"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Kejujuran yang Terucap
Hening sejenak.
Umi saling pandang dengan suaminya. Keduanya sama-sama terkejut, namun tetap menjaga sikap teduh.
"Masya Allah…" gumam Umi pelan.
"Apakah sebelumnya sudah pernah mengenal Kanya?" tanya Kyai Zubair bijak.
Fariz menunduk sopan. "Saya pernah bertemu beberapa kali. Melihat caranya mengajar anak-anak, caranya melayani pondok. Saya tidak pernah melihat wajahnya, tapi... saya merasa mantap."
Senyum Kyai Zubair mengembang tipis. Ia bangkit perlahan, lalu berkata tenang, "Kalau begitu… izinkan kami memanggil yang bersangkutan."
Beberapa menit kemudian.
Langkah pelan terdengar mendekat.
Pintu kayu berderit pelan saat dibuka.
Kanya masuk dengan gerak hati-hati, menjaga sopan langkahnya.
“Assalamualaikum…” ucapnya lirih, suaranya tenang.
“Waalaikumsalam,” sahut semua yang ada di ruangan.
Umi menoleh dan tersenyum hangat. “Sini, Nak.”
Kanya bersimpuh perlahan di sisi Umi. Wajahnya tetap tertunduk di balik cadar, mencerminkan kelembutan dan rasa hormat.
“Terima kasih sudah datang,” ujar Kyai Zubair dengan nada lembut dan penuh penghargaan.
Ia menoleh pada Kanya sejenak, lalu berkata tenang,
“Kanya, malam ini keluarga Fariz datang dengan niat baik. Mereka menyampaikan keinginan untuk meminangmu.”
Ruangan kembali hening.
Kanya menunduk sedikit lebih dalam. Suaranya lembut, namun jelas terdengar.
“Saya merasa sangat tersanjung dengan lamaran ini, Kyai, Umi… juga keluarga Fariz.”
Ia diam sejenak, menarik napas pelan.
Semua mata tertuju padanya. Sunyi sesaat, lalu Kanya melanjutkan dengan tenang:
“Tapi... mohon maaf. Saya sudah ada yang memiliki.”
Gugup samar terlihat di wajah keluarga Fariz. Sang ibu saling pandang dengan suaminya. Fariz hanya menunduk, menyembunyikan raut kecewa.
Umi menyentuh punggung tangan Kanya dengan lembut. “Maksudmu, Nak?”
Kanya mengangguk pelan. Senyumnya tipis, meski tersembunyi di balik cadar.
“Saya tidak bisa menjelaskan. Tapi mohon dimengerti... saya telah terikat janji.”
Ia menunduk hormat.
“Maaf… saya mohon diri.”
Kanya bangkit perlahan. Langkahnya tetap tenang. Meski pincang, tak satu pun rasa gentar terpancar dari caranya meninggalkan ruangan.
Keheningan menyelimuti ruang tamu.
Beberapa saat kemudian, di dapur para santri wanita.
Suara piring dan gelas yang saling beradu jadi latar, sementara bisik-bisik kecil menyelinap di antara uap sayur dan aroma tumisan.
“Pasti itu cuma cara halus buat nolak, deh… siapa sih yang katanya udah punya pasangan tapi gak pernah nyebut-nyebut?”
“Iya. Menurutku juga, Kanya emang belum siap nikah.”
“Ya Allah, padahal Fariz itu calon ideal banget, lho. Ganteng, mapan, sopan…”
“Kalau aku yang dilamar, aku juga gak bakal mau. Gak mau nolak!”
Tawa kecil meletup di antara mereka.
Tapi di balik senda gurau, terselip rasa penasaran—tentang santri paling pendiam, yang pincang… dan paling sulit ditebak isi hatinya.
Sementara itu, di ruangan Kyai dan Umi.
Kyai Zubair duduk di tepi ranjang. Tatapannya kosong menatap jendela malam.
