Kanza Odelia terpaksa meninggalkan kekasihnya Adrian Miguel di altar sebab sehari sebelum pernikahan Kanza kehilangan kesuciannya karena jebakan dari kakak tirinya.
Bukan hanya itu, buah dari jebakan kakak tirinya itu Kanza akhirnya hamil, lalu terusir dari keluarganya sebab telah membuat malu karena hamil di luar nikah.
Kanza kira penderitaannya akan berakhir saat dia keluar dari rumah dan tak berurusan lagi dengan kakak tirinya. Namun sekali lagi Kanza harus berjuang demi bayi yang dia lahirkan yang ternyata tak sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Marah?
"Baik, aku akan tanda tangan, dan bersumpah kalau aku tidak akan menggangu kalian lagi. Tapi, sebelum itu berikan sertifikat kelulusanku dan barang-barang ibuku!"
"Cih, untuk apa barang tidak berharga," desis Amy.
"Tahu tidak berharga, kan? Kenapa tidak berikan padaku. Bukankah di rumah kalian hanya akan menjadi sampah."
"Karena itu kami sudah membuangnya."
"Apa?" Kanza menatap dengan marah, tangannya meremas kertas di tangannya. "Berani sekali kalian membuang barang yang bukan milik kalian!"
"Hei! Kenapa kamu melakukan itu?" Olivia merebut kertas yang sudah lecek di tangan Kanza.
Kanza menatap pada Olivia. "Aku tidak akan menandatangani itu kalau kalian tidak membawa apa yang aku mau. Pergi!" Kanza mendorong Olivia dan Amy lalu menutup pintu.
"Sialan, kamu Kanza! Lihat saja apa yang akan aku lakukan!" teriak Olivia di luar sana.
"Sudah, Oliv, kita bawakan saja yang dia mau. Jika tidak, dia pasti bisa menggugat warisan ayah kamu nanti." terdengar langkah kaki menjauh menandakan jika Olivia dan Amy sudah pergi.
"Mereka keterlaluan," ucap Mia dengan wajah kesal. "Memangnya anak paman Jhon hanya Olivia. Dia bahkan hanya anak tiri. Cuma demi warisan mereka melakukan itu!"
Kanza menundukkan wajahnya, dia benar-benar tidak habis pikir dengan ayahnya yang mau memutuskan hubungan dengannya. "Setidaknya kalau mau putus hubungan harus mengambil milikku, kan?" Kanza menahan air matanya agar tidak menangis. Meski dia tidak berharap banyak pada ayahnya, tapi setidaknya jangan sampai memutus hubungan.
"Kamu benar, setelah mendapat sertifikat kelulusan pasti akan mudah mencari pekerjaan yang layak."
"Setelah itu aku ingin pergi dari kota ini, Mia."
"Apa?"
"Disini semuanya terlalu menyakitkan," ucap Kanza.
Mia menghela nafasnya lalu mengusap punggung Kanza. "Sudah jangan di pikirkan. Lebih baik kita bersiap untuk bekerja."
Benar, tidak seharusnya Kanza mengingat hal itu lagi. Terserah mereka Kanza tak peduli. Mau harta ayahnya habis pun bukan urusannya.
....
"Mulai sekarang kau bekerja di meja kasir," ucap William.
Kanza menoleh pada Mia yang juga keheranan. "Benarkah?"
William mengangguk. "Aku dengar kau sedang hamil. Tidak baik bekerja di tempat yang di penuhi asap rokok. Setidaknya ini bisa meminimalisir."
Kanza mengerutkan keningnya. "Dari mana kau tahu, Bos?" Namun saat mengingat jika selain Mia yang tahu keadaanya, dia baru saja memberi tahu Daegan tadi. Jadi sudah pasti William tahu dari Daegan.
"Dengar, Kanza. Jika kau sudah memiliki pekerjaan lain pergilah. Aku hanya bisa membantu untuk sekarang saja."
Kanza mengangguk. "Aku mengerti, Bos." Lagi pula dia memang sudah berniat untuk mencari pekerjaan lain.
Saat ini Kanza mendudukkan dirinya di meja kasir dimana beberapa orang datang untuk memesan ruangan dan membayar tagihan.
Mata Kanza melihat para gadis yang berlalu lalang ke ruangan VVIP dimana khusus untuk tamu-tamu kaya. Kanza tahu wanita-wanita itu adalah para pekerja yang menjual tubuh mereka demi uang.
"Berapa yang harus mereka bayar jika ingin dilayani seperti itu?" gumam Kanza. Rasa penasarannya kini membuat Kanza mencari dari riwayat tagihan yang ada di komputernya. Dan melihat angka disana Kanza membelalakan matanya. "Gajiku satu bulan mereka dapatkan hanya satu malam saja," ucapnya dengan terkejut.
