Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”
“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”
“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”
“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”
“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”
“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Tawa riuh masih memenuhi ruang tengah rumah keluarga Gu. Aroma tajam dari minuman keras buatan sendiri menggantung di udara, menyatu dengan bau bubur hangat yang mulai mengering di sisi dapur. Di antara gelas-gelas logam dan kendi tanah liat yang kini setengah kosong, duduklah beberapa pria dengan wajah berseri-seri,termasuk ayah Ulan, kakek, dan Paman Kedua.
Gu Xiaobo yang baru berusia 13 tahun, serta Gu Xiaocheng si adik bungsu yang baru 9 tahun, duduk di sudut ruangan. Mereka diberi masing-masing setetes kecil minuman dalam gelas kecil yang bahkan hanya dibasahi bibir. Katanya supaya mereka belajar menjadi “laki-laki sejati.” Di sebelah mereka, Gu Yongliang si sepupu yang sebaya dengan Ulan, tertawa terbahak dan menikmati gelasnya dengan penuh gaya seperti orang dewasa betulan.
"Ayo, tambahkan lagi sedikit untuk yang muda. Biar tahu rasa!" seru kakek, disambut tepuk tangan kecil dan tawa para pria.
“Cukup! Cukup, kalian ini!” sergah nenek yang ikut tertawa, tapi sambil mengomel juga. “Jangan dihabiskan semua! Biarpun cuma lima sen seguci, itu tetap uang! Mengerti?!”
Namun omelannya pun disambut dengan tawa. Semua mengangguk, pura-pura patuh, lalu menenggak isi gelas mereka lagi. Nenek pada akhirnya tersenyum kecil juga, mungkin karena suasana langka seperti ini—keluarga besar tertawa tanpa perkelahian.
Di saat itulah pintu kamar terbuka perlahan. Dari balik tirai kumal yang menjadi pintu, muncul sosok ulan. Tubuhnya masih tampak lemah, wajahnya pucat, namun tersaput senyum tipis. Matanya memandangi keramaian itu, dan dia tersenyum lebih lebar, meskipun segera menyembunyikan senyum itu dengan ekspresi kekhawatiran.
“A-Aku dengar suara ramai…” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam kegembiraan yang mendominasi.
Semua orang menoleh, tapi hanya beberapa yang menyahut singkat atau melambai sekilas. Yang lain terlalu sibuk menikmati momen yang begitu jarang.
ulan berdiri di ambang pintu, memperhatikan satu per satu wajah mereka yang tertawa bahagia. di sini dia juga tersenyum seperti orang lain tapi tidak ada yang tahu bahwa senyum di wajahnya menyimpan niat yang jauh lebih kelam dari yang mereka bayangkan.
Ulan melangkah pelan ke tengah ruangan, menyapu pandangan ke arah gelas-gelas yang sudah hampir kosong, wajah-wajah merah karena tawa, dan botol minuman keras yang tinggal setengah.
Dengan suara pelan namun cukup jelas, ia berkata, “Paman Kedua… bukankah kau punya riwayat sakit jantung? Minum seperti ini… bisa berbahaya.”
Semua tawa perlahan mereda. Paman Kedua meletakkan gelasnya dan menatap Ulan dengan mata menyipit.
“Kakek…” lanjut Ulan, pura-pura gugup. “Usiamu sudah tua, kalau sampai jatuh karena ini…”
Dia berpaling pada adik-adiknya. “Xiaobo dan Xiaocheng masih kecil. Kalau sampai perut mereka melilit dan muntah-muntah, siapa yang akan bertanggung jawab?”
Dan ketika matanya tertuju pada Gu Yongliang, sepupunya yang baru saja menuang gelas lagi, Ulan berkata dengan pelan, “Kau tahu kan, Yongliang-ge, kalau kau minum terlalu banyak, kau jadi... sedikit aneh. Kau bahkan pernah buang air di pojok rumah waktu tahun lalu.”
Tawa lenyap.
Hening menebal seperti kabut pagi. Namun bukan karena semua orang setuju. Justru sebaliknya.