“Sayang sekali. Fariz pemuda yang baik. Anak pemilik pondok juga. Seandainya ini berjodoh…”
Umi Farida menghela napas. Suaranya pelan namun penuh perhatian.
“Kanya belum genap sembilan belas. Tapi dia… sudah seperti perempuan matang dalam berpikir.”
Kyai mengangguk pelan.
“Mungkin... ini bukan soal belum siap menikah. Tapi belum siap jujur… pada hatinya sendiri.”
Umi menatap tasbih yang masih tergantung di jemari suaminya.
“Ia selalu berkata begitu. ‘Saya sudah ada yang memiliki.’ Ia tertutup sekali pada lelaki. Entah karena ingin fokus belajar... atau karena pernah terluka.”
Kyai Zubair menarik napas panjang.
“Apapun itu, bila ada luka dalam dirinya... kita tak boleh memaksanya bicara. Tapi kita bisa menjaganya. Menemaninya pulih... semampu kita.”
***
Setelah lamaran Fariz yang ia tolak dengan halus, datang pula lamaran-lamaran lain.
Putra tokoh agama, anak saudagar tanah, bahkan pemuda dari keluarga terpandang. Tapi jawaban Kanya selalu sama.
"Maaf... saya sudah ada yang memiliki."
Meski kakinya pincang dan wajahnya tersembunyi di balik cadar, aura Kanya seperti bunga yang menolak dipetik—justru membuat banyak kumbang datang.
Kemandirian, kelembutan, dan caranya membawa diri memikat, bahkan saat ia tak berusaha menarik perhatian siapa pun.
Hingga hari itu tiba.
Hari yang tak disangka akan mengubah segalanya.
Kanya sedang membantu Umi menyiapkan makan siang. Dapur pondok sederhana itu ramai oleh suara peralatan dan tawa kecil para santriwati. Panci mendidih. Wajan berdesis. Semua terasa biasa.
TV di ruang tengah menyala begitu saja. Saluran berita sosialita memutar gosip dunia atas.
“Berita fenomenal! Pertunangan CEO muda Sanjaya Company, Kian Ardhana, dengan Friska Putriana—putri tunggal konglomerat properti nasional. Mahar berlian senilai lima miliar rupiah. Rencana pernikahan akan digelar akhir bulan ini di ballroom tertutup paling eksklusif di Jakarta…”
Suara itu menembus udara seperti petir di siang bolong.
Kanya menoleh.
Wajah itu. Nama itu.
Kian.
Gambaran demi gambaran menghantam dadanya—
seperti gelombang yang datang tanpa jeda.
Sebuah akad.
Genggaman tangan itu— tangan Kian yang menyambut tangan Ayahnya,
mengikat dirinya dalam mahligai rumah tangga yang dulu terasa asing…
namun sah di hadapan langit dan bumi.
"Jaga dia..." suara terakhir Ayah sebelum menutup mata.
Gelas di tangan Kanya jatuh, pecah membentur lantai.
Seperti hatinya.
Seperti dunia yang tiba-tiba kehilangan pijakan.
“Kian… menikah?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Umi langsung menghampiri, wajahnya tegang.
“Kanya, ada apa?” tanyanya cemas.
Beberapa santriwati terkejut, buru-buru meraih pengki, sapu dan kain pel, lalu membersihkan pecahan kaca.
Kanya menggenggam lengan Umi. Matanya nanar. Nafasnya terengah. Suaranya bergetar.
“U-Umi… dia… dia menikahi wanita lain…”
“Dia? Siapa?”
“Suamiku…”
Hening.
Ruang dapur yang semula riuh menjadi beku.
Semua mata tertuju padanya.
“Suami…?” Umi memandangnya tak percaya.
Beberapa santriwati saling melirik—tak tahu harus bersuara atau tetap diam.
Kanya hanya menunduk, tubuhnya gemetar.
“Umi… maaf… saya… saya tak bisa membantu lagi.”
Dengan langkah limbung, ia tinggalkan dapur itu. Tatapan bingung dan terkejut mengikuti kepergiannya.
