Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Tatapan
Pagi itu kantor masih terasa sepi ketika Anna tiba paling awal, seperti biasanya. Ia menata meja kerja, mengecek jadwal, dan menyiapkan semua dokumen rapat sebelum siapa pun bahkan sempat menyapa resepsionis. Ketika akhirnya ia berdiri di depan pintu ruangan Liam, ia sudah hafal seluruh agenda hari itu di luar kepala.
Ia mengetuk dua kali, lalu membuka pintu perlahan.
“Pagi, Pak,” sapa Anna lembut, sambil sedikit menunduk.
Liam sedang menata berkas-berkas di mejanya, penampilannya seperti biasa rapi, namun ada sesuatu yang tampak sedikit berantakan. Anna melihat itu sekilas—hanya sekilas—lalu kembali fokus pada tugasnya.
“Pagi,” sahut Liam pendek. “Sebutkan jadwal.”
Anna membuka tabletnya. “Pukul sembilan ada meeting dengan tim marketing soal laporan kuartal. Jam sebelas ada conference call dengan cabang Jepang. Setelah makan siang, ada revisi proposal tender yang harus ditandatangani hari ini sebelum jam empat.”
Liam mengangguk. “Oke. Siapkan semua dokumen untuk rapat marketing.”
Anna sudah menyiapkannya sejak setengah jam yang lalu, tinggal mengambil map yang sudah diurutkan sesuai pembahasan.
“Tentunya, Pak.”
Ia meletakkan dokumen rapi di meja Liam. Ketika Liam hendak merapikannya, Anna tiba-tiba berhenti bicara. Ada sesuatu yang membuatnya terpaku selama satu detik. Dasi Liam miring—sedikit saja—tapi cukup untuk mengganggu keseluruhan tampilan presdir yang perfeksionis ini.
Anna sempat ragu. Ia sadar posisinya. Ia tahu siapa Liam—seseorang yang bahkan manajer tingkat tinggi takut salah bicara di depannya. Tapi ia juga sekretaris pribadi sementara, dan kerapihan Liam adalah representasi perusahaan.
Akhirnya ia tarik napas pendek dan berkata pelan, “Pagi ini kita ada meeting Pak…” kalimatnya menggantung. Ia menatap Liam beberapa detik, lalu memberanikan diri.
Tanpa aba-aba ia melangkah mendekat. Sangat hati-hati agar tidak terkesan lancang. “Maaf, Pak… dasi Bapak kurang rapi. Saya izin betulkan.”
Liam terhenti. Tangannya yang sedang memindahkan dokumen membeku seketika, sementara sorot matanya mengikuti gerakan Anna mendekat ke arahnya. Anna menunduk sedikit, tangannya bekerja cepat dan profesional. Ia tidak menyentuh selain bagian dasi dan kerah. Semua berlangsung hanya beberapa detik, tapi suasana itu terasa jauh lebih panjang.
Liam bahkan tidak bergerak, seperti tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada orang yang berani menyentuhnya sebelumnya—bahkan asistennya yang lama pun selalu bertanya lima kali.
Namun, pada Anna… entah kenapa ia tidak memarahi, tidak menegur, tidak bereaksi berlebihan. Ia hanya… diam.
“Sudah, Pak,” ucap Anna sambil mendongak sedikit, menatap langsung ke mata Liam untuk memastikan ia mendapat persetujuan.
Tatapan itu hanya bertahan tiga detik. Tapi tiga detik itu cukup untuk menimbulkan sesuatu—kekakuan, kecanggungan, atau mungkin sekadar kesadaran bahwa batas profesional pernah dilintasi walau dengan niat baik.
Liam menelan ludah pelan. “Terima kasih,” katanya akhirnya, suara yang lebih pelan daripada biasanya. Bahkan sedikit serak.
Anna mundur satu langkah, kembali menjaga jarak profesional.
Dan di saat ketegangan itu belum sempat menguap, pintu terbuka.
“Ups, sorry…” suara Gema terdengar jelas, membuat keduanya tersentak.
Anna langsung menjauh. Liam cepat-cepat menegakkan duduknya, seperti baru tertangkap melanggar aturan ketat yang ia buat sendiri tentang ruang kerja.
Gema menaikkan alisnya sambil tersenyum geli. “Boleh kali ketuk pintu dulu,” tegur Liam dalam nada tak tegas, lebih terdengar sebagai defensif.
