aja kalau kamu berbohong. Aku akan pulang ke kampung halaman Emak!"
Karmin ternganga. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa Sri akan melontarkan kata-kata ancaman itu.
"Laah? Kok sampai mengancam ke arah sana? Sampai mau pulang kampung segala? Ini kan hanya persoalan ranjang saja, bukan tentang KDRT atau perselingkuhan. Jangan gegabah! Jangan lebay!" Pria itu membelikkan matanya lebar-lebar.
"Pokoknya aku gak mau tau! Kalau kamu masih menolakku soal urusan ranjang, aku mau pulang ke rumah emakku saja!" Sri menyeringai.
"Ya jangan gitu dong, Dek. Gak baik mengancam-ngancam suami begitu. Wong cuma urusan sepele kok sampai mengancam segala. Dosa, Dek. Dosa."
"Halah, tau apa kamu soal dosa? Wong kita dagangan bakso ae ya pakai penglarisan. Kok ya masih membahas dosa." Bibir Sri mencebik.
"Kamu pun juga berdosa jika tidak menafkahi diriku. Nafkah batin apalagi, itu sangat dibutuhkan dan sangat sensitif jika tidak sesuai dengan harapan." Wanita itu masih mengomel tanpa jeda.
"Yang penting kan nafkah lahir lancar, Sayang." Karmin terkekeh-kekeh. Dia berkedip genit untuk menciptakan kekonyolan agar suasan tidak hening begini.
"Kalau nafkah lahir sih aku masih bisa mencari. Kalau kamu tidak bisa memberiku uang banyak, mungkin aku bisa mencari uang sendiri, tapi ... kalau kamu tidak bisa memberiku nafkah batin yang memadai, haruskah aku mencari nafkan batin di luar sana? Apa aku harus mendatangi pria-pria yang mau memberiku kenikmatan nafkah batin?" Sri nampak sangat meradang.
"Sri! Ya ampun, Dek. Kenapa jadi memanjang kemana-mana? Ini kan cuma soal kenthu! Ya ampun, Sri ... kamu nyerocos terus seperti bebek dan ayam babon mau bertelur! Pusing aku!" Karmin akhirnya emosi. Omelan Sri benar-benar membuat rasa kesal di dalam dadanya meledak-ledak.
"Pusing? Sama! Aku juga pusing! Aku sampai bela-belain ikut kamu ke rumah dukun langgananmu itu dan melakukan ritual yang sangat melelahkan hanya demi selembar kolor untuk dagangan baksomu yang tidak laku itu! Kamu lihat sekarang? Uang penjualan bakso melimpah, tapi kau gunakan untuk membayar hutang Emak. Koen gendeng!" Sri berkacak pinggang dengan tatapan garang.
Karmin menarik nafas panjang. Dia mendesah lelah berulang kali. "Jadi kamu masih keberatan dengan pembayaran hutang Emak itu?"
"Woiya, jelas! Kamu itu lemah kalau di depan Emak! Emak juga gitu, numpuk hutang tapi gak mau membayar. Selalu minta dibayarin kita. Padahal anak Emak kan banyak. Huuuh!"
"Sri ...! Tahan mulutmu! Jangan membicarakan emakku dengan ejekan dan protes-protes sampahmu itu!"
"Apa! Protes sampah? Woooh! Kamu tidak terima jika aku menyindir soal Emak? Cih! Mau-maunya diporotin Emak sampai harus menanggung hutang ratusan juta. Makan tuh hutang!" Sri mendecih.
"Sri ...! Kalau kamu masih belum puas ngomel? Aku akan tidur di rumah Emak malam ini!" Karmin nampak sebal hingga dadanya terlihat kembang kempis tak beraturan.
"Yo wes sana! Tidur di tempat Emak sana! Toh percuma juga kamu tidur di rumah, lha wong kamu tidak pernah melakukan tugasmu sebagai suami dengan baik. Mending kita pisah ranjang saja!" Sri kian meninggikan suara.
"Kamu ini kesambet setan apa sih, Sri? Kamu marah sampai berbicara ngelantur begitu hanya karena urusan ranjang yang tak sesuai dengan kemauanmu?" Karmin memegang dagu istrnya dengan tatapan tajam.
Sri menyunggingkan selarik senyuman tipis di bibirnya, lalu dia berlalu dari hadapan sang suami dengan tatapan sinis.
"Oh, jadi kamu ngambek? Okeh! Aku akan tidur di tempat Emak!"Karmin pun menyeringai dan langsung mengambil jaket yang tergantung di samping meja televisi.
"Bapak mau ke mana?" Tiba-tiba Ghea membuka pintu kamarnya.
"Ghea?" Karmi terbelalak.
"Lhoh? Kamu gak tidur di rumah Emak tah, Nduk? Biasanya kalau malam Minggu kamu tidur di sana. Kok Bapak gak lihat kamu masuk ke rumah ya sedari tadi?" Pria itu menelan saliva berulang kali.
"Bapak kurang memerhatikan aku, makanya tidak melihat saat aku pulang sore tadi." Ghea berucap datar.
"Bisa gak sih, kalian berdua jangan cek-cok terus, Pak? Ghea juga pusing mendengarkan pertengkaran kalian yang selalu ribut prihal hutang, Pak." Gadis yang duduk di bangku SMP itu nampak lelah. Dia sepertinya sedikit didewasakan oleh keadaan.
"Ibumu yang memulai."
"Aaahh, entahlah. Kalian sama saja. Tak ada yang mau mengalah." Ghea pun segera masuk ke dalam kamarnya lagi dengan tatapan kuyu.
Karmin tak peduli akan hal itu, dia segera bergegas mengeluarkan motornya, lalu melajukan kuda besi itu di tengah malam yang gulita.
Mendengar suara motor sang suami yang sepertinya kian menjauh, Sri pun beranjak dari persembunyiannya dan pergi ke ruang tamu untuk mengintip dari jendela.
"Lhoh? Kok motornya ke arah barat? Katanya mau nginep di rumah Emak?" Kening Sri mengkerut saat melihat kilatan lampu motor sang suami yang memecah gelapnya malam.
"Mau ke mana dia?"