Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Misi pertama Reina.
Moskow, 5 Februari 2025.
Udara dingin menusuk tulang membasahi kulit mereka berlima. Tanggal 5 Februari 2025, bayangan gedung-gedung pencakar langit Moskow menjulang di atas mereka, menciptakan suasana yang menegangkan. Misi mereka hari ini: menghancurkan gudang penyaluran narkoba yang tersembunyi di pinggiran kota. Reina, Alisiya, Mike, Jimmy, dan Helena bergerak dengan hati-hati, bayangan mereka menari di antara lorong-lorong gelap dan dingin.
Di dalam gudang pengamanan, Reina dan Alisiya bersembunyi di balik dinding yang usang. Reina, dengan wajah yang fokus dan tegas, berada di sebelah kiri, sementara Alisiya, dengan ekspresi yang sama tegasnya, berada di sebelah kanan. Di telinga mereka, suara Alice terdengar jelas melalui earphone.
Suara Alice, sedikit ngantuk, terdengar melalui earphone Reina. "Reina, Alisiya… musuh mendekat. Sekitar satu meter. Mereka bergerak satu arah tanpa bantuan. Jumlahnya… empat orang…" Ia menguap lemah, suaranya menunjukkan bahwa ia sedikit lelah memantau situasi dari jauh dengan lebah-lebah robotnya. "Mereka berjalan dengan hati-hati, seperti mengetahui ada sesuatu yang mengancam."
Alisiya berbisik melalui earphone, suaranya penuh dengan kepercayaan diri. "Baiklah, Alice…" Ia menggerakkan jari-jarinya dengan cepat, memeriksa kondisi senjatanya. Ekspresi wajahnya tetap tegas, menunjukkan kesiapannya untuk bertindak.
"Apa langkah selanjutnya, Alice?" tanya Reina, suaranya tenang namun tegas. Ia menatap sekitarnya dengan waspada, menunjukkan kewaspadaannya.
Suara Alice kembali terdengar, kali ini suaranya lebih waspada. "Tunggu mereka berada di seperempat meter. Gunakan pistol peredam untuk tidak menarik musuh yang lain… Sekarang!!" Perintahnya tajam dan tegas, menunjukkan keseriusan situasi.
Dengan cepat, Reina dan Alisiya keluar dari tempat persembunyian mereka. Gerakan mereka luar biasa cepat dan presisi, seperti dua bayangan yang menari di antara kegelapan. Pistol peredam mereka berbunyi dengan hentakan yang halus namun mematikan. Empat peluru menembus kepala empat musuh itu dengan tepat, menjatuhkan mereka seketika. Tidak ada suara teriakan, hanya bunyi jatuh yang lembut dan sunyi.
Reina dan Alisiya berjalan ke depan, mendekati mayat empat musuh tersebut. Reina menatap Alisiya dengan tatapan yang penuh dengan rasa hormat. "Kerja bagus, Alisiya," katanya, suaranya penuh dengan rasa pujian. Ia menunjukkan rasa bangga dan apresiasi terhadap kemampuan Alisiya.
Alisiya menatap Reina dengan tatapan yang sama hormatnya. "Kau juga…" katanya, suaranya sedikit bergetar, menunjukkan rasa lega dan puas. Ia menunjukkan rasa hormat dan apresiasi terhadap kemampuan Reina. Suasana di sekitar mereka masih tegang, namun terasa ada rasa lega dan puas karena misi mereka berjalan dengan lancar. Mereka berjalan terus ke depan, siap menghadapi tantangan yang mungkin akan datang. Langkah mereka tegas dan penuh dengan kepercayaan diri, menunjukkan bahwa mereka adalah tim yang kuat dan solid. Mereka akan terus berjuang bersama-sama, untuk meraih tujuan mereka.
Reina dan Alisiya bergerak dengan senyap, bayangan mereka menyelinap di sepanjang koridor gelap menuju ruang keamanan gudang. Jantung mereka berdebar kencang, adrenalin memompa darah ke seluruh tubuh mereka. Setiap langkah mereka diperhitungkan, setiap suara dianalisis. Mereka adalah pemburu yang mematikan, dan mangsa mereka tidak menyadari bahaya yang mengintai.
Sesampainya di depan pintu ruang keamanan, Reina memberi isyarat agar Alisiya berhenti. Mereka berdua mengintip melalui jendela kecil di pintu, mengamati situasi di dalam. Lima penjaga terlihat sibuk, mata mereka terpaku pada layar-layar yang menampilkan gambar dari kamera pengawas di seluruh gudang. Mereka tampak lengah, tidak menyadari kehadiran dua pembunuh yang siap menerkam mereka.
