Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)
Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.
Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.
Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Mereka duduk dalam diam cukup lama, saat makanan pun datang mereka malah diam saja menatap terhidangkan di depan tetapi akhirnya Sekar membuka suara, pelan, seolah takut suaranya sendiri mengisi kekosongan di ruangan itu.
“Dulu sekali waktu remaja, aku tinggal di rumah singgah,” Sekar mulai membuka pembicaraannya.
Hanif menoleh pelan. “Rumah singgah? Maksudnya itu rumah sementara yang biasa pasien rumah sakit tinggali?”
Sekar mengangguk, tidak menoleh. “Aku kabur dari rumah, makanya bisa sampai tinggal di sana. Banyak orang kira aku anak pembangkang, dan juga keras kepala. Tapi nggak ada yang tahu bahwa waktu itu aku cuma pengen selamat.”
Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Ayahku orangnya sangat keras. Tetapi Ibuku diam. Terlalu diam sampai aku juga lupa suaranya kayak apa. Setiap hari rasanya seperti berjalan di atas pecahan kaca. Salah saja aku melangkah, mungkin akan mengakibatkan luka.”
Hanif menelan ludah, tenggorokannya tercekat karena di pikirannya, Sekar saat muda pasti anak yang penurut dan dikelilingi oleh orang yang sangat menyayanginya. Tetapi kenyataannya itu malah kebalikannya. Ia berusaha hanya mendengarkan apa yang dikatakan oleh Sekar, tidak ada niatan untuk memotong pembicaraan itu.
“Aku kabur waktu umur lima belas tahun. Aku nggak tahu mau ke mana, yang ada di pikiranku saat itu cuma ingin pergi jauh dari sana. Saat itu juga aku tidur tidak menetap, seperti kadang di mushala, di halte bis. Tetapi ada saat aku sedang tiduran siang dengan baju yang sudah aku pakai beberapa hari, ada seorang relawan yang membawa aku ke rumah singgah. Makanya aku bisa tinggal di sana.”
Sekar tertawa lirih, bukan karena lucu. Lebih seperti napas yang lelah. “Lucu, ya, jadi aku pada saat itu. Tempat yang mestinya jadi rumah malah bikin aku lari untuk menjauh dari sana, dan tempat baru yang penuh orang asing justru jadi tempat aku bisa tidur tenang.”
Hanif bergeser sedikit, lebih dekat. “Kamu luar biasa, Sekar. Kamu bisa bertahan dengan keadaan yang seperti itu. Dan sekarang kamu masih bisa berada di sini.”
“Aku nggak merasa luar biasa sama sekali, Hanif,” Sekar menjawab lirih. “Aku cuma menjalankan itu karena tidak ada pilihan lain lagi.”
Hanif menggeleng pelan. “Justru karena itu kamu luar biasa. Kamu bisa terus berdiri, meski dunia harus membuat kamu jatuh.”
Hening kembali mengisi . Tidak ada suara yang terpancar dari kedua orang itu. Tapi hening ini sangat berbeda. Bukan canggung yang membuat ini terjadi, apalagi kaku dengan pembahasan tadi, melainkan hening yang penuh pengertian.
“Dan mulai sekarang,” kata Sekar, suaranya nyaris seperti bisikan, “aku mulai belajar kalau mungkin tak semua orang datang itu hanya untuk menyakiti. Mungkin ada orang yang beneran mau tinggal.”
Hanif mengangguk, sorot matanya lembut. “Kalau kamu siap untuk melakukan itu, aku mau jadi salah satu dari orang itu. Aku nggak janji nggak akan bikin salah saat aku berada di sisi kamu. Tapi aku cuma bisa janji untuk belajar untuk tetap ada dan selalu berada di pihak ataupun di sisi kamu.”
****
Sejak malam itu, sikap Hanif perlahan berubah. Ia tidak lagi hanya menjadi teman kerja yang menyenangkan yang bisa diajak berdiskusi tanpa tekanan atau bercanda ringan saat suasana terlalu tegang, melainkan menjadi dinding tenang yang kokoh, yang melindungi Sekar dari segala suara sumbang yang mencoba menembus pertahanannya.
Ia tidak membela Sekar dengan kata-kata besar, tidak dengan kalimat-kalimat heroik, apalagi amarah meledak-ledak. Hanif hanya akan diam, memandangi orang-orang itu dengan tatapan tajam dan dingin, cukup tegas untuk membuat siapa pun merasa tidak nyaman melanjutkan omongannya. Beberapa bahkan memilih pergi tanpa menyelesaikan kalimatnya. Sikap itu bukan karena Hanif merasa Sekar lemah, tapi karena ia tahu Sekar sudah terlalu sering harus kuat sendirian. Kini, ia ingin menjadi penopang yang membuat Sekar tak harus selalu berjuang sendiri.
