Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Psikologis Ketua OSIS
Langkah Dion berhenti di depan sebuah kelas kosong di lantai dua. Suasana sepi, cuma terdengar kipas angin tua yang berdecit pelan. Dion membuka pintu, lalu masuk tanpa banyak bicara.
Citra menelan ludah. Ia ikut masuk, tapi alisnya mengerut. “Loh, Kak… kok dibawa ke sini?” tanyanya dengan suara ragu.
Dion menoleh cepat, tatapannya menusuk. “Lo tau kenapa gue bawa lo ke sini?” suaranya berat, penuh tekanan.
Citra refleks geleng. “T-tidak, Kak…”
Dion mendekat, wajahnya serius. “Kesalahan lo tadi waktu di lapangan!” suaranya meninggi, menggema di ruang kosong itu. Ia mulai berjalan memutari Citra, langkah sepatunya terdengar jelas di lantai keramik.
Citra menunduk, tak berani membalas.
“Pertama, lo tadi udah bikin ribut karena dihukum Rachel,” ucap Dion, nadanya makin menekan. “Dan lo cuma diem aja? Itu kelemahan lo, Cit!”
Citra menggigit bibir, tapi tetap tak bersuara.
Dion berhenti tepat di depannya, menatap tajam. “Sekarang, gue hukum lo. Angkat satu kaki lo!”
Citra menurut. Ia perlahan mengangkat satu kakinya, tubuhnya mulai goyah.
“Sekarang, jewer kedua telinga lo sendiri!” perintah Dion lagi.
Dengan wajah memerah menahan malu, Citra melakukan perintah itu.
Dion menyipitkan mata, lalu dengan tiba-tiba menendang pelan kaki yang menopang Citra. “Kokohin, jangan jatoh! Apa susahnya?!” bentaknya.
Tubuh Citra oleng, hampir terjerembab ke lantai. Tapi tepat sebelum ia benar-benar jatuh, lengan Dion terulur, menahan bahunya dengan kuat.
Deg!
Citra terdiam, jantungnya berdebar tak karuan.
Tatapan Dion menajam, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—seperti ada senyum tipis yang ditahan. “Lemah banget, ya lo…” gumamnya pelan.
Citra masih gemetar, tapi ia bisa merasakan bahwa di balik marahnya Dion, ada sesuatu yang lain.
Citra masih ngos-ngosan, kakinya bergetar menahan posisi. Dion menatap tanpa berkedip, ekspresinya dingin.
“Gini aja lo udah hampir tumbang?” Dion mendecak. “Lo pikir dunia sekolah ini gampang? Lo pikir kalo cuma cantik terus lo bisa selamat di sini?”
Citra menggertakkan gigi, mencoba menahan air mata. “S-saya… saya cuma ikut aturan, Kak…” suaranya kecil, nyaris bergetar.
Dion mendekat, jarak wajah mereka hanya tinggal sejengkal. Nafasnya berat, matanya menelusuri wajah Citra. “Aturan? Lo bahkan gak ngerti kalo semua yang gue lakuin ini aturan gue.”
Deg.
Citra menelan ludah, bingung harus menjawab apa.
Dion tiba-tiba menepuk pundaknya cukup keras, membuat tubuh Citra kaget dan hampir jatuh lagi. Namun tangannya kembali sigap menahan bahu Citra, seakan sengaja membiarkan gadis itu merasa gentar sekaligus… diperhatikan.
Senyum tipis muncul di bibir Dion. “Lemah, tapi menarik…” gumamnya, cukup pelan, tapi Citra masih bisa dengar.
Citra membeku, jantungnya makin tak karuan.
Dion lalu mundur satu langkah, kembali bersuara lantang. “Udah, turunin kaki lo! Keluar dari sini. Gue belum selesai sama lo… tapi untuk sekarang cukup.”
Citra buru-buru menurunkan kakinya, mengusap telinga yang masih memerah karena jeweran. Ia menunduk dalam, lalu melangkah cepat keluar dari kelas.
Begitu pintu menutup, Dion bersandar ke meja, tangannya menyilang di dada. Senyumnya melebar pelan. “Mangsa gue udah keliatan. Mainnya harus sabar…”
Citra melangkah cepat keluar dari kelas kosong itu. Tangannya masih gemetar, napasnya naik turun nggak beraturan. Dadanya serasa mau meledak—antara takut, malu, tapi juga bingung dengan sikap Dion barusan.
“Kenapa dia… liatin gue kayak gitu?” batinnya terus berulang. Setiap kali teringat tatapan mata Dion yang tajam tapi berakhir dengan senyum tipis itu, jantungnya makin berdebar.