Suara Alice terdengar di earphone mereka, tenang namun tegas. "Di sekitar kalian tidak ada musuh. Musuh yang berkeliaran di luar keamanan sudah tidak ada lagi. Hanya mereka berlima… Serang demi keterampilan kalian masing-masing…" Perintah itu jelas dan ringkas, memberikan mereka kebebasan untuk menggunakan taktik apa pun yang mereka anggap perlu.
Alisiya mengangguk, matanya berkilat dengan tekad. Ia memasukkan pistolnya ke dalam penyimpanan teknologi di balik jaketnya, lalu dengan gerakan cepat dan anggun, ia mengeluarkan scythe raksasa hologram berwarna pelangi. Senjata itu berkilauan di bawah cahaya redup, memancarkan aura kekuatan dan bahaya.
Reina melakukan hal yang sama. Ia memasukkan pistolnya ke dalam penyimpanan teknologi, lalu mengeluarkan katana hologram berwarna merah muda. Senjata itu memancarkan cahaya yang lembut namun mematikan, mengingatkannya pada kenangan pahit beberapa bulan lalu. Kei, dengan katana hologram berwarna biru mudanya, berusaha menyelamatkannya saat ia sekarat. Kenangan itu menyakitkan, namun juga memberinya kekuatan untuk terus berjuang.
Alisiya mundur beberapa langkah, lalu dengan teriakan yang memekakkan telinga, ia menghantam pintu baja itu dengan scythe-nya. Pintu itu hancur berkeping-keping, meleleh seperti es di bawah terik matahari. Serangan itu begitu kuat sehingga menciptakan gelombang kejut yang mengguncang seluruh ruangan.
Lima penjaga itu tersentak kaget, mata mereka membelalak karena terkejut dan ketakutan. Mereka tidak sempat bereaksi sebelum Reina dan Alisiya menerjang masuk, senjata mereka menari dengan gerakan yang mematikan.
Alisiya berputar seperti penari balet yang mematikan, scythe-nya menebas dengan kecepatan kilat. Dua penjaga jatuh ke lantai, tubuh mereka terbelah menjadi dua oleh bilah hologram yang tajam. Reina bergerak dengan anggun dan mematikan, katana merah mudanya menebas dengan presisi bedah. Tiga penjaga lainnya mencoba melawan, namun mereka tidak memiliki kesempatan melawan dua pembunuh yang terlatih dan termotivasi.
Seorang penjaga mencoba menembak Reina, namun Reina dengan cepat menangkis peluru itu dengan katananya. Peluru itu memantul, mengenai penjaga lain dan membuatnya jatuh ke lantai dengan erangan kesakitan. Penjaga ketiga mencoba melarikan diri, namun Alisiya melompat ke depannya, scythe-nya menebas dengan gerakan melingkar, memenggal kepalanya dan membuatnya jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk yang mengerikan.
Pertarungan itu berlangsung kurang dari satu menit, namun terasa seperti keabadian bagi para penjaga yang malang. Reina dan Alisiya bergerak dengan kecepatan dan presisi yang luar biasa, mengubah ruang keamanan itu menjadi medan pembantaian yang mengerikan. Ketika debu mulai mereda, hanya ada mayat-mayat yang berserakan di lantai, dan dua wanita yang berdiri di tengah-tengah kekacauan itu, senjata mereka berkilauan di bawah cahaya redup.
Reina dan Alisiya saling bertukar pandang, mata mereka berkilat dengan kepuasan dan kelelahan. Mereka telah menyelesaikan tugas mereka, namun mereka tahu bahwa masih banyak lagi yang harus dilakukan. Perjuangan mereka baru saja dimulai, dan mereka siap untuk menghadapi apa pun yang menghadang mereka.
Keheningan mencekam setelah pertarungan di ruang keamanan. Hanya suara napas Reina yang terdengar di earphone Alice, menunjukkan kelelahan namun kepuasan yang teramat dalam. "Alice, semua penjaga sudah kami atasi," lapor Reina, suaranya berat namun tegas. Alisiya berdiri di sampingnya, siluetnya terlihat samar dalam kegelapan, namun aura kekuatan masih terpancar darinya. Keduanya meletakkan senjata hologram mereka, cahaya merah muda dan pelangi memudar, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang pekat, hanya dihiasi oleh aroma logam dan darah.
Alice, yang berada jauh di luar gudang, menanggapi dengan kecepatan kilat. "Mengerti. Operasi fase dua dimulai." Suara menguapnya terdengar lagi, namun nada suaranya berubah menjadi lebih profesional. Lima lebah robotnya, kecil dan lincah seperti serangga mematikan, bergerak dengan kecepatan kilat. Mereka menembus celah-celah kecil di dinding, mencari jalan masuk ke sistem keamanan gudang. Cahaya hologram biru muda dari lebah-lebah itu berkedip-kedip seperti kunang-kunang jahat, mengirim sinyal yang rumit ke mesin keamanan yang usang.
