Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Noda dalam Hidup
Jika enam bulan yang lalu, Revan akan curiga jika ada seorang wanita menangis di hadapannya. Mungkin itu siasat musuh, semacam pengalih perhatian untuk melemahkan pertahanan mentalnya. Atau mungkin hanya sandiwara tangisan yang sengaja dipertontonkan agar ia lengah. Bahkan tidak jarang ia berpikir itu cara klasik untuk menggoda atau merayunya. Namun hari ini, wanita cantik di hadapannya bukan orang asing. Mereka memiliki hubungan, dan air mata itu tampaknya muncul karena perkataannya.
Tanpa sadar, hati Revan digerogoti rasa bersalah. Meskipun menurutnya ia tidak berkata sesuatu yang salah, namun bagi seorang gadis yang telah menjaga keperawanannya selama lebih dari dua dekade, kata-kata tadi mungkin terasa terlalu kejam.
“Baiklah, jangan menangis. Aku minta maaf ya?” Revan merasa gelisah dan merogoh saku kemejanya, tetapi sakunya itu kosong. Barulah ia ingat kalau belakangan ini sedang mencoba berhenti merokok dan tidak lagi membawa rokok kemana-mana.
Wajah cantik Nayla yang basah oleh air mata, bisa menarik simpati tiada terbatas. Namun di balik kelembutan itu, ia juga seorang wanita yang keras kepala. Setelah menitikkan dua baris air mata, ia mengeluarkan selembar tisu dan menyeka air matanya. Ia menatap Revan dengan mata memerah berkata, "Aku tanya sekali lagi, apa kamu mau menikahiku?"
Revan menjawab dengan nada serius, “Nona Nayla, di zaman seperti sekarang ini mengapa masih ada wanita cantik yang memaksa pria untuk menikahinya? Bukankah aku sudah menjelaskan sejak awal, aku tidak ingin terlibat dalam permainan membosankan seperti ini selama tiga tahun.” Ia menghela napas dan berdiri, berniat untuk meninggalkan tempat itu.
Nayla tidak berkata apa-apa lagi, hanya ada sedikit penderitaan di matanya. Perlahan ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju balkon lantai dua kedai kopi tersebut.
Balkon itu cukup luas, dikelilingi pagar besi rendah dengan beberapa meja dan kursi di bawah payung besar peneduh matahari. Pot-pot bonsai menghiasi sisi balkon, memberi kesan tenang dan segar.
Revan menyadari arah langkah Nayla dan pupil matanya menyempit. Ia menarik napas dingin dan berkata, “Nona Nayla, jangan bilang kalau hanya karena aku menolak menikahimu, kau ingin melompat dari sana kan?”
Namun Nayla terus berjalan tanpa menoleh, seakan tidak mendengar sepatah kata pun. Ia sampai di tepi balkon, menarik sebuah kursi, lalu dengan ringan menaikinya dan mendekat ke pagar pembatas.
Kali ini, Revan benar-benar khawatir. ’Mustahil gadis itu memiliki keberanian senekat itu kan? Ia pasti menyadari bahwa jika melompat dari balkon dan menghantam permukaan batu yang keras, meski tidak mati tubuhnya bisa mengalami cacat permanen.’
Namun, tindakan Nayla berikutnya segera menyadarkan Revan betapa mengerikan tekad gadis itu.
Dengan wajah tanpa ekspresi, Nayla menoleh ke belakang untuk melihat Revan. Tatapan matanya mengandung tekad, kebencian, rasa sakit, dan kesedihan yang dalam. Seolah-olah seluruh jiwanya sedang menjerit dari dalam tubuh yang begitu indah itu, berusaha melepaskan diri dari penderitaan yang membelenggunya.
Kedua pasang mata itu bertemu, Revan merasakan jantungnya berdenyut kencang. Ia sangat mengenal tatapan seperti ini, tatapan yang terlalu mirip dengan kenangan lama tertanam jauh di lubuk pikirannya yang tidak pernah berhasil dilupakan. Enam bulan lalu, kenangan itulah yang membawanya keluar dari jerat berdarah yang mengekangnya lebih dari sepuluh tahun, dan membuatnya kembali ke tanah kelahirannya.
Tapi hari ini dari sorot mata Nayla, Revan kembali dihadapkan pada semua kenangan yang telah berusaha ia kubur namun tak pernah benar-benar hilang. Saat ini, Revan merasa dirinya tersesat.
