Berdalih Child Free, Aiden menutupi fakta dirinya yang mengalami hipogonadisme.
Namun pada malam itu, gairah seksualnya tiba-tiba memuncak ketika dirinya mencoba sebuah obat perangsang yang ia buat sendiri.
Aiden menarik Gryas, dokter yang tengah dekat dengannya.
"Tenang saja, kau tidak akan hamil. Karena aku tidak ingin punya anak. Jadi ku mohon bantu aku."
Namun yang namanya kuasa Tuhan tidak ada yang tahu. Gryas, ternyata hamil setelah melewatkan malam panas dengan Aiden beberapa kali. Ia pun pergi meninggalkan Aiden karena tahu kalau Aiden tak menginginkan anak.
4 tahun berlalu, Anak itu tumbuh menjadi bocah yang cerdas namun tengah sakit.
"Mom, apa Allo tida atan hidup lama."
"Tidak sayang, Arlo akan hidup panjang. Mommy akan berusaha mencari donor yang sesuai. Mommy janji."
Akankah Arlo selamat dari penyakitnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membawa Benih 10
"Terimakasih Dokter."
"Terimakasih Dokter, terimakasih untuk kerja keras Anda."
"Silakan beristirahat."
Operasi berjalan lancar. Total 8 jam Gryas ada di ruang operasi dan dia baru keluar setelah lewat tengah malam.
Tubuhnya yang terasa sangat pegal itu lebih dulu dia gerakkan. Ia melakukan peregangan untuk melemaskan otot kaki dan lehernya yang kaku karena berdiri selama itu.
"Gry?"
"Astaga, terkejut aku Lars. Ada apa malam-malam di sini, apa kamu sedang operasi juga?"
"Tidak, aku baru saja memastikan sesuatu. Tadi ketika di rumah aku mendapat kabar, bahwa ada pasien yang mengalami mati otak. Aku lari ke pusat informasi perihal donor. Ku pikir ini akan jadi kesempatan bagi Arlo, tapi ternyata tidak. Pasien mati otak itu mengalami kerusakan parah pada hatinya."
Aaaah
Gryas mengusap wajahnya kasar. Sebenarnya terkadang nuraninya terkoyak. Ketika ada pasien yang mengalami mati otak, Gryas memiliki sedikit rasa senang karena itu berarti putranya mendapat sebuah kesempatan. Akan tetapi di sisi lain dia merasa sepeti tidak memiliki hati. Bagaimana bisa dia bahagia diatas penderitaan orang lain.
Keluarga pasien pasti tengah menangis tersedu karena kehilangan salah seroang dari anggota keluarganya.
"Lars, aku biadab ya. Terkadang aku mengharap ada pasien mati otak. Padahal aku ini seroang dokter. Tapi kenapa aku berpikir demikian?"
Lars menghela nafasnya panjang. Ia paham dilema yang dirasakan oleh temannya itu. Pertentangan batin seperti itu jelas sekali dirasakan. Lars cukup mengerti.
Pluk!
Lars menepuk bahu Gryas pelan.
"Gry, itu adalah hal yang wajar bagi seroang ibu yang ingin mengusahakan kesembuhan bagi anaknya. Kita ini dokter juga bukan Tuhan. Kita juga memiliki sisi manusia, dimana ada rasa egois. Semua itu wajar. Ketika ada pasien mati otak, berarti itu juga bagian dari kehendak Tuhan, terlebih pasien itu memang mendaftarkan dirinya sebagai donor organ. Berarti dia siap untuk membuat dirinya bermanfaat bahkan sampai kematiannya."
Grays mengangguk, dia sebenarnya paham akan hal tersebut. Hanya saja terkadang dirinya merasa sangat buruk setiap kali memikirkannya.
"Untuk donor hidup bagaimana, Lars?"
"Hingga saat ini belum ada, Gry. Semoga Arlo bisa bertahan hingga waktunya donor ditemukan. Kamu harus kuat dan semangat oke?"
Terkadang Gryas merasa putus asa, tapi apa yang dikatakan Lars memang benar, dia harus semangat dan juga selalu yakin kalau donor itu akan datang. Dia harus bisa kuat untuk Arlo. Baginya Arlo adalah hidupnya, maka dari itu ia harus berjuang bagaimanapun caranya.
Bahkan, jika itu berarti dia harus mencari Aiden. Sudah beberapa hari ini Gryas kembali terpikirkan tentang hal itu, mencari Aiden. Tapi Gryas masih sangat ragu untuk mencari dan menemui pria tersebut.
