NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author:

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

Bab 25: Bibir yang membungkam

Jam sudah menunjukkan pukul 02:35 dini hari. Bar sudah sepi, tidak ada lagi pengunjung yang tersisa—hanya Selina dan Leonhard.

Selina menarik nafas dalam sambil mengangkat kantong sampah terakhir. Begitu keluar lewat pintu depan, udaranya terasa pengap seakan akan turun hujan. Dia berjalan sedikit agak jauh dari ‘ruko’ itu menuju tempat pembuangan sampah.

Begitu dia balik, matanya langsung terpaku pada sebuah motor besar yang terparkir di tembok sisi bar. Motor itu… motor yang dia lihat saat pertama kali menemukan bar ini. Motor besar berwarna biru-putih. Seketika sosok misterius menatapnya dari kejauhan saat Selina hendak menghampiri motor itu.

Jantungnya berdetak cepat. Jalanan gang sepi, lampu jalan yang sudah tua sehingga cahayanya remang membuat keadaanya menjadi dingin. Tiba-tiba adegan film thriller pemb unuhan terlintas di pikirannya. Selina pun langsung ngibrit masuk ke bar.

Dengan nafas yang terengah dia langsung membuka pintu rahasia yang dari kulkas itu. Dia bisa mendengar detak jantungnya di telinga. Entah kenapa, dia merasa seperti ada yang tidak beres yang membuatnya merinding.

Tadi itu… orang atau hantu? Batin Selina.

Selina hampir kaget melihat Leonhard yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Dia menabrak dada bidang pria itu. Badannya hampir terhuyung kebelakang, ketika Leonhard berhasil menahan tubuhnya.

“Kenapa?” tanya Leonhard. Suaranya sangat menenangkn dan tangannya sambil memegang kedua lengan atas Selina.

Deru nafas Selina masih belum reda, jantungnya masih berdetak cepat, tapi dengan kehadiran Leonhard dia bisa merasakan keamanan.

“Aku tadi… liat orang—eh, gak tau orang atau bukan, tapi—”

“Dimana?” Leonhard memotong penjelasan Selina.

“Di deket tempat sampah depan… aku sempet liat ada motor parkir di samping, terus mau aku samperin tapi—terus ngeliat ada orang yang lagi liatin aku… ah setan kah? Gak tau… soalnya serem banget…”

Leonhard langsung bergerak tanpa banyak kata. Tangannya melepas pegangan dari lengan Selina dan berjalan cepat ke arah pintu depan. Selina refleks mengikutinya, rasa takut sudah memakan dirinya. Dia mungkin parno untuk diam di dalam sendirian. Dia berjalan membuntuti Leonhard sambil memegang sedikit ujung kemeja Leonhard dengan kaki yang sedikit lemas.

Begitu mereka ada di depan ruko, rasa pengap langsung menyerap lagi. Mereka berjalan menuju tempat sampah untuk memeriksa dinding samping. Namun, motor itu sudah tidak ada. Jalanan kosong, hanya terdengar suara serangga malam.

Leonhard menggenggam lengan Selina, berjalan sedikit mendekat ke tempat yang ditunjuk.

“Di sini?” tanya Leonhard.

Selina mengangguk. “Barusan ada motor gede warna biru putih di sini.”

Leonhard menoleh cepat ke arahnya. “Kamu liat wajahnya?”

Selina menggeleng cepat. “Gak keliatan… dia pake hitam-hitam. Creepy banget pokoknya… dia natap langsung gitu,” ujar Selina.

Leonhard menarik nafas panjang lewat hidung. Dia sudah memperkirakan, ini pasti stalker yang dia diskusikan tadi sama Prima, tapi dia tidak menyangka kalau secepat ini menunjukkan dirinya di depan Selina langsung. Kali ini memang belum terjadi sentuhan fisik, tapi Leonhard semakin sadar kalau Selina sudah terancam.

Leonhard menarik pelan lengan Selina untuk kembali ke dalam bar. Ketika sampai, tangannya otomatis menutup rolling door ruko itu. Saat dia berbalik, ekspresinya berubah menjadi serius.

“Malam ini, malam terakhir kamu shift sampe bar tutup dan malam terakhir kamu buang sampah di luar,” tegasnya.

“Hah? Maksudnya?” Selina bingung.

Leonhard memijat pelipisnya. Apakah dia harus memberitahunya sekarang tentang penguntit itu? Rencananya kan mengirip beberapa bodyguard diam-diam, tapi penguntit itu mendahului rencananya. Mau tidak mau, Seliha harus tahu.

“Ada sesuatu yang harus kamu tau.” Akhirnya Leonhard mengatakan itu. Suaranya terdengar sangat serius. Selina pun rekfleks menegakkan tubuhnya.

“Apa?”

