Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10
“Mas Anwar!!!” jerit Bu Ratih, mengguncang tubuh suaminya yang tak lagi bergerak. Tangisnya pecah di dalam mobil, mengguncang hati semua yang mendengar.
Berita kematian Pak Anwar cepat menyebar ke telinga tetangga. Suasana desa mendadak berduka.
Beberapa orang langsung menuju rumah masing-masing untuk memberi kabar kepada sanak saudara mereka dan ada yang mengumumkan berita duka itu di toa masjid, sementara sebagian lain menenangkan Bu Ratih yang hampir pingsan karena kehilangan suaminya pria yang telah menemaninya hampir tiga puluh tahun lamanya.
“Ya Allah... Pak Anwar meninggal?” bisik seorang tetangga dengan wajah pucat.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un... orang sebaik beliau pergi begitu cepat,” ucap yang lain sambil menyeka air matanya.
“Kasihan Bu Ratih... siapa yang sangka pagi tadi masih sempat ngobrol dan shalat berjamaah subuh bersama, sekarang sudah begini,” tambah seorang ibu paruh baya, memeluk bahu tetangganya.
“Naia belum juga pulang, apakah sudah ada yang mengabarinya kalau bapaknya meninggal dunia. Bagaimana kabarnya kalau dengar ayahnya sudah tak ada?” sahut seorang bapak dengan nada prihatin.
“Semoga Allah kuatkan hati keluarga ini,” ujar tokoh desa yang ikut hadir, menepuk dada penuh haru.
Namun di tengah kabar duka itu, Atharva masih berdiri dengan wajah dingin. Anak buahnya melaporkan hasil penggeledahan yang sia-sia.
“Maaf, Tuan Muda. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Nyonya Naia.”
Atharva mengepalkan tangannya erat, nyaris menahan ledakan emosi. Rasa kecewa bercampur marah menguasainya. Ia menatap kosong ke arah mobil jenazah yang perlahan kembali, membawa jasad mertuanya.
“Kau bahkan meninggalkan dunia ini tanpa memberitahuku dimana Naia berada, Pak Tua...” desisnya dengan suara rendah dan getir.
Sementara Bu Ratih terisak di pelukan tetangga, hanya satu kalimat yang terus ia ulang-ulang, lirih namun penuh doa.
“Ya Allah... lindungi anakku Naia... jangan biarkan dia kembali ke pelukan pria berhati batu itu...”
Bu Ratih memperhatikan kepergian Atharva dengan hati yang remuk.
“Apa benar lelaki itu suami anakku? Suami keduanya? Tapi mereka menikah tanpa seizin dan sepengetahuan kami, orang tuanya. Apa ini termasuk sah pernikahannya.” batinnya Bu Ratih sambil sesekali menyeka air matanya.
“Ya Allah, jagalah dan lindungilah anakku dimanapun dia berada. Jangan biarkan sesuatu yang buruk menimpanya…” batinnya lirih sembari menahan tangis, menunduk memandang tubuh Pak Anwar yang kini terbujur kaku, dingin, tanpa nyawa.
Atharva meninggalkan desa kelahiran Naia dengan wajah penuh amarah, tanpa menoleh sedikitpun pada mertuanya yang baru saja kehilangan sosok suami. Ia sama sekali tak peduli dengan duka keluarga itu.
“Brengsek!! Shit!! Naia… kamu pergi ke mana, hah? Kalau hari ini aku nggak temukan kamu, aku bersumpah nggak akan pernah menyerah! Sampai akhir hayatku, aku nggak akan berhenti mencari dan kupastikan akan membawamu kembali. Dan ingat, aku nggak akan pernah menikah lagi!” geram Atharva, genggaman tangannya menghantam keras setir mobil mewahnya.
Dengan kecepatan tinggi, ia melesat meninggalkan desa, menembus jalan menuju Jakarta tanpa menoleh lagi.
Kabar duka cepat menyebar. Seluruh warga desa menangis, merasa kehilangan sosok pria sederhana yang penuh wibawa yaitu Pak Anwar Zahid.
Beliau dikenal ramah, santun dan menjadi tempat bertanya banyak orang. Kini, jasadnya terbujur di ruang tamu rumah kecil itu, diselimuti kain putih.
Sementara Atharva kembali ke Jakarta dengan tangan hampa tanpa mengetahui saat ini sang istri barunya entah dimana, hatinya diliputi bara api emosi yang meletup-letup.
Beberapa jam setelahnya, udara duka masih pekat, rumah sederhana milik keluarga almarhum Pak Anwar dipenuhi suara isak tangis dan bacaan doa.
Namun, suasana yang seharusnya penuh belasungkawa mendadak berubah menyesakkan hati ketika kedua besannya.Pak Wijaya dan Bu Karmila, orang tua Aryasatya Wijaya hadir bukan untuk mengucapkan simpati, melainkan membawa luka baru.
