Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Rachel melirik ke arah Aiden dengan tatapan yang tajam, nyaris menusuk. Tatapan itu bukan sekadar sinis, ada sesuatu di dalamnya yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Aiden yang menangkap sorot mata itu mengernyit, hatinya bertanya-tanya, Apakah aku sudah melakukan kesalahan?
“Ada apa? Kenapa kamu menatap aku dengan sinis seperti itu?” tanya Aiden, mencoba menjaga suaranya tetap tenang, meski rasa ingin tahunya jelas terlihat.
“Aku baru tahu ternyata kamu primadona kampus,” jawab Rachel datar, matanya tak lepas dari wajah Aiden. “Berapa pria yang sudah jadi pacar kamu?” Nada bicaranya dingin, seperti sedang menginterogasi tersangka.
Aiden sedikit terperangah, lalu tersenyum tipis. “Yang ngejar-ngejar dan ingin jadi pacar aku itu banyak. Mau itu senior, teman seangkatan, bahkan mahasiswa junior pun cukup banyak,” ujarnya santai, seolah sedang bercerita tentang hal sepele. “Tapi, aku nggak jatuh dalam rayuan mereka. Karena aku tipe orang setia. Jadi cukup satu saja pria yang aku sukai.”
Rachel menyipitkan mata. “Aku nggak percaya.”
“Terserah kamu mau percaya atau tidak,” balas Aiden, bahunya terangkat ringan. “Aku malah lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temanku.”
Aiden terdiam sejenak, pikirannya menelusuri masa lalu.
Keluarga Foster hanya berasal dari golongan menengah, sangat berbeda dengan keluarga Salvador yang berada di lingkaran golongan atas. Ia masih ingat betul bagaimana dulu hubungan mereka sempat ditentang keras oleh keluarganya sendiri. Bukan karena Aiden tidak layak, tapi karena rasa takut. Mereka takut putrinya akan dihina, diremehkan, atau dipermalukan di hadapan keluarga besar suaminya.
“Sepertinya sejak kecil kamu memang dekat dengan banyak laki-laki,” ucap Rachel akhirnya, suaranya seperti menimbang-nimbang.
“Benar,” sahut Aiden tanpa ragu. “Di lingkungan rumahku kebanyakan anak laki-laki, jadi aku mainnya sama mereka. Kalau Xavier dan Thomas, kita berteman sejak masuk TK sampai kuliah di kampus yang sama.”
Percakapan mengalir begitu saja, hangat. Sudah lama sekali mereka tidak berbicara seperti ini, tanpa jarak, tanpa nada sindiran yang biasanya menyelip di antara kata-kata.
“O, iya,” Aiden tiba-tiba mengubah arah pembicaraan. “Aku sempat melihat sebuah file di laptopmu. Di sana ada beberapa artikel tentang kecelakaan yang menimpa keluargamu. Apakah itu bukan kecelakaan murni?”
Rachel menghela napas, tatapannya meredup. “Iya. Sejak dulu aku sudah curiga kalau kecelakaan itu memang direncanakan.” Suaranya pelan, tapi mengandung kepastian yang tak tergoyahkan.
“Lalu, apa flashdisk yang dulu sempat hilang—yang aku dituduh mencurinya—ada kaitannya dengan kecelakaan yang kamu selidiki?” tanya Aiden mencondongkan tubuh, matanya serius.
“Iya,” jawab Rachel tanpa ragu. “Aku sudah banyak mengumpulkan barang bukti dan kesaksian dari beberapa orang yang mengenal banyak hal tentang keluarga Salvador.”
Aiden menatapnya dalam-dalam. “Kalau begitu, kita harus segera usut tuntas pelaku kejahatan itu, walaupun sudah lama terjadi.”
Rachel menatapnya balik, bibirnya melengkung tipis. Ia tidak menyangka orang yang dulu sering ia tak acuhkan mau terjun langsung membantu mengungkap misteri yang sudah lama ia pendam.
“Apa kamu sadar risiko yang harus dihadapi kalau berurusan dengan orang-orang itu?” tanya Rachel, matanya tajam.
“Hei,” Aiden menyandarkan punggung, senyum tipisnya muncul lagi. “Sekarang aku itu jadi Aiden. Pastinya orang-orang itu tetap mengawasi aku, kan? Daripada aku nggak tahu apa-apa, lebih baik kasih tahu siapa pelaku yang kamu curigai. Kalau nggak, bisa-bisa aku mati penasaran.”