Hening.
Ruang dapur yang semula ramai oleh suara panci dan senda gurau berubah senyap seketika.
Umi berdiri kaku. Sorot matanya melembut, seolah baru menyatukan potongan-potongan teka-teki yang selama ini menggantung.
“Jadi itu maksudmu saat kau bilang sudah dimiliki…,” gumamnya lirih, lebih pada dirinya sendiri.
“Kau sudah bersuami.”
Wajah Umi kini menyiratkan pemahaman yang tumbuh lambat—disertai sesal karena tak lebih cepat menyadarinya.
Di sudut dapur, Siti—santriwati senior yang kerap menganggap Kanya terlalu tertutup—memandangnya dengan tatapan rumit.
“Pantas saja,” bisiknya. “Pantas saja setiap lamaran ditolaknya… bahkan yang terbaik sekalipun.”
Beberapa santriwati saling mencolek, membisikkan dugaan yang dulu hanya berani mereka gumamkan di belakang.
“Fariz, Fadli, bahkan Ridwan… semuanya ditolak.”
“Padahal mereka bukan pria sembarangan. Ganteng, mapan, akhlaknya baik…”
“Ternyata… dia sudah menikah?”
Mereka saling berpandangan—campuran antara takjub, penasaran, dan rasa bersalah.
“Kira-kira, suaminya kayak apa, ya? Kalau yang ditolaknya aja udah kayak pangeran, berarti suaminya pasti…”
“Tapi kenapa dia malah tinggal di sini kalau sudah menikah?”
“Apa dia ada masalah sama suaminya?”
“Atau mungkin… dia menikah karena terpaksa?”
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, bercampur dengan uap rebusan yang menguar dari atas kompor.
Salah satu santri muda berbisik takut-takut, “Jangan-jangan… selama ini Kak Kanya menanggung sesuatu yang gak pernah kita tahu.”
Siti memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang.
“Selama ini aku kira dia cuma terlalu pilih-pilih. Tapi ternyata…”
“Ternyata dia menyimpan sesuatu… seperti wajahnya yang tersembunyi di balik cadar. Rahasia yang bahkan tak pernah kita tahu bentuknya.”
Umi mengangguk pelan, mengusap dadanya yang terasa sesak.
“Semoga malam ini dia menemukan kejelasan… dan kekuatan untuk kembali memilih jalannya.”
Sementara itu, Kanya melangkah perlahan menuju kamar.
Meninggalkan ruangan penuh tatapan dan tanya—yang kini tak hanya penasaran, tapi juga menyimpan harapan.
***
Kamar kecil itu seketika menjadi pelariannya.
Kanya menutup pintu perlahan, lalu menyandarkan tubuhnya di sana.
Dadanya sesak. Matanya mulai basah.
Lama ia diam—hanya suara napas yang tercekat.
"Apa yang harus aku lakukan...? Haruskah aku diam saja… atau kembali padanya?"
"Tapi aku belum siap... belum siap kembali."
"Tapi aku juga... tak sanggup dimadu."
Tangannya menggenggam kain bajunya erat, seakan berusaha menahan diri agar tidak roboh.
Dan saat itulah, ingatan itu menyeruak—
dua tahun silam.
Ayah.
Sosoknya di kursi roda. Suaranya lirih, nyaris patah.
“Dia yang membuatmu seperti ini… tapi dia juga yang pertama berdiri untuk menebus kesalahannya.
Ayah tahu ini terlalu cepat. Terlalu gila. Tapi…
Ayah mohon, Nak.
Bukan karena Ayah ingin melepasmu…
Tapi Ayah takut tak punya cukup waktu untuk menjagamu."
Lalu—
Ijab kabul.
Senyum ayah yang menahan air mata.
Dan… kepergian yang datang tak lama setelahnya.
Kanya terisak pelan, suaranya tenggelam di balik ruang yang sepi.
"Ayah... apa aku terlalu keras kepala dan egois… hingga kini harus menghadapi semua ini sendirian?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