Aryani Faizah yang sedang hamil tua mengalami kecelakaan tertabrak mobil hingga bayi yang ia kandung tidak bisa diselamatkan.
Sang suami yang bernama Ahsan bukan menghibur justru menceraikan Aryani Faizah karena dianggap tidak bisa menjaga bayinya. Aryani ditinggalkan begitu saja padahal tidak mempunyai uang untuk membayar rumah sakit.
Datang pria kaya yang bernama Barra bersedia menanggung biaya rumah sakit, bahkan memberi gaji setiap bulan, asalkan Aryani bersedia menjadi ibu susu bagi kedua bayinya yang kembar.
Apakah Aryani akan menerima tawaran tuan Bara? Jika mau, bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Suasana meja makan menjadi hening, selain denting sendok yang beradu dengan piring. Faiz pun akhirnya menuruti perintah Barra, makan satu meja bersama orang-orang kaya itu. Walaupun Chana menatapnya sinis, Faiz pura-pura tidak tahu, toh Barra yang memegang kendali.
Di kursi yang berbeda, Abdullah pun sering melempar tatapan kagum kepada Faiz, lagi-lagi Faiz pura-pura tidak melihat.
Rutinitas sarapan pun selesai, semua meninggalkan meja makan. Hanya tinggal Faiz hendak membantu bibi membawa piring kotor ke dapur.
"Tidak usah Mbak, biar saya saja." bibi mencegah.
"Sekalian cuci tangan Bi." jawabnya, lalu ke dapur, selebihnya bibi yang membereskan meja makan.
"Sekarang gantian kamu yang sarapan, Dilla" kata Faiz ketika tiba di kamar.
"Iya, Kak" Dilla yang memang sudah lapar segera ke dapur
Setelah Dilla pergi, tidak ada yang Faiz lakukan. Ia duduk di tempat tidur, bersandar tembok, kemudian aktifkan hape. Kedua tangannya mengetik kata demi kata hingga menjadi paragraf. Apa itu? Tentu saja melanjutkan menulis novel yang tertunda. Faiz selama ini memang hanya menulis menggunakan hape, karena belum mampu membeli lap top. Hanya dengan menulis yang selama ini mampu menghibur hati Faiz. Saat menjalani badai rumah tangga bersama Ahsan yang memporak porandakan hatinya, dan menguras air mata.
Faiz akan menulis kala senggang seperti sekarang, agar tidak mengganggu pekerjaan.
Deeerrtt deeerrrtt..
Begitulah resikonya menulis dengan hape, baru mendapat satu paragraf sudah ada telepon masuk.
"Assalamualaikum..." Faiz menjawab telepon, ternyata Barra yang belum ada satu jam berangkat sudah menghubungi.
"Si kembar sudah bangun belum, nangis tidak, rewel tidak?" Pertanyaan Barra brebet panjang, Faiz tidak menyangka jika pria yang biasanya berkata sekata dua kata itu bisa juga bawel.
"Belum bangun Tuan..." hanya itu jawaban Faiz. Karena handphone pun sudah mati. Bersamaan dengan Dilla yang sudah selesai sarapan, masuk ke kamar ambil pakaian kotor milik si kembar akan dia cuci selagi anak-anak bobo.
Sementara Faiz melanjutkan menulis dengan cepat hingga satu bab telah selesai.
"Oeeekk... Oeeek...
Begitulah kegiatan Faiz setiap hari, hingga tiga hari sudah dia bekerja. Hari ini waktunya kontrol ke rumah sakit, tapi lagi-lagi tidak punya uang.
"Dilla, kamu punya uang simpanan tidak? Kalau ada, aku mau pinjam" Faiz memberanikan diri kepada teman barunya itu.
"Ada Kak, tapi hanya seratus ribu." jujur Dilla. Dilla menatap Faiz tidak menyangka jika wajah cantik, tampang kaya itu tidak punya pegangan seperti dirinya.
"Oh, kalau gitu nggak jadi, Dilla" jawab Faiz, mana tega meminjam uang pegangan teman barunya, lagi pula yang ia butuhkan tiga ratus ribu.
"Apa aku pinjam bibi saja ya, La" Faiz minta pendapat.
"Coba saja Kak, maaf ya, aku tidak bisa membantu." sesal Dilla.
"Jangan dipikirkan" pungkas Faiz lalu ke dapur menemui bibi. Dengan berat hati dan malu-malu, Faiz mengutarakan maksudnya. Namun, bibi belum menjawab mendengar sandal diseret.
"Faiz, sini kamu." panggil seorang pria. Suara sandal baru saja ternyata Barra yang memakai, lalu berhenti di pinggir pintu dapur.
Faiz melongo, ia pikir Barra belum pulang dari kantor, kemudian bergerak mendekati Barra. Dalam hatinya berpikir, sudah pasti bosnya itu ingin bertanya ini, itu tentang si kembar.