Alih-alih menenangkan, ucapan mereka justru menusuk hati Bu Ratih dan membuat para tetangga beberapa terperangah.
“Kami yakin, pasti Pak Anwar meninggal dunia karena tertekan dan menderita batin setelah mengetahui anak kesayangannya, anak satu-satunya telah selingkuh dengan pria yang tak jelas asal-usulnya, bahkan di hari pertama mereka sampai di Jakarta dan sebagai pasangan suami istri,” ucap Bu Karmila dengan nada sinis, matanya melirik penuh tuduhan.
Belum sempat orang-orang merespons, Pak Wijaya menimpali dengan suara lantang, “Kami sungguh menyesal telah menikahkan putra kami dengan Naia, anak kalian. Ternyata perempuan itu hanya murahan. Perempuan bayaran yang mempermalukan keluarga besar kami!”
Seisi rumah seketika hening. Hanya suara tangis tertahan Bu Ratih yang terdengar, bercampur dengan desahan napas para tetangga yang kaget mendengar fitnah keji tersebut.
Padahal jasad Pak Anwar baru saja dimakamkan. Duka belum juga reda, namun hinaan, caci maki, dan sindiran dari mantan besannya membuat suasana semakin ricuh. Bisik-bisik pun merebak di antara kerumunan.
“Astaghfirullah... tega sekali mereka bicara begitu di depan jenazah yang baru dimakamkan,” bisik seorang bapak tua, menggeleng tak percaya.
“Apa jangan-jangan pria asing yang tadi pagi marah-marah itu penyebab Pak Anwar serangan jantung dan dia adalah selingkuhannya Naia?” sahut seorang ibu-ibu, menutup mulutnya.
“Waduh... Naia. Kami kira dia gadis sholehah, ternyata perempuan murahan yang bikin aib besar,” celetuk seorang perempuan lain, membuat beberapa yang lain semakin gaduh.
Bu Ratih yang duduk lemas di kursi, sesenggukan sambil memeluk foto suaminya, akhirnya mengangkat wajah.
Matanya sembab, namun sorotnya penuh perlawanan. Ia berdiri, menatap satu per satu orang yang berani menghina putri semata wayangnya.
“Cukup!!!” suaranya pecah, namun tegas.
“Kalian semua tidak tahu apa-apa tentang anakku! Naia tidak pernah murahan, tidak pernah menjual dirinya. Kalian hanya mendengar fitnah tanpa bukti, lalu seenaknya menghakimi!”
Tangannya bergetar, tapi ia melanjutkan dengan air mata bercucuran, “Suamiku baru saja pergi. Bukannya kalian memberi doa dan penghiburan, malah menambah luka dengan kata-kata keji. Apa hati kalian sudah sekeras batu?!”
Beberapa tetangga terdiam, merasa tersindir. Ada pula yang saling pandang, ragu untuk menimpali. Namun Bu Karmila justru tersenyum miring.
“Bu Ratih, jangan membela anakmu dengan membabi buta seperti itu. Semua orang sudah tahu siapa Naia sebenarnya,” ujarnya, penuh sindiran.
Bu Ratih mendongak, dadanya naik-turun menahan amarah. “Aku bersumpah atas nama Allah, anakku bukan seperti yang kalian tuduhkan. Naia adalah darah dagingku, aku lebih mengenalnya daripada siapapun di sini. Kalau ada yang berani lagi menghina anakku di rumah ini, kalian akan berhadapan dengan aku, Ratih, istrinya almarhum Anwar!”
Tangisan pecah kembali, namun kali ini tangis yang bercampur amarah dan kekuatan.
Para tetangga pun makin gempar. Ada yang merasa iba pada Bu Ratih, ada pula yang masih terhasut oleh fitnah keluarga Wijaya.
Suasana kian panas. Bu Ratih yang sedari tadi menahan emosi dan kesedihan akhirnya tak lagi sanggup. Nafasnya terengah, tubuhnya goyah, dan wajahnya pucat pasi.
“Bu Ratih! Astaghfirullah...!” teriak seorang tetangga ketika tubuh wanita paruh baya itu tiba-tiba limbung dan jatuh ke lantai.
Tangis histeris pun pecah. Beberapa ibu berlari mendekat, berusaha mengangkat tubuhnya.
“Cepat! Panggil mobil! Bawa ke rumah sakit sekarang!” seru seorang bapak-bapak yang lebih muda.
“Kasihan sekali beliau belum kering air matanya kehilangan suaminya, sekarang jatuh pingsan karena hinaan itu...” ucap yang lain, terbata-bata menahan tangis.
Pak Wijaya dan Bu Karmila hanya saling pandang, tidak bergeming sedikitpun. Bahkan lirikan sinis masih tersisa di wajah mereka, membuat beberapa tetangga berdesis penuh geram.
Di Jakarta, sore itu di sebuah ruangan megah yang biasa digunakan sebagai markas anak buah kepercayaan Atharva, tiga orang duduk dalam ketegangan.