Rachel terkekeh, tawanya terdengar ringan. Sudah lama ia tidak tertawa seperti ini, tawa yang keluar tanpa beban. Mungkin, pikirnya, komunikasi mereka kini lebih manis dan mengalir, bebas dari rasa curiga yang dulu selalu menjadi tembok di antara mereka.
"Ayo, ikuti aku! Akan aku tunjukan sesuatu kepadamu."
Rachel berjalan ke arah lemari buku besar di sudut kamar, jemarinya menyapu debu tipis di permukaan kayu mahoni itu. Tanpa sepatah kata, ia menekan bagian tertentu di sisi rak, dan dengan suara klik yang halus namun tegas, lemari itu bergeser pelan, mengungkapkan sebuah pintu tersembunyi di belakangnya.
Aiden terdiam, matanya membesar. Begitu Rachel mendorong pintu itu, aroma kayu tua bercampur wangi kertas dan logam tipis menyeruak keluar. Sebuah ruangan tersembunyi terbentang di hadapannya, dindingnya penuh dengan papan besar yang dipenuhi foto-foto, catatan, peta, dan potongan artikel koran. Lampu kuning redup yang tergantung di langit-langit menambah kesan misterius dan menegangkan.
“Aku baru tahu ada ruangan seperti ini,” ucap Aiden, suaranya sarat dengan keterkejutan dan rasa takjub.
“Semua ini adalah orang-orang di masa lalu yang memiliki hubungan dengan keluarga Salvador,” kata Rachel, nadanya datar namun menyiratkan keseriusan.
Aiden melangkah masuk, matanya menelusuri setiap foto dan lembar informasi yang tertempel. Ada beberapa wajah yang langsung ia kenali sebagai mantan kolega bisnis, seorang pengusaha yang pernah ia temui di gala, tapi ada juga sosok-sosok asing yang membuatnya bertanya-tanya.
Jarinya menunjuk sebuah foto pria berwajah sendu, di sudutnya ada tanda silang merah tebal. “Kenapa foto ini diberi tanda silang?”
“Dia sudah mati,” jawab Rachel singkat.
Aiden menoleh cepat, alisnya terangkat. “Apa kamu yang membunuhnya?”
Rachel tersenyum tipis, senyum yang dingin namun tenang. “Bukan. Aku belum sampai bertindak seperti itu. Kalau membuat perusahaan bangkrut atau menjegal untuk mendapatkan tender kerja sama, aku sering melakukannya.”
Aiden menelan ludah. Ucapan itu terdengar santai, tapi ia tahu betul bahwa di balik kata-kata Rachel tersimpan dunia yang jauh lebih keras daripada yang ia bayangkan.
Mata Rachel lalu tertarik pada sebuah foto lain, seorang pria dengan wajah mengerikan, rahang tegas, sorot mata tajam, dan kerutan-kerutan yang membentuk ekspresi menyerupai penyihir dari cerita rakyat. “Siapa orang ini? Wajahnya mengerikan sekali.”
“Itu Tuan Damian Ford,” jawab Rachel. “Dahulu keluarga Ford saingan bisnis keluarga Salvador.”
“O, aku baru tahu. Padahal namanya sering sekali disebut-sebut sama orang,” gumam Aiden, matanya masih terpaku pada tatapan dingin dari foto itu.
Rachel menatapnya serius. “Mulai sekarang kamu harus tahu wajah-wajah kawan dan lawan. Karena saat ini kamu yang menjadi Aiden.”
Aiden menarik napas panjang, dadanya terasa sesak. “Aku baru tahu kalau hidup kamu penuh ancaman seperti ini.” Pandangannya menyapu ruangan sekali lagi, menyadari bahwa setiap wajah di sana adalah potongan puzzle dari sejarah yang kelam.
"Mau menjadi siapa pun tetap enggak enak." Aiden rasanya ingin menangis meratapi nasibnya. "Mau menjadi Rachel atau mau menjadi Aiden, tetap saja hidupnya penuh ancaman."
Rachel tertawa. "Bukannya sudah aku bilang kemarin, kalau dunia Aiden penuh dengan kesulitan dan intrik."
Semangat kakak,,ditunggu ceritanya selalu..
💪💪💪💪
kasihan teman2 Rachel..
pada bingung sendiri...
Kira" ada aura" cemburu dr Aiden asli ga ya,,,
Secara Aiden br tau klo Rachel primadona kampus.
pelajari tuuuu muka-muka penjilat.