Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 PERTANYAAN YANG TERPENDAM.
Kabar itu datang lebih cepat dari yang Alya kira. Siang itu, saat ia sedang memeriksa laporan keuangan di kantornya, salah seorang rekan bisnis mendekatinya dengan wajah penuh rasa iba.
“ Bu alya… aku dengar kabar kurang menyenangkan. Katanya, Pak Darma, datang ke perusahaan keluarga Pak Arga pagi tadi. Dia menuduhmu macam-macam di hadapan para direktur…”
Dunia Alya seakan berhenti sejenak. Jari-jarinya yang menggenggam berkas tiba-tiba bergetar. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah yang mulai mendidih. Fitnah. Lagi-lagi fitnah. Dan kali ini, bukan orang lain yang menyebarkan, melainkan ayah kandungnya sendiri.
Tanpa berpikir panjang, Alya menutup berkas, berdiri, dan meraih tasnya. “Saya harus pergi.”
" Bu Alya, mau kemana? " Tanya Dinda.
" Tunda semua agenda saya hari ini " Ucap Alya tegas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Siang itu, mobil hitam yang dikendarai Alya berhenti tepat di depan rumah megah keluarga Darma. Rumah yang dulu selalu membuatnya merasa asing meski ia tumbuh di dalamnya. Rumah yang penuh kemewahan, tapi kosong dari kehangatan.
Pintu besar dibuka oleh salah satu pelayan rumah. “Nona Alya…” sapanya terkejut.
“Papah ada di rumah?” suara Alya dingin.
Pelayan itu ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk. “Ada, Nona. Beliau sedang di ruang kerja.”
Alya langsung melangkah masuk, tidak peduli tatapan beberapa pelayan lain yang berbisik-bisik di balik pintu. Langkah sepatunya terdengar menghentak di lantai marmer, menandakan emosi yang ia tahan sejak tadi.
Di ruang kerja, Papah Darma tengah duduk sambil membaca koran. Wajahnya terlihat tenang, seolah-olah tidak ada badai yang baru saja ia ciptakan pagi tadi.
“Papah!” suara Alya pecah, membuat Darma menurunkan koran dengan gerakan malas.
“Oh, kau.” Papah Darma menatapnya singkat, lalu meletakkan koran di meja. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Alya mengepalkan tangannya. “Aku datang untuk menegurmu. Aku dengar langsung dari orang luar bagaimana Papah menyebarkan fitnah tentangku di hadapan banyak orang. Apa Papah tidak puas sudah menjatuhkanku dulu? Apa Papah harus membuatku hancur di depan dunia bisnis juga?”
Papah Darma bersandar ke kursinya, wajahnya tetap datar. “Aku hanya mengatakan kebenaran. Kau selalu membawa masalah, Alya. Dari dulu sampai sekarang. Aku tidak mau Aluna jadi korban karena ulahmu.”
“Kebenaran?” Alya tertawa getir, matanya mulai berkaca-kaca tapi suaranya tetap tegas. “Jangan sebut itu kebenaran, Pah. Itu semua kebencianmu. Kebencian yang bahkan aku sendiri tidak tahu alasannya! Aku ini anakmu atau bukan, sebenarnya?!”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, menyayat udara ruang kerja yang dingin.
Papah Darma terdiam sejenak. Tatapannya berubah tajam, tapi bukan karena terkejut lebih seperti seseorang yang tidak mau membongkar sesuatu yang sudah lama disimpan.
“Apa maksudmu?” suaranya berat.
Alya maju selangkah, air matanya mulai jatuh. “Sejak kecil, aku tidak pernah merasakan kasih sayang Dari papah dan mamah seperti yang Aluna dapatkan. Aku selalu diperlakukan berbeda. Aku selalu dianggap salah. Aku dihukum atas hal-hal yang bahkan bukan salahku. Dan sekarang… sekarang Papah menyebarkan fitnah seolah-olah aku perempuan hina. Katakan padaku, Pah. Apa aku ini benar-benar anak kandungmu? Atau aku hanya anak angkat yang tak pernah Papah inginkan sejak awal?”
Ruangan itu membeku. Suara Alya bergema, menusuk setiap sudut.