Di ruang rapat, Hanif mulai berdiri lebih dekat padanya. Tidak mencolok, hanya cukup untuk membuat Sekar tahu bahwa ia tidak sendiri. Saat makan siang, ia mulai mengajak Sekar—kadang dengan ajakan langsung, kadang hanya berdiri sambil mengangkat alis seolah berkata, ayo. Sekar sering menjawab dengan “terserah” atau “aku belum lapar,” tapi Hanif tetap sabar. Ia tahu, yang penting bukan jawaban Sekar, tapi keberlanjutan usahanya.
Ada hal-hal kecil yang dilakukan Hanif yang tidak pernah Sekar minta, tapi perlahan jadi hal yang ia tunggu-tunggu. Seperti ketika kepalanya pusing karena shift malam yang melelahkan, dan ia menemukan obat sakit kepala dengan catatan kecil bertuliskan “jangan lupa makan, ya.” Atau saat ia kelelahan dan mendapati Hanif sudah diam-diam menukar giliran tugasnya. Bahkan hanya post-it kecil bergambar emoticon senyum dengan tulisan “semangat ya” pun cukup untuk membuat Sekar menoleh ke arah meja Hanif dan diam-diam tersenyum.
Awalnya, Sekar mengira itu hanya rasa iba. Mungkin Hanif hanya merasa kasihan. Tapi seiring waktu, Hanif tak hanya hadir saat Sekar butuh, tapi juga saat Sekar ingin menyendiri—dan diam-diam, menemaninya dari kejauhan. Ia tidak pernah memaksa Sekar untuk membuka diri. Tidak pernah menanyakan hal-hal yang membuat Sekar tidak nyaman. Hanif tahu, beberapa luka terlalu dalam untuk diceritakan, apalagi kepada orang yang baru saja hadir dalam hidup seseorang.
Tapi Hanif bukan orang asing. Ia hadir tanpa Sekar sadari, masuk ke dalam hari-harinya tanpa ketukan. Seperti angin yang pelan-pelan membuka jendela, memberi udara segar di ruangan yang selama ini terlalu pengap oleh kenangan masa lalu.
Sekar perlahan belajar bahwa rasa takut itu tidak selalu harus disimpan sendirian. Bahwa luka, jika dibagi pada orang yang tepat, tidak akan membesar. Malah bisa menjadi awal dari sembuhnya luka itu, meskipun prosesnya lambat. Kadang ia masih terbangun tengah malam, teringat kata-kata menyakitkan di masa lalu, tapi sekarang ia tahu, ia bisa mengirim pesan singkat ke Hanif, dan pria itu akan membalas meski hanya dengan, “Aku di sini.” Dua kata yang cukup membuat Sekar merasa tak sendiri.
Dan Hanif, tanpa banyak kata, menunjukkan bahwa mencintai seseorang bukan tentang menuntut penjelasan, tapi tentang sabar menunggu pintu itu terbuka—meski hanya sedikit. Ia tidak pernah memaksa Sekar untuk memperlihatkan isi hatinya. Tapi setiap kali Sekar membuka sedikit celah, Hanif ada di sana, menunggu, menyambut, dan tidak pernah menghakimi.
Sekar yang dulu selalu takut jatuh cinta, kini mulai bertanya-tanya, apakah aman baginya untuk berharap? Apakah boleh jika ia diam-diam mulai menantikan kehadiran Hanif? Apakah salah jika ia merasa nyaman saat suara Hanif terdengar di dekatnya?
Dan dari retakan-retakan kecil itu, perlahan tumbuh harapan baru. Harapan yang dulu tidak pernah ada dalam benaknya. Bukan harapan yang menggebu-gebu, bukan pula impian besar tentang masa depan. Hanya sebuah rasa tenang yang tumbuh saat ia menyadari bahwa Hanif tidak hanya hadir, tapi juga bertahan.
Hanif pun berubah. Dulu, ia melihat Sekar hanya sebagai sosok yang kuat, keras kepala, dan sering menolak bantuan. Tapi semakin ia mengenal Sekar, semakin ia menyadari bahwa di balik semua itu, ada ketakutan, ada luka yang belum sembuh, dan ada keberanian luar biasa untuk tetap menjalani hari-hari dengan kepala tegak. Hanif bukan lagi penasaran kenapa Sekar bisa bersikap dingin dan tertutup. Ia kini mengerti bahwa itu adalah cara Sekar melindungi dirinya sendiri.
Dan dari pemahaman itu, tumbuh perasaan yang tak bisa lagi ia bantah.
****