NovelToon NovelToon
Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.

Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".

Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 13

Anjani terdiam sejenak mendengar pertanyaan Pak Robert. Senyumnya tetap terjaga, meskipun ada sedikit kekakuan dalam dirinya.

"Suamimu tidak keberatan kamu bekerja di perusahaan ini, Anjani?" tanya Pak Robert dengan nada penasaran.

Anjani menghela nafas pelan, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Sebenarnya, Pak… saya dan Adrian sedang dalam proses perceraian."

Sejenak, suasana di meja makan menjadi hening. Pak Robert dan Rose saling bertukar pandang, sementara William menatap Anjani dengan ekspresi penuh perhatian.

Rose akhirnya berbicara dengan nada lembut. "Maaf kalau pertanyaan tadi membuatmu tidak nyaman, Anjani. Kami tidak tahu."

Anjani menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Tante. Saya juga baru memutuskan ini. Ada banyak hal yang sudah tidak bisa saya pertahankan dalam pernikahan kami."

Pak Robert mengangguk pelan. "Keputusan seperti itu pasti tidak mudah. Tapi kalau itu yang terbaik untukmu, kami mendukung."

Rose menatapnya dengan hangat. "Yang terpenting, kamu baik-baik saja. Kamu punya pekerjaan, teman-teman yang peduli, dan hidup baru yang bisa kamu bangun."

Anjani tersenyum tipis. "Terima kasih, Tante. Saya menghargai dukungan kalian."

William, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Setiap orang berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Kadang, meninggalkan sesuatu yang menyakitkan jauh lebih baik daripada bertahan dalam ketidakbahagiaan."

Pak Robert menepuk meja pelan. "Anjani, apapun yang terjadi, kamu tidak sendirian. Jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk berbicara."

Anjani merasa sedikit lega mendengar itu. Makan malam yang awalnya terasa seperti pertemuan biasa ternyata memberi kenyamanan yang tidak ia sangka. Setidaknya, ada orang-orang yang benar-benar peduli padanya, meskipun mereka bukan keluarganya sendiri.

Setelah makan malam yang hangat, Anjani melirik jam di dinding. Waktu sudah cukup larut, dan ia merasa sudah saatnya pamit.

"Terima kasih untuk makan malamnya, Pak Robert, Tante Rose. Saya benar-benar menghargai undangan kalian," ucap Anjani sambil tersenyum.

Pak Robert mengangguk sambil tersenyum ramah. "Sama-sama, Anjani. Kami senang kamu bisa datang. Sekarang sudah malam, biar William yang mengantarkanmu pulang."

Anjani segera menggeleng. "Tidak perlu repot-repot, Pak. Saya bisa pulang sendiri, kosan saya juga tidak jauh dari sini."

Namun, Pak Robert hanya terkekeh. "Tidak usah sungkan. Saya tidak akan membiarkan seorang wanita  pulang sendirian di malam hari. Wiliam, antar Anjani pulang."

William yang sejak tadi duduk tenang hanya mengangguk tanpa keberatan. "Baik, Pi."

Anjani masih ragu. Ia tidak ingin merepotkan siapapun, apalagi William, yang juga pasti lelah setelah seharian bekerja. "Saya benar-benar tidak apa-apa, Pak—"

Rose menyela dengan lembut, "Anjani, biarkan saja. Anggap saja sebagai bentuk perhatian kami. Lagipula, William tidak akan keberatan, kan?"

William tersenyum tipis. "Tentu saja tidak. Ayo, Anjani."

Akhirnya, Anjani tidak bisa menolak lagi. Setelah berpamitan, ia berjalan keluar bersama William. Udara malam terasa sejuk saat mereka melangkah menuju mobil.

Selama perjalanan, mereka tidak banyak bicara. Hanya ada suara musik pelan yang mengisi keheningan. Anjani merasa sedikit canggung, tapi William tampak santai, fokus menyetir tanpa banyak bicara.

Setibanya di depan kosannya, Anjani menoleh ke arah William. "Terima kasih sudah mengantar, pak Wiliam. Maaf merepotkan."

William menatapnya sebentar sebelum menjawab, "Tidak perlu minta maaf. Aku memang ditugaskan untuk mengantar."

Anjani tersenyum tipis. "Tetap saja, terima kasih."

"Anjani," panggilnya.

Anjani menoleh. "Ya?"

William menatap bangunan kos sederhana itu sebelum kembali menatap Anjani. "Kau tinggal sendiri di sini?" tanyanya.

Anjani mengangguk. "Iya. Ini kos khusus wanita, jadi cukup nyaman dan aman."

William mengangguk pelan, lalu memasukkan tangannya kedalam saku celana. "Kalau ada apa-apa, kau bisa menghubungiku."

Anjani tersenyum tipis. "Terima kasih,pak. Aku baik-baik saja."

“ Bisakah kalau di luar kantor kau panggil nama saja?” Lanjut Wiliam sambil terus menetap Anjani.

