Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Di ruang pemulihan, Erlin meminta Abi Husein untuk menemaninya.
"Lin, ada Abimanyu yang akan menemani kamu. Abi sama Ibu Mina mau pulang dulu. Nanti Abi kesini lagi." ucap Abi Husein.
"Tapi Abi, aku tidak bisa bersama dengan lelaki asing. Kalau ada apa-apa dengan aku, bagaiman?" tanya Erlin dengan suara lembut.
Abi Husein menghela nafas panjang saat mendengar pernyataan dari putrinya.
"Lin, dia suami kamu dan kamu tidak usah takut dengan Abimanyu." jawab Abi Husein.
Kemudian Abi Husein mencium kening putrinya dan meminta Abimanyu untuk menjaganya.
Abi mengangguk kecil dan berjanji untuk menjaga Erlin.
Kyai Abdullah juga berpamitan dengan Abimanyu.
Riana mendekat ke arah Abimanyu dan memintanya untuk pulang.
"Ri, kamu bisa lihat kan? Aku disini untuk menjaga istriku dan lebih baik kamu pulang bersama Kyai." ucap Abimanyu.
Kyai Abdullah meminta Riana untuk ikut pulang bersamanya.
Riana sedikit melirik ke arah Erlin dengan wajah kebencian.
Setelah mereka keluar dari ruang pemulihan, Abimanyu kembali duduk disamping Erlin.
Erlin menundukkan wajahnya saat Abimanyu menatapnya.
"Lin, jangan menunduk terus. Jangan takut sama aku."
"A-aku tidak mengenalmu dan bagaimana bisa aku percaya dengan kamu?"
Abimanyu mengambil ponselnya dan menunjukkan foto dimana mereka saat akad nikah.
"Kita menikah tiga hari yang lalu," ucap Abimanyu
Erlin tertawa kecil dan tidak menyangka kalau dirinya sudah menikah.
"Apa kamu tidak salah menikahiku? Kamu tampan dan aku ya seperti ini."
Abimanyu menatap wajah istrinya yang bicara sangat halus sekali.
Beda dengan beberapa hari yang lalu dimana Erlin sangat keras kepala dan selalu emosi.
"Kenapa kamu malah melamun?" tanya Erlin sama menepuk bahu suaminya.
Abimanyu tersadar dari lamunannya ketika tepukan ringan dari Erlin menyentuh bahunya.
Ia menoleh, menatap wajah istrinya yang tampak rapuh namun kini bicara dengan kelembutan yang sama sekali berbeda dari Erlin yang dulu ia kenal.
“Tidak, aku tidak melamun. Aku hanya masih tidak percaya bisa melihatmu di sini, bicara lagi, bahkan menepuk bahuku seperti ini.”
"Kenapa kamu menikahiku? Padahal kamu punya istri?" tanya Erlin.
Abimanyu menarik napas panjang, lalu menatap dalam-dalam mata istrinya.
Senyumnya samar, seakan ingin menenangkan sekaligus menyembunyikan rasa bersalahnya.
“Aku menikahimu bukan karena aku ingin main-main, Lin. Aku menikahimu karena aku yakin itu takdir Allah. Dan aku berjanji akan menjagamu, bagaimanapun kondisimu.” ucap Abimanyu dengan suara berat.
Erlin menghela nafas panjang dan memandang wajah suaminya.
"Kamu menikahi aku karena anak, Bi." ucap Erlin.
Abimanyu langsung terkejut ketika mendengar perkataan dari istrinya.
"Lin, kamu ingat semuanya? K-kamu nggak amnesia?" tanya Abimanyu.
Erlin menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis ke arah suaminya.
"Aku ingat semuanya, Bi. A-aku minta maaf karena..."
Erlin menghentikan perkataannya saat suaminya yang langsung memeluknya.
"Lin, jangan bohongi aku seperti ini lagi. Aku mengkhawatirkan kamu." ucap Abimanyu.
Erlin merasakan detak jantungnya berdetak kencang saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Bi, kita cerai saja. A-aku tidak bisa meneruskan pernikahan ini. Mumpung masih beberapa hari, Bi.
Abimanyu menggelengkan kepalanya dan ia tidak akan menceraikan Erlin.
“Jangan pernah bilang itu lagi, Lin. Aku tidak akan menceraikanmu. Tidak sekarang, tidak selamanya.”
Erlin menatap suaminya dengan mata yang basah.
“Tapi aku takut tidak bisa membahagiakan kamu. Aku tidak sebanding dengan Riana dan Umi...,"
"Aku tidak akan menceraikan kamu, Lin. Tidak sekarang maupun nanti. Aku akan berlaku adil kepada kamu dan Riana."
Erlin meneteskan air matanya dan ia kembali merasakan kepalanya yang kembali pusing.
"L-lin, kamu istirahat lagi. Kita bahas lagi kalau kamu sudah sembuh."