Detik-detik menegangkan berlalu. Reina dan Alisiya saling bertukar pandang, mata mereka mencerminkan ketegangan dan antisipasi. Tiba-tiba, suara 'klik' yang nyaring memecah keheningan. Sistem keamanan telah diretas. Seluruh gudang terbenam dalam kegelapan total, hanya ditemani oleh aroma tajam dan bau anyir darah.
"Kerja bagus, Alice…" puji Alisiya, suaranya penuh dengan rasa hormat. Ia menggerakkan bahunya, mencoba untuk menghilangkan rasa lelah yang menyerang tubuhnya.
Alice menanggapi dengan suara yang masih ngantuk, "Makasih… huaaah…" Ucapannya terpotong oleh suara menguapnya yang panjang. Ia tampaknya benar-benar lelah, namun profesionalismenya tidak pernah turun.
Suara Alice kembali terdengar, kali ini lebih tajam dan tegas. "Helena, sekarang giliranmu. Penglihatanmu sangat dibutuhkan di kegelapan ini. Bunuh semua musuh di sekitar kantor pemimpin." Perintah itu diberikan dengan nada yang tidak menoleransi kesalahan.
Helena, yang bersembunyi di balik dinding jalur utama, menanggapi dengan suara yang tenang dan percaya diri, "Mengerti." Ia menarik napas dalam, menunjukkan kesiapannya untuk melakukan tugas yang sangat berbahaya.
Helena memejamkan mata. Tubuhnya tegang, menunjukkan konsentrasi yang tinggi. Mata silvernya berubah menjadi hijau emerald yang bersinar dengan cahaya misterius. Kemampuan penglihatannya yang super aktif. Ia bisa melihat semua sesuatu dengan jelas dalam kegelapan total. Dengan gerakan yang cepat dan halus, ia mengeluarkan pisau hologram berwarna putih dari sarung tangan khususnya. Pisau itu berkilau dengan cahaya yang lembut namun mematikan, seperti bintang yang jatuh dari langit.
Helena bergerak dengan kecepatan dan kelincahan yang menakjubkan. Ia menghilang di antara bayangan, seperti hantu yang mencari mangsa. Ia mendekati pintu kantor pemimpin, mengamati sepuluh penjaga yang berkerumun di sana, kebingungan karena kegelapan mendadak.
Dengan gerakan yang cepat dan mematikan, Helena menyerang. Pisau hologramnya menari dengan anggun dan mematikan, seperti tarian maut yang memikat dan menakutkan. Satu demi satu, leher para penjaga tertebas dengan presisi yang luar biasa. Tidak ada suara teriakan, hanya bunyi pisau yang menebas dan bunyi tubuh yang jatuh ke lantai dengan lembut. Dalam waktu yang sangat singkat, sepuluh penjaga itu telah jatuh ke lantai, mati dengan seketika. Helena berdiri di tengah ruangan, napasnya agak terengah-engah, namun matanya masih berkilau dengan kepercayaan diri. Ia telah menyelesaikan tugasnya dengan sempurna, dengan kecepatan dan efisiensi yang mengagumkan. Ia adalah bayangan maut yang menari di antara kegelapan, membunuh musuhnya dengan cepat dan tanpa kasihan.
Jam tangan canggih Helena berdenyut dengan cahaya biru dingin. Layar hologramnya menampilkan interior kantor pemimpin: lima sosok, wajah-wajah mereka terukir campuran keterkejutan dan perlawanan putus asa, berkumpul di sekitar meja mahoni. Namun, pancaran panas yang terdeteksi di dalam ruangan, dan semburat cahaya yang menembus jendela besar, mengkhianati rasa takut mereka. Helena tersenyum tipis, mata emeraldnya berkilat; perburuan belum berakhir. Senyum predator menghiasi bibirnya.
Suara Alice, serak karena kantuk, berderak di saluran komunikasi mereka. "Bagus, Helena. Baiklah tim, waktunya bersenang-senang. Huaah… butuh kopi…" Meskipun menguap, perintahnya tegas.
"Mengerti," sahut Reina, Alisiya, Mike, dan Jimmy serempak, suara mereka rendah dan terkendali, mengisyaratkan efisiensi mematikan yang mereka miliki. Reina dan Alisiya, gerakan mereka kabur karena latihan yang terlatih, mengeluarkan senjata hologram mereka. Kilatan pink dan pelangi berkilauan dalam cahaya remang-remang.
Helena, ekspresi wajahnya tak terbaca, mengangguk ke arah Reina dan Alisiya. "Giliran kalian, ladies. Waktunya mendinginkan mereka." Ketegangan rahangnya yang hampir tak terlihat mengkhianati antisipasi.
