Cewek Pendiam Inceran Ketos Ganteng
Pagi itu, langkah Citra bergema pelan di sepanjang koridor. Jemarinya menggenggam erat buku-buku tebal di dada, seolah itu perisai yang bisa melindunginya dari dunia luar. Tatapannya tetap ke lantai, berharap bisa melewati lorong itu tanpa menarik perhatian siapa pun.
Sayangnya, harapannya sirna begitu saja.
Rachel Aurora dan gengnya sudah berdiri menghadang. Senyum sinis mengembang di wajah cantik Rachel, matanya menatap penuh benci.
“Aduh, jalan liat-liat dong!” sergahnya tajam.
“Sabar, Ra, nanti cantiknya ilang,” goda Sherly sambil terkekeh.
Salsa menambahkan dengan nada mengejek, “Eh cups, lo culun begini kok bisa deket sama Dion, sih? Aneh banget.”
Rachel melangkah maju, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari Citra. “Iya kan? Jelas-jelas cantikan gue ke mana-mana. Lo nggak level!”
Citra menunduk, jemarinya mencengkeram buku lebih erat. “Gua… gua nggak ada hubungan apa-apa sama Kak Dion. Kalian salah paham,” ucapnya lirih. Suaranya nyaris tenggelam, tapi getarannya cukup terdengar.
Rachel mendekat, tawanya dingin. “Semua orang tahu Dion cuma deket sama gue. Lo pikir lo siapa, berani-beraninya deketin dia?”
Sherly sudah bersiap mendorong Citra ke dinding, ketika sebuah suara berat menggema di udara.
“Ada apa ini?”
Semua kepala sontak menoleh.
Dari ujung koridor, Dion Wijaya berdiri tegap dengan seragam OSIS rapi. Rambutnya sedikit berantakan tapi justru membuat auranya semakin kuat. Tatapan matanya dingin, lurus menembus Rachel dan gengnya.
Waktu seakan melambat. Rachel spontan merapikan rambutnya, memasang senyum manis seolah tak terjadi apa-apa. “Eh, Kak Dion… ini lho, si Citra tadi nabrak aku,” ucapnya manja, suaranya dibuat lembut.
Dion tidak bergeming. Ia terus berjalan mendekat, langkah kakinya terdengar mantap, menekan atmosfer lorong yang tadinya penuh ejekan. Sesampainya di depan mereka, ia menoleh pada Citra.
“Lo gak papa kan Cit?” tanyanya, suara lembutnya kontras dengan tatapan tajamnya ke Rachel.
Citra membeku. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia yakin semua orang bisa mendengarnya. Perlahan ia mengangguk, masih menunduk, wajahnya memerah.
Tanpa ragu, Dion mengulurkan tangan. “Sini, buku-bukumu berat.”
Sherly dan Salsa ternganga. Rachel membeku di tempat, matanya membelalak tak percaya.
Dengan gerakan tenang, Dion mengambil beberapa buku dari pelukan Citra, lalu berbalik. Sebelum melangkah pergi, ia menoleh sekilas ke Rachel. “Jangan bikin masalah lagi.”
Lorong yang biasanya ramai mendadak sunyi, seolah semua murid yang sempat melihat kejadian itu menahan napas.
Rachel mengepalkan tangannya kuat-kuat, bibirnya tersenyum getir menutupi rasa terhina.
Sementara Citra berjalan di samping Dion, langkahnya goyah, wajahnya merah padam. Untuk pertama kalinya, ia merasa… dilihat.
Dan di situlah cerita mereka benar-benar dimulai.
Citra masih bisa merasakan degup jantungnya bahkan setelah mereka keluar dari koridor itu. Dion berjalan tenang di sampingnya, memegang sebagian buku yang tadi ia ambil begitu saja dari pelukan Citra.
“Lo beneran nggak papa kan?” tanya Dion lagi, kali ini lebih pelan.
Citra hanya mengangguk cepat tanpa berani menoleh. Pipinya panas, kepalanya tertunduk. Kenapa Dion harus sedekat ini? Rasanya seperti mimpi—cowok paling populer di sekolah, berjalan di sampingnya sambil membawakan buku.
Begitu sampai di depan kelasnya, Dion menyerahkan buku-buku itu kembali. “Lain kali, kalau ada yang gangguin, bilang aja ke gue,” ucapnya tegas.
Citra melongo sesaat, sebelum buru-buru mengangguk. “I-iya, Kak… makasih.”
Dion hanya mengangguk singkat, lalu pergi dengan langkah tegap. Beberapa siswa yang sejak tadi memperhatikan langsung berbisik-bisik, dan itu membuat perut Citra terasa mual. Ia tahu, kabar ini bakal cepat menyebar.
Seperti dugaan Citra, menjelang jam istirahat, gosip sudah memenuhi kantin.
“Eh lo tau nggak, tadi Dion belain Citra?” bisik seorang siswi.