Nayla memandangi Revan yang berdiri terpaku dan tidak ingin menunjukkan luka di hatinya. Bahkan jika ia benar-benar melompat, pria itu mungkin tetap tidak akan peduli. Memikirkan kembali rasa sakit akibat kehilangan keperawanannya pada pria itu, ditambah tekanan hidup, konflik pribadi, beban pekerjaan, dan di rumahnya, Nayla merasa jiwanya benar-benar di ambang kehancuran.
’Untuk apa aku terus hidup, jika semuanya hanya menyakitkan? Mungkin, kematian adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri segalanya.’
Tepat pada saat itu, pelayan muda yang hendak mengantar pesanan kopi naik ke lantai dua. Begitu sampai di tangga, hal pertama yang ia lihat adalah pemandangan Nayla yang hendak melompat.
“Nona, Nona! Apa yang kamu lakukan? Itu berbahaya!” serunya panik.
Namun sebelum suaranya selesai menggema, seberkas bayangan bergerak cepat melintas di hadapannya. Gerakannya begitu cepat, seolah waktu berhenti sedetik.
Pada saat Nayla menahan air matanya dan hendak melompat dari balkon, sepasang tangan yang kuat namun tegas tiba-tiba memeluk pinggang rampingnya, menghentikan gerakan melompatnya.
Semua terjadi begitu cepat, pelayan itu tidak bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Yang ia lihat hanya dua sosok, seorang pria dengan pakaian sederhana dan wanita cantik berdiri diam dalam pelukan. Keduanya diam tak bergerak di balkon untuk waktu yang lama.
Sinar matahari menembus sela dedaunan, menyinari bonsai di sekitar mereka dan tubuh keduanya yang terdiam. Dalam ketenangan itu, ada suasana yang membuat seseorang merasa harmonis dan memiliki fantasi yang samar.
Pada saat yang sama, pelayan muda yang menyaksikan peristiwa itu menghela napas lega. Dalam hati ia tak bisa menahan rasa iri terhadap pria itu, betapa beruntungnya dia bisa sedekat itu dengan wanita secantik Nona Nayla. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia meletakkan kopi yang dibawanya lalu perlahan mundur dan menuruni tangga, membiarkan suasana pribadi itu tetap terjaga.
Sementara itu, Nayla merasakan dirinya seakan berpindah dari jurang kegelapan ke tempat yang terang hanya dalam sekejap. Ia tak tahu bagaimana Revan bisa bergerak secepat itu dan muncul tepat di belakangnya. Ia juga tidak ingin memikirkan hal semacam itu, yang dirasakan hanyalah sepasang lengan yang kuat dan hangat memeluk pinggangnya begitu erat. Hingga membuatnya sedikit kesakitan, sementara napas pria itu berembus perlahan di bahunya yang sensitif.
“Lepaskan aku,” ucap Nayla dengan suara tertahan namun tetap tegas. “Meskipun kau menghentikanku sekarang, cepat atau lambat aku akan tetap memilih kematian.” Wajahnya memerah, tapi ia tetap berbicara dengan keras kepala.
Revan menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan dirinya. Hidungnya secara tidak sengaja menangkap aroma samar dari tubuh Nayla, harum melati yang lembut dan alami. Sebagai seseorang yang telah terbiasa mencium berbagai parfum mahal, Revan merasa aroma tubuh perempuan ini mengalahkan segalanya.
“Nayla, aku kalah. Aku akan menikahimu.”
Tubuh Nayla seketika tersentak, lalu terdiam tidak tahu harus bereaksi seperti apa. ’Aku menang?’ pikirnya. ’Tapi kenapa aku tidak merasakan kebahagiaan sama sekali? Ya benar, ini hanyalah pria yang akan digunakan sebagai tameng. Ia bahkan telah mengambil keperawananku saat pikiranku tidak jernih. Aku membencinya, bagaimana mungkin aku bisa mencintainya? Jika aku tidak mencintainya, mengapa aku harus merasa bahagia atas keputusan untuk menikah dengannya?’
Pada saat yang sama, dari bawah balkon beberapa orang yang sedang berada di alun-alun memperhatikan mereka. Sebagian bahkan menunjuk dengan penasaran, menebak-nebak apa yang sedang terjadi.
"Sayang, kira-kira mereka sedang apa ya?" tanya seorang gadis muda sambil menyandarkan kepalanya di bahu pria di sebelahnya.