"Mengerti," jawab Reina dan Alisiya serempak, suara mereka berdesir dengan kepercayaan diri. Alisiya, bagai pusaran angin, mengayunkan sabit pelangi raksasanya. Udara bergetar dengan kekuatan pukulan itu saat pintu baja yang diperkuat meleleh menjadi genangan cairan, memperlihatkan wajah-wajah ketakutan di dalamnya.
Ketiga wanita itu masuk, siluet mereka tajam menonjol di kegelapan. Reina, dengan seringai di bibirnya, mengatakan kepada kelima pemimpin itu dengan canda yang mengerikan, "Sibuk sekali ya? Kayaknya gelas kalian kosong. Bagaimana kalau kita isi ulang? Sesuatu yang sedikit… lebih hangat?" Suaranya seperti bisikan sutra, dibumbui niat membunuh.
Dengan gerakan jari Reina yang hampir tak terlihat, Mike dan Jimmy turun dari ventilasi langit-langit seperti predator yang senyap. Kelima pemimpin itu kini terkepung, terperangkap dalam lingkaran efisiensi mematikan.
Salah satu pemimpin, wajahnya pucat pasi karena ketakutan, mencoba menghubungi seseorang melalui ponselnya, tangannya gemetar hebat. Tawa Alisiya bergema di ruangan, suara dingin yang membuat bulu kuduk merinding. "Oh, siapa yang kau hubungi? Alexander? Atau mungkin sisa-sisa… bawahanmu yang sudah meninggal?" Kata-katanya penuh ejekan kejam.
Para pemimpin, akhirnya menyadari situasi mereka, mengeluarkan senjata api mereka, tangan mereka gemetar. "Kami akan membunuh kalian semua, bajingan!" teriak salah satu pemimpin, suaranya kasar karena keputusasaan.
Maka, tarian kematian dimulai.
Reina, bagai kilat, katananya yang merah muda menyambar di kegelapan, bergerak dengan keanggunan seorang pejuang berpengalaman. Setiap serangan, setiap penghindaran, presisi dan terhitung, dieksekusi dengan efisiensi mematikan. Matanya, menyipit fokus, tidak melewatkan apa pun. Gerakannya mengalir, menyamarkan niat membunuh yang ada di baliknya.
Alisiya, kekuatan alam, melepaskan seluruh amarah sabit pelanginya. Setiap ayunan menciptakan pusaran angin mini, mengirimkan puing-puing beterbangan saat dia membelah pertahanan para pemimpin. Rambut pelanginya berkibar di sekelilingnya saat dia bergerak, kaleidoskop gerakan yang mencerminkan amarahnya yang tak terkendali.
Helena, senyap dan mematikan, bagai hantu dalam bayangan. Pisau hologram putihnya, bisikan kematian, menemukan sasarannya dengan ketepatan yang mengerikan. Setiap serangan cepat, senyap, dan benar-benar mematikan. Ekspresinya tetap datar, gerakannya hemat dan efisien, bukti keahlian yang diasah bertahun-tahun.
Mike, pusaran agresi terkendali, melepaskan rentetan sinar laser oranye menyengat dari sarung tangannya. Gerakannya kurang anggun daripada yang lain, tetapi kekuatannya tak terbantahkan. Setiap tembakan meninggalkan jejak daging yang terbakar dan jeritan ketakutan.
Jimmy, kekuatan brutal, mengayunkan tongkat baseball hologram silvernya dengan kekuatan liar, setiap pukulan menghancurkan tulang dan menghancurkan tengkorak. Gerakannya kurang halus, tetapi kekuatannya luar biasa.
Pertempuran berkecamuk, perpaduan kacau antara persenjataan teknologi tinggi dan pertarungan tangan kosong yang brutal. Para pemimpin, meskipun perlawanan mereka putus asa, bukanlah tandingan keahlian dan kemampuan mematikan para penyerang. Udara dipenuhi suara tembakan laser, benturan logam, dentuman tubuh yang jatuh ke lantai, dan jeritan putus asa dari orang-orang yang menghadapi kematian yang akan segera datang. Ruangan itu menjadi pemandangan mengerikan kekerasan dan kematian, bukti efisiensi dingin dari kelima pembunuh bayaran itu.
Akhirnya, kesunyian turun. Hanya napas terengah-engah dari kelima pembunuh bayaran itu yang memecah kesunyian. Mereka berdiri di tengah kehancuran, senjata mereka nonaktif, wajah mereka muram tetapi puas. Misi telah selesai. Mereka telah memberikan keadilan, dengan cepat dan tegas. Satu-satunya suara adalah tetesan darah yang pelan, tetes demi tetes, ke lantai mahoni yang dipoles.