“Kau ini cerewet sekali!” teriak Xiaobo adik laki-lakinya sambil berdiri. “Siapa kau bisa mengatur semuanya?"
Dia adalah adik kecilnya yang juga sudah di cuci otak,bahwa gadis sama dengan sampah.Ulan merasa pahit di dalam hatinya lebih pahit daripada minum obat Cina. adik laki-laki ini dia besarkan sendiri sejak lahir. ibu terlalu sibuk di ladang dan beberapa pekerjaan sehingga tidak memiliki waktu. jadi secara tidak langsung Ulan lah yang ikut andil dalam membesarkannya.
Mulai membujuknya ketika menangis sampai mencuci popoknya. tapi sekarang lihat apa yang dilakukan adik laki-laki ini. mungkin dia tidak berkontribusi atas kemalasannya di kehidupan sebelum ini
Tapi adik laki-laki ini juga termasuk dalam kelompok orang-orang yang menertawakan kemalaman tanpa adanya untuk membantu.
“Benar!” sambung Xiaocheng dengan suara nyaring. “Ulan cuma bisa tidur dan berpura-pura sakit!”
Beberapa orang dewasa menggeleng, ada yang mendecak kesal. Ulan menunduk, tampak seperti ingin menangis. Tapi dia tidak berhenti.
“Aku cuma... ingin mencegah hal buruk terjadi,” ujarnya pelan, nyaris berbisik. “Kalian tahu kan, kalau... kalau Paman Kedua tiba-tiba jatuh dan...”
PLAK!
Suara tamparan menggema tajam. Nenek berdiri dengan wajah penuh amarah.Bahkan ayahnya sendiri bertepuk tangan melihat dia di tampar.
“Cukup kau! Dasar sial!” bentak nenek. “Kau hanya ingin merusak suasana! Anak perempuan tak berguna, bahkan mulutmu lebih busuk dari nasibmu sendiri!”
Ulan terdorong ke belakang, hampir terjatuh. Dia menutup pipinya yang merah, air matanya mulai mengalir. Tapi itu pun masih tampak dibuat buat,seolah dia ingin menunjukkan bahwa dia tersakiti, bahwa dia tak berdaya.
Di luar rumah, beberapa tetangga yang tinggal di samping mulai memperlambat gerakan mereka. Mereka menajamkan telinga, berpura-pura menyapu atau melakukan sesuatu, tapi semua mata sesekali melirik ke arah jendela rumah keluarga Gu.
Ulan masih berdiri di sana.
Bibirnya gemetar, mata berkaca-kaca, dan pipinya yang memerah seolah menjadi bukti dia hanyalah korban. Tapi dalam dadanya, dia tertawa .Semakin banyak yang melihat, semakin dalam luka yang mereka buat, semakin besar pula pembalasan yang akan datang.
Benar saja, tak seorang pun peduli dengan nasihat Ulan. Justru saat ia mengingatkan lagi tentang bahayanya minuman beralkohol,bahwa seseorang bisa mati jika salah mengonsumsinya,ruangan justru meledak dengan tawa yang lebih keras, seolah kata-katanya hanyalah lelucon dari seorang anak yang bodoh.
“Semua orang di desa minum seperti ini!” bentak nenek sambil membanting sendok kayu ke atas meja. “Apa kau sedang mengutuk kami, hah?! Menyebut kematian di tengah perayaan! Anak sial!”
PLAK!
Untuk kedua kalinya, telapak tangan tua itu mendarat keras di pipi Ulan. Ulan terhuyung, tapi tak membalas. Dia hanya menggigit bibirnya, menunduk dalam-dalam, dan membiarkan air mata jatuh perlahan. Tapi itu hanyalah topeng. Ia menangis bukan karena sakit,melainkan karena kegembiraan yang ia sembunyikan dalam dada.
Anak-anak, yang mabuk dengan beberapa tetes tambahan, justru bersorak lebih keras. Mereka bahkan ikut mengutuki kakak mereka.
“Si Ulan memang pembawa sial! Pantas tak ada yang mau menikahinya!” seru Xiaobo lantang, disambut tawa keras dari Gu Yongliang dan bahkan beberapa orang dewasa.