"Kenapa? Mau melakukannya?" Kanza berjengit saat mendengar suara William di belakangnya. Sejak kapan pria itu ada disini dan menatap layar komputer yang tengah menampilkan bill pembayaran pelayanan wanita malam.
Kanza berdiri salah tingkah. "Tidak, Tuan."
William menyeringai. "Sayang sekali padahal wajah dan tubuhmu cukup bagus," ucapnya dengan mengampit dagu Kanza dan meneliti dari sisi ke sisi.
Kanza mengerjapkan matanya. "Tidak Tuan, aku tidak mau." Kanza menolak dengan cepat.
William mengangguk. "Kita tidak tahu nanti, bukan? Beritahu aku jika kamu membutuhkan banyak uang." William melambaikan tangannya lalu pergi. Kanza sampai bergidik saat membayangkan dia melakukan hal tersebut.
Tanpa disangka adegan tersebut di lihat seorang pria yang kini menatap Kanza dengan tajam.
"Jadi, kau benar-benar bekerja di sini?" Kanza menoleh dan menemukan Adrian berdiri dengan mengepalkan kedua tangannya. Melihat bagaimana William mengampit dagu Kanza membuat Adrian merasakan marah.
Kanza menekan hatinya yang terasa sakit, bagaimana pun dia pernah mencintai Adrian dan berharap bisa menjadi istri pria itu, hingga malam kelam itu terjadi dan dia merelakan mimpi tersebut dengan lari dari pernikahannya. "Dan kau datang ke tempat seperti ini?" Kanza berkata dengan acuh dengan mendudukan dirinya kembali di kursi kasir.
"Aku seorang pebisnis. Aku harus tahu berbagai tempat." Penjelasan yang bisa di mengerti. Seorang pebisnis seperti Adrian tentu saja kerap mengadakan rapat di tempat seperti ini, atau bahkan pesta yang di adakan setelah mereka mencapai kesepakatan. Hanya saja untuk sekelas Adrian yang mempertahankan keperjakaannya, Kanza cukup salut karena pria itu tak tergoda dengan banyaknya wanita malam yang berkeliaran di tempat tersebut.
"Kalau begitu kau ingin memesan?" tanya Kanza. Jari- jarinya sudah siap di atas keyboard dimana dia akan mengetikan nama Adrian sebagai pemesan.
"Aku datang hanya untuk membuktikan apa yang di katakan Olivia benar atau tidak. Tapi, karena sudah terlanjur datang aku akan memesan."
Kanza menarik sudut bibirnya. "Ya, seharusnya kamu tidak perlu membuktikan, karena apa yang di katakan Olivia sudah pasti benar. Hanya saja aku yakin dia tidak mungkin mengatakan kalau dia sendiri yang bertemu denganku disini, kan?"
Adrian mengerutkan keningnya. "Jadi, anda ingin memesan nomer berapa, Tuan?" tanya Kanza setelah tak mendengar tanggapan dari Adrian. Tak ingin melakukan pembelaan apapun Kanza memilih fokus pada pekerjaannya.
Adrian menatap dengan penuh luka dan menyerahkan kartu keanggotaannya, hingga saat Kanza mengeceknya dia tahu Adrian memang sering datang.
"Kamu tidak merasa menyesal, Kanza?" tanya Adrian saat Kanza sedang menangani pesanannya.
"Tentang apa?" gadis itu masih acuh.
"Kamu meninggalkan aku hanya untuk pekerjaan seperti ini?"
Kanza mendongak. "Jika bukan aku, pasti kamu yang akan meninggalkan aku." Kanza menyerahkan kartu keanggotaan Adrian lagi. "Sudah selesai, silakan ruangan anda ada di ruangan 015," ucap Kanza dengan nada formal. Tidak lupa Kanza menundukan sedikit punggungnya.
Adrian mendengus. "Aku harap kamu akan menyesal seumur hidup karena menyakiti aku."
Kanza menatap kepergian Adrian. Setelah pria itu tak terlihat lagi barulah Kanza menekan tangannya di meja dengan erat. Tubuhnya yang sejak tadi dia paksa berdiri menjadi lemas. Bagaimana pun kenangannya bersama Adrian membuat Kanza merasa dia memang kejam karena meninggalkan Adrian di hari pernikahan mereka.
Meski tak sedikit juga rasa sakit yang Kanza terima dengan hubungan mereka, tapi tetap saja dia pernah mencintai Adrian.
Kanza baru saja menghela nafasnya lega saat seseorang kembali menghampirinya dengan suara beratnya yang tajam pria itu berkata. "Senang bisa melihat mantan calon suami, huh?"
Kanza tertegun dengan tatapan Daegan yang tajam. Mata pria itu seolah menampilkan kemarahan yang membara.
Kenapa pria itu menatapnya seperti itu?
berantem2 yg manis..🤭
semangat💪🏻
makin seru aja bikin penasaran kelanjutanya🥰