Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada Yang Berbeda
Yuer sibuk mengobati luka tusukan di pinggang Zeyan dengan wajah cemberut. Meskipun Zeyan sendiri bersikap tenang, bahkan terlalu santai untuk seseorang yang baru saja ditikam, Yuer tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya. Tangannya gemetar saat menempelkan kain basah ke luka itu.
Zeyan hanya memperhatikan, diam-diam. Kepalanya sedikit menunduk, pandangan matanya tak lepas dari wajah Yuer yang berkerut cemas. Saat Yuer kembali mengelap lukanya dengan gerakan pelan, Zeyan mencondongkan tubuh, lalu menarik dagu gadis itu dengan dua jarinya.
"Aku sudah memaafkanmu. Kenapa wajahmu masih begitu?"
Yuer tidak langsung menjawab. Dia menghela napas, lalu menunduk lagi, menyembunyikan matanya.
"Aku belum pernah mengiris kulit siapa pun sebelumnya, kecuali untuk mengobati." gumamnya pelan. "Dan aku sempat berpikir, kalau misalnya kau mati, aku bisa saja dipenggal."
Zeyan terdiam sejenak sebelum terkekeh. Ia mengusap pipi Yuer dengan telapak tangannya yang bebas, ringan, tapi hangat.
"Menurutmu aku akan mati semudah itu? Dengan belati kecil itu?"
Yuer hanya diam. "Tetap saja, kau seharusnya tidak mengejutkanku."
Tatapan Zeyan tak pernah lepas dari Yuer. Dia menikmati segala ekspresi Yuer, bahkan saat ia tampak begitu menyesal dengan tangan sibuk mengobatinya.
"Ini hanya luka kecil, Wen Yuer. Aku pernah melalui yang lebih buruk."
"Aku tahu. Aku yang mengobatimu di hutan, itu bukan luka yang ringan."
Kini jemarinya menurun ke rahang Yuer, namun cukup kuat untuk membuat gadis itu mendongak menatapnya.
"Kau merawat lukaku dengan baik,"
Yuer mengerjap beberapa kali sebelum melepaskan tangan Zeyan dari wajahnya. "Saat itu... Siapa yang melukaimu?"
Zeyan diam sesaat kemudian menjawab. "Musuh lama dan tak sengaja bertemu. Menyerang diam-diam saat aku lengah, pengecut."
Yuer mengangguk. "Kau benar-benar terluka parah saat itu."
Tangan Zeyan menyentuh bahu Yuer begitu santai. "Dan seorang tabib cantik menyelamatkanku."
Yuer hanya menghela napas dan menggeleng pelan.
Suasana mendadak hening, dan saat itulah bunyi peluit panjang terdengar dari luar. Suaranya tajam, memecah kesunyian taman.
Yuer langsung mendongak. "Apa itu?"
Zeyan menoleh ke arah suara, rahangnya mengeras seketika. "Zichen," gumamnya. "Itu isyarat darurat."
Zeyan berdiri menarik pakaiannya dan mengenakannya kembali secepat mungkin. "Ayo," katanya dan menoleh pada Yuer. Ia menggenggam tangan gadis itu, lalu menariknya pelan.
..
Begitu keluar dari taman pribadinya, Zeyan langsung disambut Zichen yang berdiri di depan gerbang taman dengan ekspresi serius. Namun, matanya sempat melirik cepat ke arah Yuer yang mengikuti di belakang Zeyan. Sekilas tatapannya berubah, sedikit terkejut dengan pemandangan tak biasa itu, tapi memilih tak mengatakan apapun.
"Ada apa?" tanya Zeyan langsung.
Zichen memberi hormat cepat. "Pasukan dari Dataran Luoyang terlihat mendekat di perbatasan utara."
Yuer menyipitkan mata, tak mengenal nama itu. Tapi Zeyan langsung menegang.
"Berapa banyak?" tanyanya singkat.
"Sekitar dua ribu."
Zeyan mengangguk pelan. Tangannya menepuk bahu Zichen. "Siapkan pasukan kita. Aku akan menyusul ke pos utama."
"Baik." Zichen menunduk dan segera pergi, tapi Zeyan masih menatap lurus ke depan. Hanya beberapa detik sebelum dia akhirnya menoleh sekilas pada Yuer kemudian berjalan pergi dengan langkah tegas yang membuat jubahnya berkibar.
Yuer tidak bicara apa-apa. Tatapannya hanya mengikuti sosok Zeyan yang perlahan berjalan menjauh.
"Yuer!"
Suara lembut dan familiar itu membuat Yuer menoleh cepat. "Mingyue?!"
Keduanya segera saling berpelukan. Meski tak lama berpisah, Yuer bisa merasakan dengan jelas kalau benteng sangat sepi tanpanya.
"Aku senang kau kembali."
Mingyue tersenyum, "Aku juga senang akhirnya bertemu denganmu lagi." lalu menatap ke arah jalan tempat Zeyan dan Zichen menghilang. Wajahnya sedikit berubah.
"Kenapa Louyang menyerang?" Tanya Yuer menyadari sorot Mingyue.