“ Maaf saya belum terbiasa pak”.terang Anjani

William hanya mengangguk samar. tidak berkata apa-apa lagi, hanya memastikan Anjani benar-benar masuk sebelum akhirnya berbalik dan kembali ke mobilnya.

Dari dalam mobil, Wiliam memperhatikannya sampai pintu rumah itu tertutup. Baru setelah itu, ia menghela nafas pelan dan menjalankan mobilnya pergi.

Anjani segera membersihkan diri. Merebahkan tubuhnya. Seharian bekerja membuatnya gampang tertidur.

Sementara itu, di tempat lain, Bu Rina—mertua Anjani—sedang duduk gelisah di ruang tamunya. Tatapan matanya terus terpaku pada layar ponsel, menunggu kabar dari sahabatnya mengenai hasil investasi yang ia berikan.

Sudah beberapa minggu, sejak ia menyerahkan dana yang tidak sedikit, berharap bisa mendapatkan keuntungan besar dalam waktu singkat. Namun, hingga kini, hasil yang dijanjikan belum juga terlihat.

Ia menggigit bibirnya, lalu mengetik pesan. "Bagaimana hasilnya? Sudah ada perkembangan?"

Pesan terkirim, tapi tak kunjung dibalas. Hatinya semakin tak tenang. Jika uang itu tak kembali, bagaimana ia bisa mempertahankan gaya hidupnya?

Bu Rina menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia menolak berpikir negatif. Sahabatnya pasti bisa dipercaya.

Namun, entah kenapa, ada perasaan tidak enak yang terus menghantuinya.

Hari demi hari berlalu, dan Bu Mira—sahabat yang menerima investasi dari Bu Rina—seakan-akan menghilang tanpa jejak. Tidak ada kabar, tidak ada balasan pesan, bahkan telepon pun tidak diangkat.

Namun, meskipun kegelisahan mulai mengusik hatinya, Bu Rina masih berusaha berpikir positif. Mungkin Bu Mira sedang sibuk. Mungkin hasil investasi memang butuh waktu lebih lama.

“Belum waktunya panik,” gumamnya pada diri sendiri, meyakinkan hatinya.

Ia mencoba menenangkan diri dengan memeriksa kembali pesan terakhir dari Bu Mira. "Tunggu saja, sebentar lagi ada kabar baik."

Pesan itu dikirim beberapa minggu lalu, dan sejak itu, tidak ada lagi komunikasi.

Bu Rina menghela nafas panjang. Tidak mungkin sahabatnya menipunya, bukan? Ia memilih untuk menunggu sedikit lebih lama, meskipun perasaan tak nyaman mulai merayapi pikirannya.

Malam itu, suasana rumah penuh ketegangan. Dita pulang dengan keadaan berantakan—wajahnya kusut, rambutnya acak-acakan, dan matanya merah seperti habis menangis. Dengan kasar, ia melempar tas ke sofa dan menghempaskan diri di sana, mendesah frustasi.

Bu Rina yang sedang duduk di ruang tamu langsung menoleh, terkejut melihat keadaan putrinya. “Dita! Kenapa kamu pulang dengan wajah begitu?”

Dita menatap ibunya dengan mata berkilat marah. “Aku dipecat, Ma! Dari butik! Bisa-bisanya mereka memecatku begitu saja!”

Bu Rina langsung berdiri, wajahnya penuh keterkejutan. “Apa? Kenapa bisa begitu? Kamu kan sudah lama bekerja di sana!”

Dita menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. “Aku juga nggak tahu, Ma! Katanya aku sering datang terlambat, pelanggan banyak yang komplain, dan mereka bilang aku tidak serius kerja! Padahal aku selalu berusaha!”

Belum sempat Bu Rina merespons, pintu depan terbuka. Adrian masuk dengan wajah masam, dasinya longgar, dan kemejanya sedikit berantakan. Ia tampak lelah, tetapi matanya penuh kekesalan.

Tanpa melihat ke arah Dita atau ibunya, Adrian melempar jas nya  ke kursi dan langsung duduk di meja makan.

Bu Rina menatap putranya penuh selidik. “Adrian, wajahmu kusut begitu. Kenapa?”

Adrian menghela nafas kasar. “Hari ini benar-benar sial! Sejak Anjani pergi, semuanya jadi kacau. Aku nggak bisa fokus kerja, dan tadi aku dimarahi atasan habis-habisan!”

Dita langsung menoleh tajam ke arah Adrian. “Jadi, kamu masih memikirkan perempuan itu?”

Adrian mendengus. “Kau pikir mudah? Anjani selama ini yang mengurus semuanya! Dari rumah sampai pekerjaanku! Sekarang, aku harus mengurus semuanya sendiri, dan semuanya jadi berantakan!”

Dita menggeleng tidak percaya. “Jangan bilang kamu menyesal mencampakkan dia?”