“Kelihatannya mereka sedang meniru adegan Titanic, romantis sekali ya?” jawab pria itu dengan senyum kecil.
Mendengar gumaman dan melihat arah pandang orang-orang di bawah, Nayla baru menyadari betapa mencolok posisi mereka berdua. Pelukan erat Revan di balkon, dengan dirinya berdiri di atas kursi semuanya terlihat sangat mencurigakan, bahkan mungkin memalukan. Dengan wajah memerah karena malu, ia buru-buru turun dari kursi, melepaskan diri dari pelukan Revan, dan berjalan cepat kembali ke dalam kedai kopi.
Keduanya lalu duduk kembali di tempat semula dan masalah itu sudah ada kesimpulan. Meskipun keputusan besar telah diucapkan, suasana di antara mereka tetap diam dan canggung. Tidak ada percakapan, yang ada hanya sibuk dengan kopi masing-masing.
***
Setelah sekian lama tenggelam dalam keheningan, Nayla akhirnya meletakkan cangkir kopinya. Ia membuka tas tangan kecil bermerek LV miliknya, lalu mengeluarkan dua lembar kertas beserta sebuah pena elegan. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan salah satu lembaran itu kepada Revan.
"Apa ini?" tanya Revan, tersadar dari lamunannya, matanya menyipit penuh kebingungan.
“Kontrak,” jawab Nayla singkat. “Perjanjian pernikahan.” Ia sekali lagi memalingkan wajah menolak untuk menatap Revan, kembali ke wajah dinginnya yang awal.
Revan tersenyum, tanpa membaca isi dokumen tersebut langsung mengambil pena dan menandatangani kolom yang disediakan.
“Kau bahkan tidak membacanya terlebih dahulu?” Nayla mengerutkan kening, heran dengan sikap santainya.
Revan menggeleng perlahan, masih tersenyum. “Tanpa melihat pun aku sudah tahu, pasti berisi hal-hal seperti aku tidak boleh masuk ke kamarmu, tidak boleh memaksamu, kesepakatan bersama untuk tidak mencampuri kehidupan pribadi masing-masing, ketika di luar harus berperilaku baik, dengan imbalan tiga tahun kemudian. Benar?"
Nayla menggigit bibirnya, dengan suara pelan bergumam, “Kurang lebih seperti itu. Karena kamu sudah menandatangani, kamu harus mematuhinya di masa depan.”
“Hehe... Nona Nayla, bagaimana jika kamu berinisiatif meminta sendiri? Apa yang harus aku lakukan?" Revan bertanya dengan nada genit.
“Kamu…!” Nayla sangat marah sampai seluruh wajahnya memerah, “Hmm! Itu tidak akan terjadi! Noda dalam hidup seperti itu, sekali saja sudah cukup.”
’Noda dalam hidup?’ batin Revan sambil menahan senyum. Hal yang dilakukan separuh orang di seluruh dunia setiap hari adalah noda dalam hidup bagi gadis ini. Tapi ia memilih untuk tidak menanggapi, lalu menghabiskan sisa kopinya, dan menepuk-nepuk celananya sebelum berdiri.
“Kalau begitu, aku permisi dulu. Malam ini aku ada undangan makan malam di rumah teman. Untuk urusan pendaftaran pernikahan, kita tunda besok saja ya.”
“Tunggu, bagaimana aku bisa menghubungimu? berapa nomor ponselmu?” Nayla berkata dengan ketidakpuasan.
Revan menggaruk kepala, lalu menjawab dengan jujur, “Bukankah kamu sudah menyelidiki latar belakangku? Aku tidak punya ponsel. Kalau pun beli, aku masih harus mikir biaya pulsa. Jadi, besok kalau perlu temui aku langsung saja ke rumah. Teriak dari depan rumah, aku pasti keluar.” Sambil berkata demikian, ia kembali berbalik dan melangkah pergi.
“Hei!”
Revan menoleh. “Ada lagi?”
Wajah Nayla memerah lagi. Ia tampak ragu, lalu memberanikan diri berkata dengan suara sangat pelan, “Kamu… tidak boleh memanggilku seperti itu lagi.” Nayla sendiri merasa panggilan itu terlalu memalukan untuk diucapkan, terlalu norak!
Revan langsung mengerti, dan mengikuti dengan wajah serius seraya berkata, "Siap, Nona.”
Nayla seketika merasa langit berputar dan bumi bergoncang, ’bagaimana aku akan menghadapi bajingan ini di masa depan?!’