Abimanyu mencium kening istrinya dan kembali duduk di samping tempat tidur istrinya.
"Tidurlah, aku akan menjagamu disini."ucap Abimanyu.
Sementara itu di rumah Kyai Abdullah dimana Umi Farida meminta suaminya agar membujuk Abimanyu untuk menceraikan Erlin.
"Wanita kampungan itu agak gila, Bi." ucap Umi Farida.
"Erlin tidak gila, Umi. Anak itu hanya mengalami trauma saat Azizah meninggal dunia." ujar Kyai Abdullah yang sudah mengetahui tentang penyakit Erlin yang dulu dari Abi Husein.
Abi Husein sudah sejak lama ingin menikahkan Erlin dengan Abimanyu.
Umi Farida mendengus sinis, namun diam-diam hatinya makin panas.
Bayangan Erlin yang kini resmi menjadi istri Abimanyu membuatnya semakin tidak bisa menerima kenyataan.
Ia pun masuk ke kamar Erlin yang ada di lantai atas.
Erlin yang baru saja merebahkan tubuhnya langsung terkejut ketika melihat Umi Farida ada di kamarnya.
"Riana, kamu harus mencari cara agar Abimanyu mau menceraikan Erlin. Umi bisa mati berdiri kalau ia masih bersama dengan Abimanyu.
"Umi, Riana tidak bisa melakukannya. Abimanyu suamiku dan aku tidak mau jika suamiku membenci tindakanku." ucap Riana.
"Kamu sama saja seperti mereka, Ri. Umi tidak akan menolongmu jika Abimanyu tidak menghiraukanmu lagi." ucap Umi Farida yang langsung keluar dari kamar Riana.
Riana menghela nafas panjang saat melihat Umi Farida.
"Sebenarnya aku sudah punya rencana sendiri, Umi." gumam Riana sambil tersenyum sinis.
Di tempat lain dimana malam mulai larut dan Erlin membuka matanya setelah dari tadi tidur.
Ia melihat suaminya yang tertidur pulas dengan kepalanya yang bersandar di tempat tidur.
Erlin yang lapar ingin turun dari tempat tidur, tapi penyangga cairan infus jatuh dan mengenai kepala Abimanyu.
Dug!
Abimanyu langsung membuka matanya dan melihat istrinya yang sudah turun dari ranjang.
"Lin, kamu mau kemana?" tanya Abimanyu sambil membetulkan penyangga cairan infus.
"A-aku lapar, mau ke kantin." jawab Erlin.
"Ayo naik ke atas tempat tidur lagi, biar aku hubungi Agil." ucap Abimanyu sambil memapah tubuh istrinya.
"Mau makan apa?" tanya Abimanyu.
"Terserah Abi saja," jawab Erlin.
Abimanyu yang mendengar jawaban dari istrinya langsung menghela nafas panjang.
"Mau makan apa Lin? Aku tidak tahu kamu suka makan apa?"
"Martabak sama terang bulan coklat saja, Bi."
Abimanyu lekas menghubungimu Agil untuk membeli Martabak, terang bulan dan nasi goreng untuk dirinya.
"Sambil menunggu Agil datang, kamu istirahat lagi atau kita mengobrol saja." ucap Abimanyu sambil menenggak air minum.
Erlin kembali berbaring di tempat tidur dengan wajah lelah.
Ia menatap Abimanyu yang kini duduk di sampingnya sambil memainkan ponselnya.
“Bi…” panggil Erlin pelan.
“Hm?” Abimanyu menoleh, menatap istrinya dengan lembut.
“Kamu nggak capek jaga aku terus? Kalau kamu mau pulang, nggak apa-apa. Aku bisa sendirian di sini.”
"Aku nggak akan ninggalin kamu, Lin. Biarpun kamu tidur terus pun, aku tetap di sini. Karena aku janji sama Abi Husein dan sama diriku sendiri untuk menjaga kamu."
Mereka berdua saling pandang dan disaat bersamaan Agil datang mengetuk pintu kamar ruang pemulihan.
Abimana bangkit dari duduknya dan membukakan pintu.
"Ini Tuan, pesanan anda." ucap Agil.
"Terima kasih, Gil. Kamu boleh pulang ke rumah." ujar Abimanyu sambil memberikan uang kepada Agil.
Agil mengangguk kecil dan setelah itu ia lekas pulang ke rumahnya.
Abimanyu langsung duduk sambil membuka pesanannya.
"Ini martabak untuk istriku," ucap Abimanyu sambil menyuapi istrinya.
"Enak sekali rasanya, Bi. Terima kasih ya, Bi."
Abimanyu tersenyum kecil sambil menganggukkan kepalanya.
Erlin mengambil bungkusan yang berisi nasi goreng dan ia menyuapi suaminya.
Mereka berdua saling menyuapi dan sesekali bercanda kecil.