"Kalau aku bertemu dengannya, apa yang harus ku katakan? Masa iya tiba-tiba aku bilang, tolong jadi donor anakku? Dia pasti akan langsung memelototi ku. Gry, bagaimana bisa dulu kamu jatuh cinta kepada pria gila itu?"
Gryas benar-benar bingung akan hal itu. Tapi yang lalu biarlah berlalu. Dia sungguh tak ingin lagi berhubungan dengan Aiden. Tapi jika keadaan memaksa, maka mau tidak mau pun mungkin dia harus menurunkan egonya demi putranya.
"Bagaimana kabar pria itu sekarang? Apa dia masih gila seperti dulu yang bekerja tanpa tahu waktu? Hidupnya adalah bekerja. Dia sangat tidak bisa dan tidak cocok menjadi seroang family man. Memang sudah sangat tepat prinsip yang dia punya itu. Chil Free, ya dia memang sangat tepat memilih itu."
Gryas melenggang pergi keluar dari gedung rumah sakit. Ia ingin cepat-cepat pulang untuk memeluk sang putra. Dan dia ingin suatu haru putranya menjadi pria yang lembut dan penyayang terhadap keluarganya. Jangan sampai memiliki sifat seperti ayah biologisnya.
Orang yang saat ini terlintas di pikiran Gryas itu, ternyata juga tengah memikirkan Gryas. Tiba-tiba dia merasa rindu dengan wanita yang dulu pernah dia rengkuh hati dan tubuhnya.
"Aku sepertinya suah gila sampai-sampai teringat oleh wanita itu."
Aiden menggelengkan kepalanya dengan kuat. Mencoba mengusir bayangan Gryas di kepala dan bahkan di pelupuk matanya.
Pria itu selalu mengingkari dan berdalih setiap teringat akan Gyas. Dia yakin seribu persen bahwa saat ia teringat kepada Gryas itu berarti dia sangat membenci wanita yang telah meninggalkannya tersebut.
"Tidak, aku tidak bisa begini. Aku harus segera kembali bekerja."
Aiden bangkit dari atas ranjang lalu menuju ke meja dimana dia meletakkan laptopnya. Satu hal yang ia lakukan adalah membuat lamaran pekerjaan di universitas sains terapan yang terkenal di Arnhem. Universitas itu adalah universitas paling cocok dengan bidangnya dari pada dua universitas lain.
Dengan kemapuan mumpuni dan juga pengalaman yang tidak sedikit, Aiden yakin bahwa dirinya akan dengan mudah diterima di tempat tersebut.
"Selesai, sekarang mari kita lanjut tidur. Sepertinya besok aku harus mencari kendaraan agar bisa leluasa untuk pergi kesana kemari. Apa membeli sepeda saja ya. Jarak dari rumah ke universitas kan tidak jauh. Haah, beli saja dua-duanya."
Aiden memang bukan berasal dari keluarga kaya raya. Tapi yang pasti dia berasal dari keluarga yang berpendidikan. Ayahnya dulu adalah seorang pengajar, pun dengan ibunya. Aiden pun tumbuh menjadi orang yang cerdas.
Kemampuannya di akui, dan tentu saja pundi-pundi uang secara otomatis terkumpul ke rekeningnya. Jadi jika diibaratkan, Aiden bisa hidup selama 10 tahun kedepan tanpa khawatir tentang uang meskipun dirinya tidak bekerja. Semua itu karena dia yang gila kerja. Mulai dari menjadi seroang peneliti hingga pengajar.
Tapi, gaya hidup Aiden tidak pernah hedon. Dia tidak suka menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak penting.
Sekarang ini, niat awal kembali ke Arnhem adalah untuk menjalani kehidupan yang santai. Akan tetapi ternyata dia tidak bisa sepeti itu. Kepalanya yang terkadang masih teringat akan Gryas, membuat Aiden merasa harus segera bekerja kembali.
Setiap dia sibuk di lab, itu akan membuat pikiran tentang hal lain akan lenyap.
"Semoga aku bisa bekerja dalam waktu dekat ini. Jika tidak, aku benar-benar akan gila karena teringat oleh wanita kurang ajar yang telah meninggalkanku itu. Sialan sekali dia, berani-beraninya membuatku seperti ini."
TBC
eh kok ada Brisia disini, Brisia apa Gryas kak? hehe
Arlo masih cadek jadi makin gemesin