“Masa sih? Itu si culun berkepang? Gila, nggak masuk akal banget.”
“Rachel pasti ngamuk tuh.”
Citra hanya bisa menunduk dalam-dalam saat melewati meja-meja kantin. Raka, sahabatnya yang duduk santai di pojok kantin, langsung melambai memanggilnya.
“Cit! Sini duduk!” serunya.
Dengan sedikit lega, Citra bergabung dengannya. Raka, anak kepala sekolah yang terkenal supel, menatapnya penasaran. “Gue denger ada drama di koridor. Lo lagi-lagi jadi korban Rachel, ya?”
Citra menghela napas. “Udah biasa, Rak. Gue nggak apa-apa kok.”
“Gue tau lo kuat. Tapi tetep aja, kalo dia makin keterlaluan, gue nggak bakal diem,” kata Raka sambil menepuk meja. Tatapan matanya tajam, membuat Citra hanya bisa tersenyum tipis.
Raka menatap Citra lama, tatapannya berbeda dari biasanya. Ada sesuatu di balik senyum tipisnya, sesuatu yang membuat Citra agak tidak nyaman.
“Cit,” ucap Raka pelan, suaranya nyaris berbisik, “gue tahu identitas lu.”
Citra spontan menoleh, matanya melebar. “Maksud lo apa?”
Raka hanya menyeringai kecil, tangannya memutar-mutar botol minuman. “Ayah lo kan… donatur terbesar sekolah ini.
CEO perusahaan yang semua orang kenal. Jangan kira gue nggak tahu. Lo boleh culun di sini, tapi di luar… lo itu pewaris besar.”
Jantung Citra berdebar kencang. Tangannya mencengkeram buku lebih erat. “Tolong, Rak… jangan bilang siapa-siapa,” pintanya cepat, matanya panik.
Raka menghela napas, lalu tersenyum lembut. “Tenang aja. Rahasia lo aman sama gue. Lagi pula… dari dulu gue udah—”
Kalimatnya terpotong karena tiba-tiba beberapa teman sekelas mereka mendekat.
“Eh, Citra!” seru Kiara, anak kelas XI-3 yang terkenal aktif. “Sumpah, asli lu hebat kemarin lomba, ya?”
Citra berkedip bingung. “Hah? Lomba?”
“Lomba Robotik!” sahut Kiara semangat. “Lu juara 2 nasional, kan? Gue liat postingannya di Instagram official acara itu.”
Beberapa siswa lain ikut mendekat, wajah mereka antusias.
“Iya, Cit, keren banget lo. Katanya tim sekolah lain aja sampai kaget, anak culun kayak lo bisa ngalahin mereka.”
“Ajarin gue dong, biar bisa ikut olimpiade teknologi tahun depan.”
Wajah Citra memerah. Ia tersenyum kikuk, menggaruk pelipis. “Iya, gue awalnya iseng daftar lewat IG. Nggak nyangka bisa menang…”
“Gila, lu rendah hati banget!” seru Kiara lagi sambil menepuk bahu Citra. “Mulai sekarang, kalo ada tugas fisika atau matematika, gue maunya kelompok sama lu!”
Beberapa anak lain mengangguk setuju, langsung merubung meja Citra.
Untuk pertama kalinya, perhatian satu kelas tertuju padanya—bukan karena ejekan, tapi karena kagum.
Di sudut ruangan, Rachel memperhatikan dari jauh dengan tatapan gelap. Jemarinya mengetuk meja berulang-ulang, menahan emosi. Sementara Raka hanya tersenyum tipis, matanya tak lepas dari Citra.
Karena sebelum Dion muncul dalam hidup gadis itu… dialah yang lebih dulu menaruh hati.
Dion bersandar di dinding dekat lapangan basket, matanya tanpa sadar mengikuti sosok Citra di kelas sebelah.
Gadis itu sedang dikelilingi teman-temannya, tertawa kecil saat Kiara dengan semangat memuji prestasinya di lomba robotik.
Di sisi lain, Raka duduk tak jauh dari Citra, senyumnya jelas penuh arti. Mereka terlihat dekat, seakan ada rahasia yang hanya dimiliki berdua.
Dion mengepalkan tangannya pelan.
"Cewek yang dulu gue anggap culun, yang dulu gampang banget gue cuekin… ternyata punya sesuatu yang bikin gue pengen tahu lebih jauh," batinnya.
Tatapannya semakin tajam ketika melihat Raka mencondongkan badan, berbisik sesuatu hingga membuat Citra tersenyum kikuk.
"Kenapa ya… tiap kali liat mereka bareng, hati gue panas gini? Gak enak banget rasanya."
Ia menunduk sebentar, lalu menghela napas panjang. Dion Wijaya—ketua OSIS yang biasanya tenang dan karismatik—mendadak merasa cemburu untuk pertama kalinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Siti H
semangat... semoga sukses
2025-08-21
1