"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Kebenaran yang Tersingkap
Langit sore itu seolah mendung tak hanya di atas langit Barru, tetapi juga di dada Aisyah dan Khaerul. Mereka kembali ke rumah peninggalan Mahfudz, membawa serta semua jejak kebenaran yang hampir lengkap. Foto, surat, jurnal tua, dan nama-nama yang sebelumnya hanya bayangan kini berdiri nyata di hadapan mereka.
Aisyah duduk di ruang tamu, di depan tumpukan dokumen yang telah mereka temukan. Tangan dan hatinya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena sadar bahwa semua ini akan mengubah segala hal. Tentang dirinya. Tentang keluarganya. Dan tentang lelaki di sampingnya yang diam-diam menjadi penyangga setiap detik pencarian ini.
“Waktu kita tidak banyak,” kata Khaerul. “Pak Wahid pasti akan bergerak lebih cepat setelah pertemuan di makam kemarin.”
Aisyah mengangguk. “Kita harus kumpulkan semuanya. Tapi ada satu yang belum kita baca...”
Ia mengambil buku catatan yang disembunyikan dalam dinding palsu kamar ibunya. Buku yang selama ini tidak pernah ia sadari keberadaannya, namun ditemukan oleh tak sengaja ketika mengganti bingkai foto tua.
Halaman pertama hanya berisi satu kalimat: 'Jika kau membaca ini, maka waktumu telah tiba.' Tulisan tangan Nuraini, ibunya.
Lembar demi lembar dibuka. Kisah yang tercatat di dalamnya bukan hanya pengakuan, tetapi juga pengungkapan seluruh misteri.
Nuraini bukan sekadar ditolak oleh Mahfudz karena menolak dijodohkan. Ia juga mengetahui rahasia besar: bahwa kematian sahabat Mahfudz bukan kecelakaan. Ia dibunuh.
Dan lebih mengejutkan, pelakunya adalah orang yang selama ini hidup dalam bayang-bayang keluarga mereka—Wahid bin Mahfudz.
Ya. Pak Wahid.
Anak Mahfudz yang lahir dari pernikahan keduanya dengan perempuan yang tidak pernah diakui oleh keluarga besar. Sejak kecil, Wahid tumbuh dengan kebencian tersembunyi. Ia tahu bahwa ia bukan pewaris utama, meski menyandang nama Mahfudz. Ia tahu bahwa ayahnya lebih mencintai Nuraini dan Halimah, dua anak yang tidak lahir dari rahim yang sama, tetapi dari kasih yang tulus.
Dendam Wahid membakar segalanya. Ia membuat skenario kematian sahabat Mahfudz, ayah kandung Halimah, lalu memaksa Mahfudz mengadopsi Halimah agar terlihat seperti kehendak keluarga.
Ia menekan Mahfudz untuk menghapus nama Nuraini dari silsilah, dengan ancaman akan membuka semua rahasia keluarga. Ia mengatur segalanya dari balik bayang-bayang, termasuk pengawasan terhadap Aisyah.
Aisyah menangis. “Jadi selama ini... hidup kami digerakkan oleh kebohongan.”
Khaerul mengepalkan tangannya. “Dan orang yang mengawasi kita... yang menyewa orang-orang itu, semuanya perintah dari Wahid.”
Hari itu juga mereka memutuskan melaporkan semua bukti ke pihak berwenang. Namun di tengah perjalanan ke kantor polisi, mobil mereka dihentikan. Dua mobil hitam menghadang dari dua arah.
Khaerul segera memutar balik, menuju jalan kecil yang hanya ia kenal. “Pegang semua dokumen itu! Jangan lepaskan apa pun!”
Aisyah memeluk map berisi surat dan catatan. Ia menutup mata, membaca ayat Kursi dalam hati.
Tiba-tiba, mobil mereka berhenti. Seorang pria tua berdiri di tengah jalan, dengan tongkat kayu dan sorban putih.
“Jangan takut,” katanya. “Aku kawan lama Mahfudz.”
Pria itu membawa mereka ke sebuah surau kecil. Di sana, sudah ada dua orang wartawan dan satu pengacara yang sudah lebih dahulu dihubungi Khaerul beberapa hari sebelumnya. Mereka menyerahkan semua dokumen ke tangan orang-orang yang bisa dipercaya.
Malam itu, berita besar meledak. Rahasia keluarga Mahfudz terbuka di media. Nama Pak Wahid mencuat sebagai otak manipulasi dan penghilangan data pewarisan, bahkan pembunuhan.
Tiga hari kemudian, polisi menangkap Wahid. Ia tak melawan, tetapi tatapannya penuh dendam.
“Semua karena kau, Aisyah,” katanya saat digiring masuk mobil tahanan. “Andai kau tak mengusik masa lalu, semua ini takkan terbongkar.”
Aisyah menatapnya tenang. “Justru karena masa lalu belum selesai, kami jadi terus dihantui. Sekarang, waktunya menyelesaikan.”
Dengan tertangkapnya Wahid, warisan keluarga kembali pada jalur yang benar. Nama Nuraini dikembalikan ke silsilah resmi, dan Halimah pun diakui dengan hormat.
Aisyah memutuskan membangun kembali rumah peninggalan Mahfudz, menjadikannya rumah tahfidz dan pusat belajar Al-Qur’an, sesuai cita-cita ibunya.
Di halaman belakang rumah itu, di bawah pohon tua, Khaerul melamar Aisyah.
“Bukan karena kita sepupu, bukan karena kita sejalan dalam takdir. Tapi karena aku percaya, engkau adalah takdir terbaik yang Allah pilihkan untukku.”
Aisyah tersenyum. “Dan aku memilihmu, bukan karena darah, tapi karena iman yang mengikat kita.”
Hening. Tapi kali ini hening yang penuh harapan.
Langit Barru kembali cerah. Misteri telah tersingkap. Luka telah dibuka dan dibersihkan. Kini, saatnya menyulam masa depan.