Leonhard mendudukkan Selina di kursi pelastik ruko ala-ala warung bakso, tangannya diistirahatkan di atas bahu Selina sambil menatap matanya. Selina harus mendongak karena tinggi yang tidak sejajar.

“Sebulan terakhir ini… ada seseorang yang lagi ngikutin kamu.”

Selina menegang. “Ngikutin…? Salker maksudnya?”

Leonhard mengangguk sekali, berdiri tegak dan melepas pegangan dari bahu Selina. Dia berkacak pinggang.

“Semuanya terekam kamera CCTV sini. Bukan cuma sekali dan dia gak muncul hanya di bar—di kampus juga,” jelas Leonhard masih sibuk dengan pikirannya. Sedangkan Selina, fokusnya terbagi.

Di kampus? Bagaimana Leonhard bisa tahu? Batin Selina.

“Kamu tau darimana?” tanya Selina. Leonhard menoleh ke arahnya, belum sempat berbicara sudah dipotong lagi. “Maksudku… di kampus? Kamu tau darimana dia juga muncul di kampus?”

Sial. Leonhard keceplosan.

Leonhard sempat diam sepersekian detik dan Selina mengambil waktu itu untuk membaca Leonhard. Tatapan Selina penuh kecurigaan, sementara Leonhard buru-buru mengalihkan pandangannya ke meja di belakangnya.

Pikiran Leonhard serasa buntu. Dia tidak menemukan alasan yang masuk akal karena sejak awal, dia tidak pernah membawa topik kampus dengan Selina. Kalau dia bilang ada oranv yang melapor, bisa saja Selina juga menganggap dirinya sama seperti penguntit. Mungkin dia terlalu lama mikir, sehingga keduluan Selina lagi.

Selina mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Baskara?”

Tatapan Leonhard langsung kembali ke matanya, seperti “aha” moment ketika Selina menyebut nama itu. Bisa saja dia bermain dengan teori saudara kembar milik Selina. Ah… kenapa dia bisa melupakan itu.

“Jadi… bener kan? Baskara yang ngasih tau kamu?” desak Selina, ekspresi takut di wajahnya seketika hilang menjadi ekspresi kemenangan. Leonhard tersenyum tipis merasakan kemenangan asli.

Dia menarik nafas dalam agar terlihat lebih meyakinkan seperti orang yang baru kepergok karena keceplosan.

“Ya…” jawabnya pendek. Suaranya terdengar pelan.

Selina mengangguk pelan, matanya kembali berbinar. “Akhirnya ngaku juga kalau udah mendesak gini. Dia ngasih tau kamu, kamu langsung gerak. Kalian kompak banget.”

Leonhard hanya bisa membalas dengan senyum tipis yang kaku. Dalam hati, dia tahu satu hal: kesalahan kecil tadi bisa jadi titik retak pertama kalau dia gak hati-hati ke depannya.

“Anyway. Kamu jangan berkeliaran sendiri di area luar bar sendirian. Gak ada shift pulang paling akhir sendiri. Gak ada buang sampah sendirian. Gak ada pulang ke kos jalan kaki tengah malam kalau gak dapet ojol. Saya gak akan biarin.”

Nadanya terdengar terlalu protektif, membuat Selina terpaku beberapa detik. Hatinya berdebar aneh.

“Ketat banget…” gumam Selina masih tidak percaya yang barusan bicara adalah seorang Leonhard.

“Saya gak bisa ngawasin kamu dua puluh empat jam, Selina. Jadi, saya harus pastiin semua celah tertutup.”

Selina mengernyitkan dahinya. “Sebentar. Kenapa ini jadi tanggung jawab kamu? Kamu gak perlu ngawasin 24/7 juga…” ujar Selina kebingungan dengan pernyataan Leonhard yang mendadak protektif itu.

“Saya yakin semua ini terjadi ketika kamu mulai kerja di bar ini. In other way… kamu adalah orang saya sama dengan kamu adalah tanggung jawab saya,” tukas Leonhard, nadanya tegas dan sangat serius dengan apa yang diucapkanya.

Selina masih belum mencerna kalimat tersebut. Dia berdiri, jarak diantara mereka tidak jauh. Kepalanya tepat berhadapan dengan dada bidang Leonhard, dia tetap harus mendongakkan kepala untuk menatap matanya.

“Orang… kamu?” ulang Selina pelan.

“Ya. Kamu kerja di lingkungan saya. Kalau ada ancaman yang muncul gara-gara itu, termasuk tanggung jawab saya,” ucap Leonhard mantap.

“Tapi—”

“Ini bukan tentang kamu kuat atau engga. Saya tahu kamu pasti bisa jaga diri sendiri. Tapi ini sudah bersangkutan dengan keamanan bar juga kamu. Saya gak bisa diam nunggu sesuatu yang lebih besar terjadi.”