“Lagian tadi pintunya ga kekunci,” balas Gema sambil masuk seenaknya. “Gue kira lo lagi sibuk kerja, bukan… hmm… penataan fashion.”
Wajah Anna langsung memerah. “Saya tadi hanya membetulkan dasi Pak Liam karena kurang rapi, Pak Gema.”
Gema tertawa pendek. “Tenang, gue ga bilang apa-apa. Gue justru takjub. Selama gue hidup, kayaknya baru hari ini ada manusia yang berani benerin dasi Liam tanpa disuruh.”
Liam mengalihkan pandangan, tak suka jadi pusat ledekan. “Ada perlu apa lo ke sini?”
“Ngasih tau aja, meeting marketing dimajukan lima belas menit.”
Anna langsung menunduk hormat. “Baik, saya segera siapkan ruangan rapat.”
Ia keluar, meninggalkan Gema dan Liam. Gema memandang Liam dengan tatapan yang sulit diartikan antara godaan dan analisis.
“Bro…” Gema mencondongkan tubuh. “Gue boleh jujur?”
“Nggak.”
“Tapi gue bilang aja.” Gema mengeluarkan gumaman puas. “Lo tuh kalau ada Anna di ruangan kayak… hmm… beda aja.”
Liam memutar bola matanya. “Jangan mulai.”
“Tapi beneran deh. Lo keliatan lebih manusiawi.”
Liam hendak membalas, tapi tak ada kalimat yang muncul. Ia hanya menarik napas panjang.
⸻
Setengah jam kemudian rapat berjalan. Anna mengatur presentasi, membagikan berkas tepat waktu ke setiap peserta, memastikan proyektor berfungsi, bahkan menegur halus manajer yang datang terlambat.
Rapat berjalan jauh lebih rapi daripada biasanya.
Para manajer yang biasanya mengabaikan asisten magang, kini mulai memperhatikan Anna dengan hormat. Sikapnya luwes, suaranya tegas tapi sopan, dan setiap kali ada dokumen yang mereka lupa bawa, Anna sudah menyiapkannya.
“Ini untuk Bapak,” katanya berulang kali sambil menyerahkan berkas tepat ketika dibutuhkan.
Semua orang menyadari… perempuan ini sangat kompeten.
Liam memperhatikan dari ujung meja, memperhatikan bagaimana Anna mengatur tempo rapat seperti seseorang yang sudah bertahun-tahun bekerja di dunia korporat. Sementara ia sendiri hanya duduk, melihat semua berjalan tanpa harus memberi instruksi.
Ketika rapat berakhir, beberapa manajer bahkan menghampiri Anna.
“Kamu cepat ya kerjanya.”
“Luar biasa rapi presentasinya.”
“Kalau kamu tetap di perusahaan ini, kita bakal kebantu banget.”
Anna tersenyum kecil, kaget mendapat pengakuan dari orang-orang yang biasanya dingin. “Terima kasih, Pak.”
Liam melihat itu dari kejauhan. Ada sesuatu yang menusuk ego sekaligus membuatnya… kagum. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi ia sadar: ia mulai bergantung pada Anna lebih dari yang ia sadari.
Setelah semua kembali ke meja masing-masing, Liam berdiri di depan pintu ruangannya sambil memanggil, “Anna.”
Anna menoleh cepat. “Ya, Pak?”
“Masuk sebentar.”
Ia masuk dan berdiri tegap, menunggu instruksi.
Liam menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan, “Hari ini… kerja kamu bagus.”
Anna sempat membeku. Liam tidak pernah memuji siapa pun dengan mudah.
“Terima kasih, Pak,” jawabnya tulus. “Saya hanya melakukan tugas saya.”
Liam mengangguk. “Teruskan.”
Anna mundur satu langkah. “Baik, Pak. Kalau begitu saya kembali ke meja saya.”
Saat ia keluar, Liam bersandar pada meja, menghela napas pelan. Dalam hati ia tahu: perempuan ini bukan hanya punya kompetensi… tapi juga membawa perubahan dalam ritme kantornya.
Sebaliknya, Anna berjalan ke mejanya dengan perasaan aneh—bangga, gugup, dan entah kenapa masih terbayang kejadian pagi tadi saat ia membetulkan dasi Liam.
Bukan romantis. Hanya… sesuatu yang sulit dijelaskan.
Suatu dinamika baru yang bahkan keduanya belum siap untuk mengakuinya.