Papah Darma bangkit dari kursinya, menatap Alya dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Jaga mulutmu, Alya. Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan.”
Alya menatap balik tanpa gentar. “Justru aku ingin tahu. Jika memang aku anakmu, kenapa kau tak pernah sekalipun melihatku dengan kasih sayang? Jika memang aku darah dagingmu, kenapa kau selalu memilih Aluna dan menyingkirkanku?”
Napas Alya terengah karena emosi. Ia menatap ayahnya terakhir kali, lalu berbalik menuju pintu.
“Sampai kapan pun, aku tidak akan membiarkanmu merusak hidupku lagi. Dan jika Papah masih berani menyebarkan fitnah tentangku, maka jangan salahkan aku kalau aku mulai membuka semua kebusukan keluarga ini ke dunia luar.”
Pintu terbanting keras saat Alya keluar, meninggalkan Darma yang berdiri terpaku di tengah ruang kerja. Untuk pertama kalinya, ekspresi Papah Darma tidak lagi dingin ada keretakan tipis di balik wajah kerasnya, seolah Alya baru saja menyentuh luka yang selama ini ia tutup rapat.
Langkah Alya cepat dan tegas meninggalkan ruang kerja Papah Darma. Hatinya masih berkecamuk oleh pertanyaan yang tak terjawab, dadanya berdegup keras menahan amarah dan luka. Namun sebelum ia benar-benar keluar dari rumah itu, sebuah suara nyaring menahannya.
“Alya!”
Langkahnya terhenti. Dari arah tangga, Aluna melangkah anggun dengan gaun rumah berwarna pastel, wajahnya tersenyum penuh kemenangan. Tatapan matanya meremehkan, seperti biasa.
“Apa yang kau lakukan di sini? Membuat masalah lagi? Atau menangis-nangis minta dikasihani papah?” Aluna menyeringai. “Kasihan sekali. Bahkan setelah lima tahun pun, kau tetap saja… tak diinginkan.”
Alya menatapnya dengan dingin, tak berniat membalas hinaan itu. Ia kembali melangkah.
Namun suara Aluna kembali menahannya. “Oh ya… ada satu hal yang harus kau tahu.” Aluna menuruni anak tangga, kini berdiri beberapa langkah di depan Alya. Suaranya tajam, penuh racun.
“Mulai sekarang, jangan pernah mendekati Arga lagi. Dia milikku. Tunanganku. Sebentar lagi kami akan menikah.”
Alya menoleh, tatapannya lurus menusuk ke arah sang kakak. “Tunanganku?”
Aluna mengangguk dengan senyum puas. “Ya, benar. Jadi hentikan semua mimpimu. Hentikan semua kenangan yang dulu kau miliki dengannya. Karena Arga kini hanya milikku.”
Untuk sesaat, Alya terdiam. Lalu, alih-alih marah, bibirnya justru melengkungkan senyum tipis. Senyum yang membuat Aluna tertegun sejenak. Dengan langkah mantap, Alya mendekat hingga jarak mereka begitu dekat.
Alya menunduk sedikit, lalu membisikkan kata-kata tepat di telinga Aluna, suaranya rendah namun menusuk.
“Status tunangan hanya bisa hilang dalam sekejap, Aluna. Tapi seorang istri… adalah selamanya. Percayalah, aku akan mendapatkan Arga kembali. Dan saat itu terjadi, aku yang akan berdiri di sisinya sebagai istrinya, bukan kau.”
Aluna membelalak, wajahnya memucat, lalu berubah menjadi merah padam karena amarah. “Kau… berani menantangku?”
Alya menegakkan tubuhnya, menatap Aluna dengan senyum yang lebih lebar. “Aku tidak menantangmu. Aku hanya memberitahumu apa yang akan terjadi.”
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Alya berbalik meninggalkan rumah itu. Suara langkah sepatunya menggema, meninggalkan Aluna yang terdiam dengan hati mendidih.
Untuk pertama kalinya, Aluna merasa terancam karena sorot mata Alya bukan lagi milik gadis lemah yang bisa diinjak sesuka hati. Itu adalah sorot mata seorang wanita yang siap merebut kembali apa yang memang menjadi miliknya.