Di koridor, suara riuh siswa lain terasa jauh. Dunia seakan jadi hening buat Citra. Ia menempelkan tangan ke dadanya, mencoba menenangkan diri. “Tenang Cit, jangan keliatan lemah. Lo bisa kok…” bisiknya pelan.
Namun langkahnya terhenti ketika suara riuh kecil terdengar dari ujung lorong. Kiara melambai heboh bersama Afifah.
“CITRAA! Lo ke mana aja tadi? Tiba-tiba ilang, kita panik tau!” teriak Kiara sambil setengah lari.
Citra buru-buru menarik napas dalam, mencoba menyembunyikan wajah pucatnya. “A-aku… dipanggil kakak panitia tadi,” jawabnya singkat.
Afifah menatap curiga. “Kak Dion, ya? Gue liat tadi lo dibawa…”
Citra langsung menunduk, menggenggam erat tasnya. “I-iya… tapi cuma sebentar kok.”
Kiara mendengus, wajahnya kesal. “Ihh, ketos songong itu lagi! Lo hati-hati, Cit. Orang kayak dia tuh suka mainin junior!”
Citra tersenyum tipis, tapi hatinya nggak bisa bohong—degup kencang itu belum juga reda.
Di kejauhan, tanpa mereka sadari, Dion masih berdiri di dekat pintu kelas kosong. Tangannya masuk ke saku celana, matanya fokus ke arah Citra yang dikerubungi Kiara dan Afifah. Senyumnya samar, penuh tanda tanya.
“Bergetar, ya? Bagus… itu artinya gue udah berhasil ninggalin bekas di lo.”
Citra masih memegang dadanya, berusaha menetralkan degup jantung yang kacau.
“Yaudah ayok masuk kelas, kita latihan yel-yel bareng!” ajak Kiara sambil meraih tangan Citra.
Citra hanya mengangguk kecil, bibirnya berusaha tersenyum meski wajahnya masih kelihatan tegang.
Begitu mereka masuk kelas, suasana udah rame. Anak-anak sibuk nyoba nada, ada yang tepuk tangan nggak kompak, ada yang ketawa-ketawa salah lirik.
Di pojok kelas, Raka duduk dengan tangan terlipat, matanya tajam ngikutin setiap gerak Citra. Begitu Citra duduk di kursinya, Raka menghela napas keras—jelas-jelas kesal.
“Lo ngapain sih tadi sama Dion?” tanyanya datar tapi bikin suasana hening sesaat.
Citra kaget, kepalanya menoleh cepat. “H-hah? Gak… gak ngapa-ngapain, cuma dipanggil sebentar…” jawabnya terbata.
Kiara yang duduk di samping Citra langsung nyeletuk, “Ih, Rak, jangan galak gitu dong. Kasian Citra, baru aja balik udah diinterogasi.”
Raka nggak menjawab. Tatapannya cuma sebentar ke Citra, lalu berpaling seakan males ngomong lebih lanjut. Tapi ekspresi mukanya jelas: dia nggak suka.
Citra menggigit bibir bawahnya. Hatinya makin rumit—di satu sisi deg-degan gara-gara Dion, di sisi lain sekarang Raka malah kayak marah sama dia.
“Kenapa semua jadi ribet gini, sih…” batinnya berat.
Sementara anak-anak sibuk di kelas latihan yel-yel, di ruang OSIS suasana relatif tenang. Dion duduk santai di kursi putar, satu tangan mainin pulpen, satu tangan lagi sibuk scrolling ponsel.
Nama Citra Asmarani terus terngiang di kepalanya sejak tadi.
“Hmm… coba gue cari IG-nya,” gumamnya.
Jarinya lincah mengetik di kolom pencarian Instagram: citraasmarani.
Tak lama, muncul akun dengan foto profil siluet cewek berambut panjang. Followers lumayan, tapi akun bertanda PRIVATE.
“Heh, di-private? Pantesan susah dicari tau soal dia,” Dion mengernyit, lalu mendekatkan layar ponselnya.
Ia klik fotonya, menatap lama-lama. Meski cuma dari foto profil, aura anggun Citra jelas kelihatan.
“Lucu juga tuh adek kelas baru…” ucap Dion sambil menyunggingkan senyum tipis. Matanya berbinar penuh rasa penasaran.
Tangannya bahkan sempat hovering di tombol Follow—tapi nggak jadi.
“Nanti dulu deh. Gak seru kalo langsung keliatan gue penasaran. Gue main pelan-pelan aja,” pikir Dion, menyandarkan ponselnya di meja.
“Citra Asmarani Mahardi… lo bikin gue pengen tau lebih banyak, Dek.”Tatapannya lalu kosong menatap ke langit-langit, senyumnya samar.