Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.
Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.
Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.
Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 — Hal Pertama
Flashback
Suasana kantin sekolah siang itu ramai, dipenuhi suara riuh murid-murid yang berbaur dengan aroma gorengan, mie, dan minuman manis. Kursi-kursi kayu bergeser, tawa bercampur obrolan, menciptakan kebisingan khas jam istirahat. Rayhan meletakkan nampannya di meja, lalu duduk berhadapan dengan Nerios yang sudah lebih dulu tiba.
Nerios terlihat datar saat memakan makanan di hadapannya. Ketika ditanya pun, jawabannya singkat-singkat. Memang biasanya Nerios seperti itu, tapi kali ini Rayhan merasa ada yang aneh. Temannya itu seperti sedang menahan sesuatu.
“Lo kenapa? Ada masalah di kelas?” tebak Rayhan sambil menyuap mie gorengnya.
Mereka tidak satu kelas, jadi Rayhan tidak tahu apa yang terjadi pada Nerios saat proses pembelajaran, kecuali Nerios dipaksa bercerita.
Cowok berusia lima belas tahun itu hanya mengangguk. Ia menelan makanannya lebih dulu sebelum akhirnya menjawab, “Biasa, masalah kelompok.”
Rayhan menghela napas. Mereka sudah duduk di kelas 10 semester 2 SMA, tapi Nerios masih belum bisa berinteraksi banyak dengan teman sekelas. Akibatnya, ia sering kesulitan mencari kelompok dan berujung mengerjakan tugas sendiri atau dimasukkan ke kelompok lain oleh guru.
Padahal Nerios pintar, hanya saja ia tidak pandai bersosialisasi. Kebanyakan orang jadi canggung bila bersamanya.
“Pelajaran siapa?” tanya Rayhan, memastikan. Ia ingin tahu apakah guru itu tipe yang baik atau justru killer. Karena kalau killer, Nerios tetap akan disuruh cari kelompok.
Nerios menatapnya malas. Ia tahu Rayhan pasti akan menyuruhnya bicara pada guru agar dicarikan kelompok. “Bu Desi,” jawabnya singkat.
“Nah, bagus tuh. Bu Desi kan baik. Lo minta tolong aja biar beliau cariin kelompok!”
Tepat seperti dugaan Nerios, Rayhan pasti akan menyuruhnya begitu.
“Gua kerjain sendiri aja. Nanti pulang sekolah gua ngomong sama beliau,” tolak Nerios sambil mengambil gelas dan meneguk air.
Rayhan menyeruput mie miliknya. Tatapannya penuh kesal. Ia mengunyah terburu-buru agar bisa langsung mengomeli sahabatnya itu.
“Heh! Nggak ada sendiri-sendiri! Lo harus belajar berkelompok. Kita masih dua tahun lagi di sini, berteman itu bisa mempermudah hidup lo.”
“Gua bisa sendiri. Gua nggak butuh bantuan orang lain,” jawab Nerios penuh keyakinan.
“Lo mau gua lempar pake garpu, hah?!” Rayhan mengangkat garpunya, seolah ingin benar-benar melempar. “Lo itu sering minta tolong gua, b*go! Jangan pura-pura lupa!”
Nerios hanya mengangkat bahu tak acuh. Perkataan Rayhan memang fakta, ia sering meminta bantuan sahabatnya itu dalam banyak hal.
“Udah, intinya lo harus nyari kelompok. Kalo lo nggak bisa, gua yang bakal datang langsung ke kelas lo!” tegas Rayhan.
“Iya, iya …” balas Nerios cepat, hanya agar Rayhan berhenti mengoceh.
Rayhan mendecak, tapi diam-diam ia lega. Nerios mungkin keras kepala, tapi Rayhan tahu sahabatnya itu sebenarnya butuh dorongan. Di tengah keramaian kantin, mereka berdua kembali melanjutkan makan masing-masing, seolah percakapan barusan hanya masalah kecil di antara persahabatan mereka.
...———...
Jam istirahat tinggal lima menit lagi. Nerios kini berdiri di depan kelasnya, membuka pintu lalu melangkah masuk. Suasana kelas agak riuh, sebagian siswa masih bercanda dan makan, sebagian lainnya sudah menyiapkan buku untuk pelajaran berikutnya. Bau spidol dan makanan ringan bercampur, khas suasana ruang kelas SMA.
Pandangannya langsung jatuh pada seorang cewek yang berlari kecil ke arahnya dengan senyum cerah.
“Nerios!” seru Camelia riang begitu sampai tepat di hadapannya.
