Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.
Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.
Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.
Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.
Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Melihat Belinda datang, Hasya hanya diam mematung apalagi melihat Bara yang dijewer.
"Hasya... Sini, Nak!" panggil Belinda.
"Sa-saya, Nek." jawab Hasya gugup.
"Sini duduk dekat nenek." Belinda menepuk sofa di samping kanannya, sedangkan Bara berada di samping kirinya.
Karena untuk menghargai Belinda, Hasya pun menghampiri Belinda dan duduk di sampingnya.
"Dia nyuruh apa?" tanya Belinda penuh selidik.
"Eh, gak tahu, tadi belum..." Hasya sedikit gugup dan bingung.
"Aku cuma mau minta temenin nonton doang Nek." Bara menjelaskan. Dia memang mau meminta Hasya menemaninya untuk nonton di ruang keluarga.
"Bukan mahram Bara! Jaga dia, dia akan jadi cucu mantu nenek." pikiran Belinda, namanya anak muda, nonton pasti berdekatan dan... Pokoknya Belinda mengkhawatirkan sesuatu terjadi kepada dua anak muda itu.
"Hah?" Hasya dan Bara tersentak kaget.
"Ya, kalian akan menikah dalam waktu dekat." jawab Belinda.
"Tapi, Nek..." Hasya benar-benar merasa ragu.
"Mau, ya?" Belinda bertanya penuh harap. "Nenek ingin kamu jadi pendamping hidup Bara." ucapnya lembut. Dia mengusap puncak kepala Hasya dengan sayang.
Hasya tertegun, "Menikah?" pikirnya. Sebenarnya, dia masih ingin melanjutkan kuliahnya yang terpaksa terhenti di semester ke empatnya karena dia kehabisan uang tabungannya. Awalnya dia masuk kuliah dengan uang yang dia tabung sejak SMA dulu. Tapi, saat memasuki semester empat, uang tabungannya habis karena dia sempat sakit dan harus rawat inap di rumah sakit.
Akhirnya, dia memutuskan untuk membuka tabungannya dan berhenti kuliah demi kesehatannya.
"Mau, ya?" suara Belinda membuyarkan lamunannya dan itu semua tak lepas dari tatapan Bara.
"Emm... Mohon maaf sebelumnya, Nek." Hasya berbicara sedikit ragu. Dia menundukan kepalanya sebentar, lalu kembali menatap Belinda. "Sa-saya belum siap untuk menikah dan juga saya tidak ingin menjadi orang ketiga dari hubungan Om Bara sama Nona Laura."
"Hahaha... " Belinda malah tertawa kencang. Dia merasa gemas dengan jawaban Hasya. Apalagi saat memanggil 'Om' kepada Bara.
"Bar... Lihat! Dia masih polos. Awas aja kalau kamu macam-macam sama dia." Belinda menatap tajam ke arah cucunya. Sedangkan Hasya hanya mengerutkan dahinya bingung. Dia takut kalau Belinda marah. Bara sendiri hanya meringis dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Nanti nenek datang ke keluarga kamu." ucapnya.
"Jangan, Nek." Hasya berbicara dengan cepat. Dia tidak ingin Belinda mengetahui keadaan keluarganya.
"Gak masalah... Semuanya serahkan sama nenek." jawab Belinda. Kemudian ia menatap Bara dan menepuk pundaknya. "Kamu bagaimana?"
Bara menatap Belinda. "Sepertinya aku butuh waktu, Nek."
"Keburu diambil Arsen, boleh?" Belinda menaik turunkan kedua alisnya.
"Maksudnya?" Bara tidak mengerti.
"Dia meminta nenek untuk menemaninya ke rumah Hasya." Belinda berbisik.
"Jangan, Nek." Bara refleks melarangnya.
Belinda kembali terbahak melihat cucunya. Dia tahu kalau Bara menyukai Hasya, hanya saja Bara yang mempunyai hubungan membuatnya dilema.
"Siapa cepat dia dapat." Belinda tidak bicara lagi. Dia langsung menyalakan televisinya dan mencari chanel pilihannya.
"Tuh, kalau mau nonton, nonton ini aja." Ucap Belinda.
"Nenek!"
"Aku suka, Nek." ucap Hasya. Dia bertepuk tangan ringan melihat tontonan di depannya. Kisah dua anak kembar yang sudah tidak asing lagi.
Bara menatap Hasya. "Kamu suka film itu?" tanyanya.
"Sudah lama sekali aku gak nonton. Terakhir setelah SMP kayaknya. Tapi aku suka." Hasya terlihat ceria.
Bara dan Belinda menatap satu sama lain. Kemudian Belinda mengangguk. "Kamu harus menyayangi dia." bisiknya di telinga Bara. Sedangkan Hasya sudah fokus ke tontonannya. Dia tertawa kecil melihat kelakuan dua anak kembar berkepala botak itu.