Lampard bersandar santai di kursinya, gelas minuman beralkohol di tangannya berembun hampir tandas tak bersisa.
“Jangan coba-coba bilang kalau kamu nggak ada hubungannya dengan kaburnya Nyonya Muda Naia,” ucap Lampard dingin, menatap Claudia penuh curiga.
Claudia melirik sekilas, senyum tipis tersungging. Ia tahu Lampard bisa membaca isi hatinya. Dulu, pria itu pernah terang-terangan menyatakan cinta, tapi dengan kejam Claudia menolak cintanya.
“Kamu pasti nggak akan percaya kalau aku bilang aku sama sekali nggak terlibat. Percaya atau nggak, itu urusanmu,” balas Claudia datar, tangannya refleks mengusap leher yang masih terasa perih bekas cekikan Atharva beberapa waktu lalu.
Dio, yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya, menimpali tanpa mengangkat wajah. “Kalau boleh kasih saran, berhenti berharap Tuan Muda Atharva akan memilihmu. Setelah aku lihat sendiri betapa kalutnya dia saat Nyonya Muda kabur, aku yakin di hatinya nggak ada ruang lagi buat perempuan lain.”
Claudia tertawa keras, mengejek. “Hahaha! Kamu naif, Dio. Bagiku, kesempatan itu masih ada. Apalagi perempuan kampungan itu sudah kabur. Aku yakin Naia nggak akan balik lagi. Jadi, cepat atau lambat Atharva akan melihat siapa perempuan yang benar-benar pantas di sisinya.”
Lampard mendengus, geleng-geleng kepala. “Bego. Kau hanya buang-buang waktu. Obsesi sama sesuatu yang nggak mungkin tercapai.” Ia berdiri, menyambar jaketnya, lalu melangkah keluar dengan wajah muak.
Claudia meneguk habis minumannya, senyum sinis di bibirnya. “Kalian nggak akan pernah bisa menemukan bukti. Aku sudah atur semuanya dengan sangat rapi. Kali ini, aku bermain bersih dan sangat licin. Dan aku akan pastikan Naia benar-benar hilang dari hidup Atharva.”
---
Sementara itu, di sebuah rumah sakit kecil di pinggiran Jakarta…
“Maafkan Bapak ya, Nak. Bapak tadi nggak sengaja menabrakmu,” ucap seorang pria tua dengan wajah cemas, tangannya gemetar memegang lengan Naia.
“Iya, Nak. Suamiku benar-benar nggak ada niat untuk menabrakmu. Kami terburu-buru, ada kabar keponakan kami yang meninggal, jadi kami panik,” tambah seorang perempuan paruh baya yang duduk di sampingnya, suaranya terdengar penuh penyesalan.
Naia, yang duduk di bangsal dengan kepala sedikit terbalut perban, mencoba tersenyum meski tubuhnya masih terasa lemas.
“Bapak, Ibu… saya yang salah. Saya menyeberang jalan tanpa lihat kondisi. Malah bikin Bapak sama Ibu terlambat ke tempat tujuan. Saya yang harus minta maaf.” sesalnya Naia.
Perempuan paruh baya itu menatapnya iba. “Ya Allah, Nak. Kamu masih sempat mikirin kami. Kamu anak baik. Tapi orang tuamu pasti khawatir mencarimu, ijinkan nanti kami antar pulang ya?”
Naia terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Hatinya mencelos, karena ia harus berbohong agar apa yang terjadi kepadanya tidak diketahui orang lain.
“Saya… dari kampung, Bu. Beberapa hari lalu cerai sama suami karena KDRT. Saya nggak mau pulang, malu sama tetangga dan juga takut jadi beban buat orang tua. Jadi, saya nekat merantau ke Jakarta.” ucapnya Naia yang terlihat gelisah karena kebingungan harus berbicara apa.
Suaranya terbata-bata karena telah terang-terangan berbohong, sebagian ucapannya hanyalah kebohongan yang terpaksa ia lontarkan.
Pak Haji Abidin menepuk lembut pundaknya Naia. “Astaghfirullah… kasihan benar kamu, Nak. Jangan takut insha Allah… Allah SWT selalu bersama orang-orang yang benar dan sabar. Kalau begitu, ikut saja sama kami. Tinggal di rumah kami yang sederhana dan kami berdua akan menganggapmu seperti anak sendiri. Kerja di sini juga lebih bagus, bisa dapat rezeki dan kamu bisa kirim ke kampung setiap habis gajian. Jangan sendirian karena dunia ini keras, Nak.”
Air mata Naia jatuh tanpa bisa dibendung lagi hingga membasahi wajahnya. Ia terharu sekaligus merasa bersalah karena telah berbohong.
Dalam hati ia bergumam, “Ya Allah, beri aku kekuatan untuk bertahan. Jangan biarkan aku kembali ke pelukan Tuan Muda Atharva.”