“Kalau tak suka lihat kami minum, kenapa tidak mati saja sekalian di kamar?!” teriak Xiaocheng, suaranya melengking, wajahnya mulai merah karena alkohol.
Ulan masih berdiri di sana, tubuhnya gemetar seperti daun, namun matanya bersinar dingin. Itu masih adik laki-lakinya yang bicara dengan penuh nada hinaan dan tuduhan.
"Aku hanya tak ingin mendengar kabar kematian di pagi hari," katanya pelan, menusuk,
Ulan mengulang kata-kata itu dan menambahkannya di dalam hati "…karena mungkin yang mati tidak sempat mengatakan kata terakhir."
Tunggu saja.
Tawa di ruangan mulai melambat. Suasana seolah mendingin sejenak sebelum tiba-tiba Paman Kedua merengut. Wajahnya mulai memucat, dahinya mengerut seperti menahan tekanan berat. Tangannya memegang sisi kepala, lalu pundaknya mulai bergetar.
“Ughh... pusing… kepalaku…Dadaku..ukhhh”
Nenek berdiri panik. “Anak kedua...ah Cepat! Pilnya! Ambilkan pilnya di laci merah kamarnya!”
Gu Yueqing, yang baru kembali dari dapur, segera berlari kecil untuk mengambil pil itu. Tak lama kemudian pil itu sampai ke tangan Paman Kedua. Tapi alih-alih menelannya dengan air seperti biasanya, ia meraih mangkuk minumannya,yang masih berisi sisa arak yang keruh dan langsung menenggaknya bersamaan.
Beberapa wajah tampak khawatir, tapi tak cukup cerdas untuk benar-benar mengerti apa yang bisa terjadi jika pil tekanan darah tinggi ditelan dengan alkohol.Apalagi ini adalah minuman oplosan.
“Untung masih hidup…” gumam Nenek sambil mengusap dada, seolah dirinya sendiri yang hampir pingsan.
Paman Kedua menunduk, bernafas cepat tapi tampak mulai tenang.
Dan di pojok ruangan, di balik tatapan yang berpura-pura terkejut dan cemas, Ulan menunduk lebih dalam,dia bertepuk tangan dalam hati.
Pelan-pelan saja... satu per satu... seperti yang dulu kalian lakukan padaku.
Namun sayangnya bagi Ulan, Paman Kedua tidak kolaps seperti yang ia harapkan. Setelah menenggak pil bersamaan dengan alkohol, pria itu memang sempat terdiam sejenak, tapi perlahan wajahnya kembali berwarna, dan napasnya mulai stabil. Dia bahkan sempat tertawa pelan sambil menyeka keringat dari pelipisnya, seolah kejadian barusan hanyalah angin lalu.
Melihat itu, Nenek pun ikut tertawa keras, seolah merasa telah memenangkan sesuatu.
“Hahaha! Lihat itu, dia baik-baik saja! Kau itu bodoh, Ulan! Sudah menyebalkan, tukang nangis, sekarang jadi tukang ramal pula!”
Ibu Ulan yang sejak tadi duduk sambil melipat tangan ikut menimpali dengan sinis.
“Hidup bersama orang seperti kau itu hanya bikin sial. Sudah, sana masuk kamar! Tak ada yang ingin dengar omong kosongmu yang busuk itu!”
Ulan diam. Matanya menatap ke lantai, ekspresi tak berubah. Dia tak menjawab, juga tak bergerak.
Gu Yueqing, sepupunya yang tadi sempat ketakutan saat disuruh memasak, kini berdiri sedikit di belakang Nenek dan menyeringai.
“Kalau tidak tahu apa-apa, lebih baik diam saja. Orang bodoh sepertimu itu cuma mempermalukan keluarga sendiri.”
Sekali lagi, semua suara menghantam Ulan seperti batu yang dilemparkan bertubi-tubi. Namun gadis itu tidak menangis kali ini. Tidak juga gemetar. Dia hanya berdiri seperti patung yang tidak ingin bicara, tak ingin membalas.