Mingyue menoleh menatap Yuer. "Dendam lama. Musuh kakakku bukan hanya kekaisaran, Louyang hanya salah satunya tapi satu-satunya yang tak takut pada kakakku."
Jawaban Mingyue mengingatkan ucapan Zeyan di paviliun tadi. Mungkinkah itu musuh lama yang dia maksud?
"Kenapa?"
"Wanita, Yuer, karena wanita."
Yuer terdiam dan hanya menaikkan kedua alisnya. Matanya tertuju pada halaman utama dimana para prajurit berlarian menyiapkan diri.
Mungkinkah wanita yang Mingyue maksud adalah wanita yang pernah bertunangan dengan Zeyan?
Seharusnya Yuer tak penasaran. Tetapi hatinya berbohong. Rasanya seperti ada gumpalan kerikil di dadanya.
Siapa wanita itu? Apakah Zeyan mencintainya?
...
Yuer duduk berjongkok di depan petak kecil tanaman herbal yang tumbuh tak jauh dari pintu ruangannya. Tanaman itu sempat ia rawat diam-diam, hanya beberapa akar wangi dan daun penenang yang ia gunakan untuk membuat ramuan tidur ringan. Tangannya menyentuh ujung salah satu daun, mengusapnya pelan-pelan.
Matanya menatap kosong.
Bayangan wajah Zeyan muncul dalam benaknya dan kalimat terakhir Mingyue, "Karena wanita."
Yuer menarik napas, pelan. Ia tidak ingin berpikir ke arah itu. Tapi pikirannya membandel.
Mungkinkah wanita itu pernah benar-benar dicintai Zeyan?
Ia terdiam.
Kalau memang benar, jika Zeyan pernah bertunangan dengannya, jika mereka benar-benar dekat, apakah Zeyan memperlakukannya dengan lembut? Dengan hormat?
Tak seperti bagaimana Zeyan memperlakukannya sekarang seolah dia ini benda miliknya.
Kacau. Dia tahu dia tak seharusnya memikirkan ini. Tetapi, entah sejak kapan Zeyan menjadi objek utama pikirannya.
Yuer menunduk sedikit lebih dalam, dan jemarinya masih menyentuh daun itu. Namun kali ini, tanpa sadar ia menekan terlalu lama.
Daun itu menghitam perlahan dari ujungnya, lalu melengkung kering seperti habis disedot sesuatu. Batangnya mengikuti, merunduk layu seperti kehilangan nyawa dalam sekejap.
Yuer tertegun.
Tangannya terangkat, menjauhi tanaman itu. Pandangannya berpindah cepat, menyusuri bagian tanaman yang lain. Sebagian masih sehat. Tapi satu tanaman yang ia sentuh tadi layu sepenuhnya. Mati.
Ia menatap telapak tangannya. Tak ada luka. Tak ada tanda aneh.
Tapi detik berikutnya, angin bertiup ringan dari sisi halaman. Membelai rambutnya. Membawa aroma daun layu.
Tiba-tiba, sesuatu jatuh dari atas. Pluk!
Seekor burung kecil, mungil, berbulu coklat keabu-abuan tergeletak di tanah, tepat di hadapan Yuer.
Dia membeku. "Burung?" bisiknya, perlahan berjongkok.
Burung itu menggeliat lemah, satu sayapnya tampak terkulai, paruhnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara yang keluar. Yuer bisa merasakan detak jantung kecil itu melemah hanya dari melihatnya.
Tangannya bergerak pelan, ragu-ragu, sebelum akhirnya menyentuh tubuh mungil itu. Dingin.
"Kau kesakitan," gumam Yuer, suaranya hampir tak terdengar.
Sorot matanya menatap burung di tangannya dengan lembut. "Aku akan mengobatimu."
Tangannya menggenggam tubuh burung itu perlahan, seolah ingin melindunginya dari dunia. Tapi di dalam dirinya, perasaan yang begitu menggebu, campuran dari iba, kasihan, takut kehilangan sesuatu yang tak ia kenal tapi terasa familiar, berputar seperti pusaran air.
Lalu seketika, cahaya hangat muncul dari telapak tangannya. Lembut, seperti cahaya matahari yang menerobos kabut pagi. Mata Yuer membelalak, tak percaya.
Burung di tangannya tiba-tiba mengepak pelan. Sekali. Dua kali. Dan dalam sekejap, dengan kekuatan yang baru saja kembali padanya, burung itu melompat dan terbang membelah udara, melesat ke langit dengan kicauan kecil yang terdengar begitu gembira.
Yuer menatap langit. Nafasnya tertahan. Matanya membulat, penuh keheranan, tapi juga ketakutan. Perlahan, ia menunduk, memandang kedua tangannya yang masih memancarkan sisa-sisa cahaya lembut.
"Aku… apa itu?"
Cahaya itu memudar perlahan, meninggalkan telapak tangan yang masih bergetar. Yuer tak bisa berkata-kata.
Tanaman yang layu, burung yang sekarat tiba-tiba bisa terbang setelah sebuah cahaya keluar dari telapak tangannya?
Bibirnya masih terbuka dengan nafas patah-patah terlalu terkejut. Jelas ada sesuatu, ada sesuatu dalam dirinya.
susunan kata nya bagus