"Si kembar bobo Tuan, terus saya tinggal sebentar, karena ada perlu dengan Bibi." papar Faiz sebelum Barra tanya.
"Saya sudah dari kamar" jawab Barra singkat lalu menjauh dari dapur, Faiz mengekori. Ada apa gerangan sang majikan memanggilnya. Tiba di ruang keluarga, Barra berhenti. Menggerakkan tangan agar Faiz duduk, kemudian ia menyusul.
"Kamu mau pinjam uang sama Bibi buat apa?" Barra rupanya mendengar percakapan Faiz.
Faiz menunduk diam, menyembunyikan rasa malu, karena ia merasa jadi tukang hutang sana, sini. Jika jujur dengan Bara tentu saja diberi, tapi selama tiga hari ini dia sudah banyak mengeluarkan uang untuknya.
"Melamun lagi" Barra menarik tisue di atas meja, dia bulatkan seperti kelereng, lalu melempar ke arah Faiz. Kepala Faiz berkelit ke samping, tisue pun jatuh ke kursi.
Faiz tersenyum menoleh tisue tersebut. "Lemparan Tuan kurang jitu." ucap Faiz tersenyum, entah keberanian dari mana hingga bisa berkelakar dengan majikannya.
"Ngelunjak" Barra melempar yang kedua kali, kali ini tepat sasaran jatuh ke wajah Faiz.
"Aduh, jangan kdrt Tuan, saya sudah kenyang merasakan ini." Faiz memegang jidat yang kena lemparan tisue tapi tidak sakit.
"Kdrt, memang saya siapa kamu?" Barra mengernyit.
Faiz salah tingkah, niatnya ingin bergurau tapi malu sendiri. Pikiranya membenarkan kata-kata Barra, siapa dirinya.
"Buat apa kamu mau pinjam uang?" Barra kembali ke pertanyaan awal.
"Besok pagi jadwal saya kontrol Tuan" Faiz sebenarnya bisa saja untuk tidak datang tapi beberapa hari ini bekas Caesar terasa nyeri.
"Besok berangkat sama saya" Barra pun ingin kontrol anak-anak, mengingatkan Faiz agar tidak memikirkan administrasi karena dia yang akan menanggung.
"Terima kasih Tuan." ucap Faiz tersenyum, tapi Barra hanya merespon dengan anggukan lalu pergi.
Faiz pun hendak kembali ke kamar tetapi langkahnya dihadang Chana.
"Sudah saya peringatan, jangan jatuh cinta dengan Barra, tapi kamu menantang rupanya!" tuding Chana mendelik gusar, giginya beradu seperti ingin melumat Faiz.
"Tapi saya memang tidak sedang jatuh cinta Nyonya." Faiz ngeri memandangi wajah Chana, tapi kali ini tidak menunduk. Faiz mulai sedikit memberi perlawanan.
"Saya catat ucapan kamu," Chana melengos lalu pergi.
Faiz hanya bisa Istigfar lalu melanjutkan ke kamar.
"Kakak dapat pinjaman?" Tanya Dilla ketika Faiz sampai di kamar.
"Besok berangkat bersama Tuan, katanya, La." Faiz nampak senang lalu meletakkan bokongnya di kasur.
"Alhamdulillah..." Dilla pun ikut lega, di kamar tadi ia menyesal karena tidak bisa membantu Faiz.
Pagi harinya sekitar jam sepuluh, Faiz sudah diperiksa dokter Jihan. "Kamu habis lari ya?" Tanya Jihan, yang tengah memeriksa bekas Caesar, menatap Faiz.
"Sedikit, Dok" Faiz memang sempat lari ketika dikejar Ahsan tiga hari yang lalu.
"Jangan ulangi, Faiz..." Jihan geleng-geleng kepala.
"Iya, Dok" Faiz bangun dari tempat pemeriksaan, lalu duduk di depan Jihan yang tengah membuat resep. Faiz periksa seorang diri, karena Barra pun periksa si kembar ditemani Dilla.
"Jangan terlalu capek ya" pesan Jihan ketika memberi resep.
"Baik Dok." pungkas Faiz lalu ke luar, ambil obat di loket farmasi. Sesuai janjinya dengan Barra mereka akan bertemu di tempat parkir.
Tiba di tempat parkir, Barra belum sampa. Faiz bersandar di mobil menunggu sang pemilik. Tanpa Dia sangka, gerak gerik nya ada yang memperhatikan.
"Mau lari kemana kamu?!" Tandas seseorang, tiba-tiba mencengkeram tangan Faiz.
...~Bersambung~...
anda penasaraaaan???
samaaa aku jugaaa 🤣
ayooo trima faiz, jngan lama lama kalau mikir....
lanjut...
semangat...
terima ajaaa
mau dkasih hadiah kah.?? atau perpnjang kontrak... 🤭
lanjut kak