NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN DENDAM

PERNIKAHAN DENDAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Pengantin Pengganti / Dendam Kesumat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Suara ayam berkokok pelan dari kejauhan, disusul cahaya matahari yang menyelinap masuk lewat celah tirai.

Imelda membuka matanya. Lehernya pegal karena tertidur dalam posisi duduk di tepi ranjang.

Ia buru-buru berdiri, melepaskan genggaman tangan Karan dengan hati-hati.

Pria itu masih tertidur pulas, napasnya teratur. Wajahnya jauh lebih tenang dibanding malam sebelumnya.

"Syukurlah…" batin Imelda.

Tanpa membuang waktu, ia pergi mandi dan langsung menuju dapur.

Tangannya cekatan menyiapkan bubur hangat resep sederhana yang ia hafal sejak lama.

Jam menunjukkan pukul enam pagi saat sendok terakhir masuk ke dalam panci.

Di kamar, Karan membuka mata perlahan.

Sekilas, langit-langit putih itu terasa asing.

Ia mengerutkan kening. Kepalanya berat, pikirannya kabur. Ia menekan pelipisnya kuat-kuat, mencoba mengingat-ingat.

"Di mana aku?"

Tiba-tiba, aroma bubur menyeruak ke hidungnya.

Aroma itu begitu familiar.

Aroma… bubur yang dulu Helena selalu masak saat aku sakit…

Dengan langkah pelan namun penuh penasaran, Karan bangkit dari ranjang dan berjalan keluar kamar.

Dan di sana Imelda sedang berdiri di depan kompor, mengaduk bubur dengan pelan.

Rambutnya masih sedikit basah karena baru mandi, dan apron sederhana melilit pinggangnya.

“Selamat pagi, Tuan,” ucap Imelda tanpa menoleh. Ia sadar Karan sudah berdiri di belakangnya.

“Silakan duduk. Setelah ini kita sarapan.”

Karan tak langsung menjawab.

Ia berdiri mematung, pandangannya tak lepas dari punggung wanita itu.

Wangi bubur hangat memenuhi ruangan.

Namun yang lebih menusuk adalah rasa sepi di dadanya.

Untuk sesaat Karan merasa Helena ada di sini,tapi saat Imelda menoleh dan tersenyum tipis, realita kembali menghantam.

Di dalam mobilnya yang berhenti di basement parkiran rumah sakit, Karan menatap layar ponselnya dengan tangan bergetar. Ia mengetik singkat dan mengirim pesan.

Karan: Datang ke Rumah Sakit Harapan Sejahtera. Sekarang.

Tak sampai lima menit, panggilan masuk.

Dion: “Bro? Ada apa? Kenapa di rumah sakit?”

“Datang saja. Aku butuh kamu.”

Sekitar setengah jam kemudian, Dion berlari-lari kecil menuju koridor ruang pemeriksaan. Keringat menempel di dahinya meski AC rumah sakit cukup dingin.

Ia melihat Karan berdiri di depan salah satu pintu laboratorium, wajahnya tegang dan matanya tajam.

“Bro, ada apa? Kau sakit?” tanya Dion panik.

Karan menoleh pelan.

“Tidak. Aku ingin memastikan sesuatu.”

“Memastikan apa?”

Karan tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat agar Dion mengikutinya masuk.

Di dalam ruang dokter, seorang dokter senior tengah bersiap mengambil sampel darah dari Karan.

Dion semakin bingung. “Bro, kau bikin aku khawatir. Jelaskan.”

Karan menatap Dion, napasnya berat.

“Aku… minta dokter lakukan tes DNA.”

Dion mengernyit. “Tes DNA? Untuk apa?”

Beberapa detik hening. Lalu Karan mengucapkannya.

“Sepertinya istriku masih hidup.”

Dion terdiam. Napasnya ikut tertahan.

“A—apa maksudmu? Helena sudah… kita makamkan.”

“Imelda,” ucap Karan pelan. “Wanita yang semalam membantuku… dia punya tanda lahir yang sama. Persis di tempat yang sama.”

“Tapi tanda lahir belum tentu…”

“Aku tahu,” potong Karan. “Karena itu aku perlu tes.”

Karan mulanya hanya memberi sampel darahnya. Tetapi ia juga mengirimkan sampel rambut dan barang pribadi Helena yang masih ia simpan.

Waktu berjalan lambat.

Karan mondar-mandir di depan ruang laboratorium, langkahnya tak pernah berhenti. Tangannya berkeringat, wajahnya pucat.

Dion duduk di kursi tunggu, namun tak sanggup tenang. Lima jam terasa seperti lima tahun.