Selina terdiam. Ada sesuatu dalam cara Leonhard bicara—tegas, protektif, dan tidak memberi ruang kompromi—yang membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ini bukan sekadar atasan ke bawahan. Ini lebih dari itu.

“Mulai malam ini, semua yang berkaitan sama keamanan kamu… saya yang urus,” lanjut Leonhard, matanya masih fokus ke wajah Selina. “Dan saya nggak mau denger penolakan.”

Selina menelan ludah. “Kamu serius banget…” gumamnya, setengah gugup, setengah terharu.

Leonhard hanya mengangkat satu alis, ekspresinya seolah berkata: Apakah aku terlihat seperti bercanda? Tapi gadis di hadapannya hanya menghela nafas.

“Nanti saya kirim dua bodyguard untuk kamu di area kampus yang bisa awasin kamu saat saya gak bisa,” lanjut Leonhard. Nada dan matanya melembut membuat Selina tambah merinding. Ini ada apa?

Selina terkesiap. “Gak perlu segitunya anjir…” Selina menolak. Leonhard pun sudah menduganya, dia ingat perkataan Prima.

“Sel, ini soal orang yang udah ngikutin kamu entah dari mana dan ngelakuin hal berbahaya di tempat ini.”

“Tapi bodyguar di kampus? Semua orang bakal ngeliatin aku kayak oranh gila—aku bukan seleb atau politisi, atau pejabat yang perlu bodyguar kemana-mana. Gak usah berlebihan,” kilah Selina, wajahnya terlihat kesal membayangkan dua orang asing ngintilin dia kemana-mana.

Leonhard menghela nafas, lalu berjalan selangkah mendekatinya. “Mereka gak akan ngikutin kamu dari jarak dekat. Mekara cuma ngawasin kamu dari jarak yang lumayan jauh jadi gak bakal ganggu kamu, tapi mereka bisa bisa kontrol situasi,” jelas Leonhard dengan nada pelan berharap Selina memahami maksudnya dengan mudah.

“Tetap aja… aku gak pernah diawasin begini. Aneh tau!” Selina masih berusaha melawan. “Emang kamu siapa berlaga protektif begini?”

“Saya bos kamu.”

“Cuma bos. Ngapain segininya? Bawa masalah ini sampe ke kamus, udah kelewatan!” balas Selina masih berusaha menolak.

“Justru itu. Kalau ancamannya cuma di bar, gampang. Tapi sekarang udah merambat ke tempat yang seharusnya aman buat kamu,” ujar Leonhard, kedua tangannya mengepal di samping menahan emosi.

Selina terdiam, merasa dipojokkan dengan logia pria itu, tapi egonya belum mau menyerah. “Tapi kamu gak perlu ikut campur sejauh ini. Aku bukan tanggung jawab—”

“Selina… sekali lagi kamu ngebantah. Saya tidak akan tanggung jawab dengan perlakuan saya selanjutnya.” Suara Leonhard terlalu dalam, sangat dalam dan serius. Membuat bulu kuduk Selina bangun lagi. Dia sempat berkedip beberapa kali, sebelum mendongakkan kepalanya lebih ke atas menantang Leonhard.

“Apa? Kamu berani ngapain?” tanyang Selina.

“Cukup. Jangan paksa saya untuk lebih jauh daripada ini,” acam Leonhard.

Selina berdecak lidah. “Kamu tuh… pemaksa ya. Seakan-akan opini aku gak valid karena harus selalu ikutin arahanfh—”

Mata Selina membulat saat merasakan sesuatu di bibirnya—halus, membal, dan basah. Nafasnya tercekat di tenggorokan ketika matanya bertatapan langsung dengan mata Leonhard yang terpejam. Dia bisa merasakan nafas hangat Leonhard di wajahnya. Tiba-tiba adegan waktu Leonhard ‘membantunya’ kembali terbang dalam pikirannya.

Selina buru-buru mendorong Leonhard dengan sekuat tenaga. Dia terpaku beberapa detik setelah mendorongnya. Dadanya naik-turun cepat. Bibirnya masih terasa hangat, seolah jejak Leonhard belum hilang sepenuhnya.

Ada bagian dalam dirinya yang kaget, ada yang marah, ada pula yang… entah—seperti kehilangan pijakan. Kepalanya penuh pertanyaan yang saling tindih, tidak ada satu pun jawaban yang jelas.

Selina menyentuh bibirnya perlahan, masih tidak percaya. Kenapa rasanya kayak gini? Kenapa jantungnya tidak berhenti deg-degan? Kenapa dia gak langsung tampar balik?

Semuanya terasa kabur. Tatapan Leonhard, suara napasnya, jarak di antara mereka—semuanya berputar cepat di kepalanya. Dia tidak tahu apakah harus lari, marah, atau… mengakui bahwa sesuatu dalam dirinya ikut bergetar saat itu terjadi.

“Gak ada penolakan lagi. You’re safe with me, Selina.”

1
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!