"Hai cantik! Kamu sudah makan belum? Kita makan di luar yuk!" tiba-tiba Arsen sudah berada di samping Hasya. Tapi Hasya tetap fokus kepada film yang ditontonnya. Bukan tidak mendengar, tapi dia menganggap kalau Arsen bukan berbicara padanya.
"Arsen! Jangan dekat-dekat." Bara menatap tajam ke arah Arsen. Dia merasa kesal kepada Arsen yang langsung duduk di samping Hasya walaupun berjarak.
"Menjauh, Sen!" titah Belinda.
"Kapan, sih, nenek gak mau nyenengin aku. Bara selalu nomor satu, sedangkan aku?" Arsen bukan mengalah, tapi dia memang orangnya sadar diri.
Bara berdiri menghampiri Arsen. Hasya melirik sekilas, tapi matanya kembali ke arah televisi.
"Sorry, Sen." Bara duduk di samping Arsen dan merangkul Arsen layaknya adik sendiri. "Kalau soal perempuan, gue gak bisa berbagi. Tapi untuk yang lainnya terserah lo, termasuk orang tua gue, dari dulu juga gua fine-fine aja."
"Laura mau dikemanakan?"
"Sudah gue tendang ke jurang!" jawab Bara dengan entengnya.
Bugh!
"Astagfirullah...!" Hasya kaget saat mendengar suara pukulan Arsen. Dia melirik ke samping dan dia langsung turun ke lantai sambil menutup mulutnya.
"Eh... Kenapa, Nak?" Belinda yang menyaksikan kedua cucunya itu ikut kaget.
Hasya menengok kebelakang. "Maaf, Nek. Aku kaget, tiba-tiba ada dua makhluk di samping aku." Hasya tidak menyadari kalau bicaranya juga sudah seperti tidak asing lagi di rumah itu.
Belinda kembali terbahak. "Kalian berdua makhluk asing...!" Belinda meledek kedua cucunya.
"Cantik! Kenapa manggil kita makhluk asing? Gak lihat apa kalau kita ini tampan-nya saingan?"
"Memang tidak terlihat, Om. Aku tutup mata dan tutup hati." Hasya berbicara sambil tersenyum.
Dan itu membuat Bara memalingkan wajahnya. "Kenapa setiap kali dia tersenyum dan berbicara konyol hatiku seperti bergetar begini?" tanyanya di dalam hatinya.
"Bjir! Lo, diam aja, Bar, dipanggil 'Om'?"
"Semau dia aja. Kita sudah berada diluar kantor." jawab Bara tanpa ekspresi.
"Gue yakin, lo juga keberatan. Tapi karena lo punya jiwa selingkuh, jdi lo diam aja."
Plak! Bara mengeplak paha Arsen.
"Gak usah jaim, lo!" Arsen menatap sinis kepada Bara.
Bara berdiri dan langsung menarik Arsen untuk menjauh dari sana.
"Bara!" tegur Belinda. Dia takut kalau kedua cucunya itu benar-benar bertengkar.
"Cuma mau bicara, Nek." sahutnya.
"Permisi Nyonya, ini jus yang di pesan." ucap asisten rumah tangganya. Dia menghampiri Belinda dan menaruh empat gelas jusnya di atas meja. Juga ada beberapa cemilan yang memang Belinda pesan untuk Hasya.
"Terimakasih, Bi."
"Sama-sama, Nyonya. Saya izin kebelakang lagi." Belinda mengangguk dan tersenyum.
"Nak, minum jus dulu."
Hasya pun menengok ke arah Belinda. "Tidak usah, Nek."
"Ini sudah dibuatkan, jangan ditolak."
"Tapi..."
"Sini duduk lagi di samping nenek." Belinda kembali menepuk sofa di sampingnya.
Dengan ragu, Hasya bangun dan kembali duduk di samping Belinda. Sekarang dia berpindah tempat supaya kalau dua lelaki itu kembali tidak duduk di sampingnya.
"Kan, sudah nenek bilang, anggap saja seperti di rumah sendiri."
Hasya menatap Belinda dengan mata berkaca-kaca. "Saya tidak pantas, Nek." Suara Hasya tercekat di tenggorokan.
Belinda mengerutkan dahinya. "Tidak pantas?"
"Kan, saya pekerja di kantor Tuan Bara." jawab Hasya. Belinda menatap sedih ke arah Hasya. Hasya terlihat tertekan dan bicaranya yang berubah-ubah. Dia belum tahu keseluruhan yang terjadi kepada Hasya, apalagi masa kecilnya. Dia hanya tahu kalau Hasya diusir dari rumahnya.
Belinda memeluk Hasya dari samping. "Kamu sekarang jadi cucu nenek, ya. Jangan sungkan lagi."
"Eh, jangan, Nek." Hasya langsung melonggarkan pelukannya. "Saya ini anak pembawa sial." sambungnya.
Deg!
Belinda tersentak dan membulatkan matanya.
Bersambung