Karena dalam hati, dia tahu…
Semakin mereka merasa menang… semakin besar jatuhnya nanti.
Bibirnya bergerak kecil, seperti menggumam doa. Tapi itu bukan doa untuk keselamatan. Itu adalah hitungan waktu dalam pikirannya sebuah rencana yang perlahan dia rajut sejak pertama kali membuka mata kembali di kehidupan ini.
Dan sekarang, dia hanya perlu menunggu.
Waktunya akan datang. Satu per satu akan membayar,dengan cara yang bahkan lebih kejam daripada sekadar kematian.
Orang desa sangat mudah di puaskan.
suasana ruang tengah kembali penuh dengan tawa, gelak bercampur uap alkohol yang mengambang di udara. Suara denting mangkuk, senda gurau anak-anak, dan canda orang dewasa memenuhi rumah itu.
Bahkan Paman kedua yang tadi kesakitan sekarang tersenyum lagi dan kembali menenggak minuman keras oplosan ini dengan wajah bahagia.
Namun seketika, semuanya berubah.
Paman Kedua baru saja menenggak mangkuk keduanya dengan ekspresi puas ketika wajahnya tiba-tiba menegang. Tangannya menggenggam dada, matanya membelalak seperti sedang menahan sesuatu yang menyesakkan.
"A-Aku... jantungku...!"
Suara raungannya membuat semua orang terdiam. Mangkuk-mangkuk bergetar di atas meja saat tubuh besar Paman Kedua mendadak terhuyung ke belakang. Sekejap kemudian, dari bibirnya menyembur darah,pekat dan merah tua,darah mengenai lantai kayu dan mengotori jubah lusuh yang dikenakannya.
Pufft...
“AYAH!!” teriak Yueqing sambil melompat dari tempat duduknya.
Ibu Yueqing istri Paman Kedua,histeris, melolong sambil menubruk suaminya yang kini meringkuk di lantai, tubuhnya menggigil hebat. Tangan dan kakinya kaku, tetapi matanya masih terbuka lebar penuh rasa sakit.
“Darah... darah...!” Nenek mundur beberapa langkah dengan wajah pucat pasi. Tangannya bergetar, bibirnya tak mampu membentuk kata-kata.
Ayah Ulan berdiri membeku di tempatnya, bahkan lupa menarik napas. Gu Xiaobo dan Gu Xiaocheng, dua adik laki-laki Ulan, hanya bisa terpaku,wajah mereka yang sebelumnya riang kini dipenuhi ketakutan.
Ahhhhkkk
Para tetangga yang sejak tadi menajamkan telinga di balik tembok akhirnya tidak bisa menahan diri. Pintu pagar terbuka dengan kasar, beberapa orang masuk, dan terdiam menyaksikan pemandangan mengerikan: lantai yang berceceran darah, tubuh besar yang tergeletak di tengah, dan seluruh keluarga yang kacau balau.
“Astaga... ada apa ini?!”
“Dia muntah darah?!” suara-suara tak percaya memenuhi ruangan.
Panggil... panggil dokter desa!!” teriak seseorang.
Oh dokter..
Tanpa perlu disuruh dua kali, Gu Yongliang, anak laki-laki Paman Kedua yang juga masih dalam pengaruh alkohol, bangkit dengan sempoyongan. Langkahnya kacau, lututnya lemas, tapi dia memaksa dirinya berlari ke luar. Di depan pagar rumah, dia sempat tersandung dan jatuh menubruk tanah, tapi segera bangkit dengan darah yang mengalir dari lututnya, tetap berlari ke arah rumah dokter desa.
Sementara itu, di tengah hiruk pikuk itu, ulan berdiri tak jauh dari ambang pintu kamarnya. Cahaya dari dalam menyoroti wajahnya yang pucat,atau lebih tepatnya, yang sengaja dipucatkan. Dia menggigit bibirnya seperti hendak menangis lagi, tapi kali ini tidak ada air mata.
Namun di balik matanya yang menunduk, seulas senyum samar menghiasi sudut bibirnya.
Aku sudah memberitahumu, tapi kau semua menertawakanku…
Pembalasan segera di mulai.