Hingga akhirnya, ointu laboratorium terbuka dan dokter keluar dengan wajah serius sambil membawa map hasil pemeriksaan.

“Kami sudah lakukan pengecekan tiga kali untuk memastikan.” Dokter menatap Karan dan Dion.

“Kecocokan DNA… 99,99%.”

Kedua pria itu saling berpandangan—mata mereka melebar, napas tertahan.

Dion berbisik pelan, suaranya hampir tak terdengar.

“Kalau begitu…”

Karan menyelesaikan dengan suara gemetar.

“Siapa yang kita makamkan?” tanya Karan.

BRAK!

Pintu laboratorium tertutup di belakangnya, dan tanpa menunggu satu detik pun lagi, Karan berlari sekuat tenaga menuju parkiran.

Dion memanggil panik di belakang, tapi Karan tak mendengar apa pun.

Yang ada di kepalanya hanya satu suara:

“Dia hidup. Dia hidup. Dia hidup.”

Tangannya gemetar saat membuka pintu mobil. Mesin langsung menyala, dan ia menginjak pedal gas sedalam mungkin.

Mobil melesat menembus jalanan Jakarta yang masih padat, suara klakson bercampur hiruk pikuk kendaraan lain, tapi Karan tak peduli.

Helena atau Imelda… siapapun kau sekarang—aku akan menemuimu.

Sesampainya di rumah, Karan memarkir mobilnya dengan kasar hingga rodanya berdecit.

Dan tepat di halaman depan, Imelda berdiri sambil membawa tas kecil, seolah hendak pergi.

Begitu melihat Karan turun dari mobil dengan napas memburu, Imelda langsung terkejut.

“T-Tuan? Kenapa Anda kembali? Saya—”

Belum sempat ia selesai bicara, Karan melangkah cepat ke arahnya.

“Imelda…” suaranya berat, bergetar, penuh emosi yang ditahan terlalu lama.

“Ada apa, Tuan? Wajah Anda pucat. Apa Anda—”

Tiba-tiba, Karan menarik pinggangnya dan memeluknya erat.

“Tuan! Lepaskan! Apa-apaan ini?!”

Ia mendorong dada Karan berkali-kali, tapi pelukan itu tidak goyah.

Napas Karan tercekat di bahunya.

“Sayang, ini aku. Suamimu…”

Imelda terdiam sepersekian detik.

Lalu wajahnya mengeras.

PLAK!

Imelda menampar bahu Karan dengan kesal.

“Dasar orang gila! Saya bukan istri Anda! Mau saya laporkan polisi?!”

“Hel—”

“NAMA SAYA IMELDA!”

Keduanya terdiam.

Hanya suara napas mereka yang terdengar.

Angin berhembus pelan, menggoyangkan ranting pohon di halaman rumah itu.

Karan menunduk pelan, lalu tersenyum getir.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil sapu tangan dari sakunya.

“Hei, jangan macam-macam....”

Dengan suara serak namun halus, Karan bergumam,

“Diamlah sebentar saja. Aku hanya ingin bicara…”

Ia mendekat perlahan dan menempelkan sapu tangan itu ke mulut Imelda, bukan kasar, tapi hati-hati seolah takut menyakitinya.

Imelda langsung meronta, tapi kekuatannya tidak sebanding dengan Karan yang jauh lebih besar.

“Shhh…” Karan menunduk, menatap matanya dalam-dalam.

“Percayalah padaku… Aku tidak akan menyakitimu.”

Ia mengangkat tubuh Imelda dan menggendongnya—

.

Bukan dengan paksa yang brutal, tapi pelukan kuat seorang pria yang takut kehilangan lagi sesuatu yang amat berharga.

Imelda masih memukul bahunya pelan, tapi suaranya melemah.

Karan membuka pintu mobil dan meletakkan Imelda di kursi belakang dengan hati-hati.

“Mulai sekarang, aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi,” bisiknya.

Di dalam mobil yang melaju kencang, suasana terasa tegang.

Imelda duduk di kursi belakang, tubuhnya terikat sabuk pengaman, namun mulutnya masih tertutup sapu tangan.

“MMMPHHH!! MMPPHH!!”

Ia menggeliat gelisah, menendang pelan kursi depan.

Karan tidak menoleh. Kedua tangannya menggenggam setir erat-erat, rahangnya mengeras.

“Diam, Helena…” suaranya berat, tertahan.

“Jangan paksa aku untuk menghentikan mobil.”

“MMMPHHH!!”

“Aku bilang diam!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!