“Apa?” jawab Nerios singkat, sedikit menunduk karena perbedaan tinggi mereka cukup jelas.
“Kelompok gua kurang satu orang. Lo mau gabung nggak?”
Jantung Nerios langsung berdegup kencang. Ini pertama kalinya ada yang mengajaknya masuk kelompok dengan wajah penuh semangat. Biasanya, orang akan cemberut jika guru menambahkan namanya ke dalam kelompok mereka—katanya, Nerios sulit diajak komunikasi.
“Camelia!” suara seorang cewek menyentak, membuat Camelia menoleh. Rambut cewek itu dikuncir satu, wajahnya tidak suka.
“Apa sih?” balas Camelia dengan ketus.
“Gua bilang cari yang lain aja! Kenapa harus dia sih?” gerutunya. Ia pernah satu kelompok dengan Nerios di awal masuk SMA, dan dialah yang paling kesal karena Nerios irit bicara.
Camelia bersedekap, wajahnya mendongak menantang. “Gua ketua kelompoknya. Jadi lo semua nggak boleh protes!”
Kemudian ia kembali menatap Nerios, senyum manisnya kembali terukir. “Gimana, Nerios? Lo mau apa nggak?”
“Gua sendir—”
“Oke, Nerios mau!” potong Camelia cepat, seakan tahu bahwa ia akan menolak. “Besok kita kerja kelompok di rumah Aska, pulang sekolah kita bareng-bareng ke sana.”
Jujur, Nerios ingin sekali tersenyum. Gadis itu terlihat cantik sekaligus baik hati. Tapi banyak tatapan tidak suka yang mengarah padanya, membuatnya kembali mencoba menolak.
“Gua nggak bilang setuju, kan? Gua bisa sendiri,” tegasnya.
Seketika wajah Camelia meredup. Ia sudah berusaha keras agar bisa mengajak Nerios masuk kelompok, bahkan sampai menjadi ketua kelompok. “Y-yaudah, kalo lo nggak mau …” suaranya terdengar lesu.
“Rasain! Gua bilang juga apa!” celetuk temannya yang lain.
“Tuh kan, ditolak! Gua udah bilang jangan maksa!”
“Lain kali jangan terlalu percaya diri, Camelia …”
Camelia menunduk, hendak berbalik badan. Tapi sebelum sempat melangkah, Nerios menahan tangannya. “Gua mau.”
Camelia terperangah. “Beneran?” tanyanya, masih ragu.
Nerios mengangguk cepat. “Iya, gua serius. Gua mau masuk kelompok lo.”
Wajah Camelia langsung berseri-seri. “Asik!” serunya sambil bersorak kecil. Ia menoleh ke teman-temannya, lalu menjulurkan lidah, mengejek mereka.
“Makasih ya, lo udah mau masuk kelompok gua!” katanya sambil mendongak menatap Nerios, senyumnya tidak pudar.
Nerios menatapnya sebentar. “Harusnya gua yang makasih sama lo.”
Camelia terkekeh kecil. “Iya, sama-sama.” Ia lalu berbalik ke bangkunya. Sepanjang jalan, ia terus menggoda teman kelompoknya, membuat seisi kelas tertawa geli karena tingkahnya.
Nerios memperhatikan punggung gadis itu. Ada sesuatu yang terasa asing di dadanya. Perasaan yang tidak pernah ia alami sebelumnya.
Perasaan kagum itu seperti apa? Perasaan suka itu seperti apa? Apakah ini …?
Ia tidak yakin. Ini baru kali pertama ia benar-benar berbicara dengan Camelia. Tidak mungkin ia langsung suka begitu saja. Namun perasaan itu aneh—bukan menyiksa, melainkan menyenangkan, membuatnya ingin tersenyum.
Bel berbunyi nyaring, tanda istirahat usai. Suasana kelas mendadak tenang. Buku-buku mulai dibuka, suara kursi digeser terdengar beradu. Camelia sudah duduk rapi, sesekali masih melirik ke arah Nerios dengan senyum kecil.
“Selamat siang, anak-anak!” sapaan guru membuyarkan lamunannya.
Nerios tersadar, ia masih berdiri di depan kelas sementara yang lain sudah duduk manis. Dengan buru-buru, ia melangkah menuju kursinya. Di kepalanya, senyum Camelia terus terbayang, membuat pelajaran setelah itu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya.
Berikan dukungan kalian teman-teman!
Jangan lupa vote dan komen
Salam cinta, biebell