Adrian menatap Dita dengan mata tajam. “Bukan menyesal, tapi aku menyadari bahwa aku kehilangan sesuatu yang berharga!”

Bu Rina yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. “Adrian, kamu tidak boleh seperti ini! Anjani hanya wanita biasa, kamu bisa mencari yang lain!”

Adrian mendengus sinis. “Kalau memang bisa, kenapa sampai sekarang aku masih merasa kehilangan?”

Suasana semakin panas. Dita yang juga sedang kacau akhirnya meledak. “Kamu pikir kamu saja yang hidupnya hancur? Aku juga dipecat hari ini! Dan semuanya terasa sial!”

Bu Rina menahan kepalanya, merasa pusing dengan situasi ini. Rumah yang dulu terasa nyaman kini dipenuhi masalah yang bertubi-tubi. Dan tanpa mereka sadari, semuanya berawal dari satu hal—kepergian Anjani.

Bu Rina menatap Adrian dengan serius. Dengan suara penuh harap, ia berkata, “Bagaimana kalau kamu menikah dengan Anggun? Pasti dia akan sangat mencintai kamu dan bisa menggantikan posisi Anjani.”

Adrian yang sedang meneguk air tiba-tiba berhenti. Ia menatap ibunya dengan ekspresi datar. “Anggun?”

Dita yang masih duduk di sofa ikut menyahut, “Iya, Kak! Bukankah selama ini kalian dekat? Aku yakin Anggun bisa mengurus rumah ini jauh lebih baik daripada Anjani.”

Adrian menghela nafas panjang. Dulu, ia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan Anggun. Tapi sejak kepergian Anjani, ia mulai membuka pikirannya. Anggun adalah wanita yang lembut dan perhatian. Belakangan ini, mereka memang sering bertemu, dan ia merasa sedikit nyaman berada di dekatnya.

Namun, di dalam hatinya, masih ada keraguan.

“Aku sudah mencoba mengenal Anggun lebih baik,” kata Adrian akhirnya. “Tapi… aku belum yakin.”

Bu Rina tersenyum lega. “Itu bagus, Nak! Yang penting kamu mau mencoba. Lama-lama, kamu pasti bisa melupakan Anjani.”

Adrian tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah meja.

Dita mendecak. “Jangan bilang kamu masih belum bisa move on dari Anjani, Kak?”

Adrian menoleh tajam ke arah adiknya. “Aku hanya butuh waktu.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Adrian bangkit dari kursinya dan berjalan ke kamarnya.

Bu Rina dan Dita saling pandang. Setidaknya, ada harapan Adrian bisa menerima Anggun sepenuhnya. Tapi disisi lain, mereka juga tahu… bayangan Anjani masih belum sepenuhnya hilang dari hati Adrian.

Keesokan paginya, Dita bangun lebih awal dengan tekad bulat. Ia tidak mau terus-terusan menganggur dan bergantung pada ibunya. Setelah bersiap, ia langsung keluar rumah untuk mencari pekerjaan.

Dari satu tempat ke tempat lain, Dita masuk ke berbagai toko, butik, dan restoran, menanyakan lowongan pekerjaan. Namun, kebanyakan tempat yang ia datangi sudah penuh atau membutuhkan pengalaman yang tidak ia miliki.

Langkahnya semakin lelah, hingga tanpa sadar ia tiba di depan Perusahaan Megantara—sebuah perusahaan besar yang namanya cukup terkenal. Matanya tertuju pada papan pengumuman di dekat pintu masuk.

Dibuka lowongan: Office Boy/Girl (OB)

Dita menggigit bibirnya. Ini bukan pekerjaan yang ia bayangkan, tapi mengingat ia butuh uang dan belum ada pilihan lain, ia memutuskan untuk mencoba. Dengan sedikit ragu, ia masuk dan mengambil formulir pendaftaran.

Wawancaranya berlangsung singkat, dan beberapa hari kemudian, Dita dinyatakan diterima sebagai OB di Perusahaan Megantara.

Saat pulang, dia langsung memberitahu ibunya. “Ma, aku diterima kerja!” katanya dengan senyum lebar.

Bu Rina, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung menoleh. “Benarkah? Di mana?”

Dita menghela napas sebelum menjawab, “Di Perusahaan Megantara… sebagai OB.”

Bu Rina terdiam sejenak. Ekspresinya sulit ditebak, tapi akhirnya ia berkata, “Yang penting kamu bekerja. Jangan menyerah, Nak. Anggap ini awal perjalananmu.”

Dita mengangguk. Dalam hatinya, ia berjanji—pekerjaan ini hanya batu loncatan. Suatu hari nanti, ia akan berdiri lebih tinggi.

Pagi itu, sebelum berangkat bekerja, Anjani menyempatkan diri menelepon ibunya. Ia tahu betul bahwa sang ibu pasti masih mengkhawatirkan keadaannya setelah ia meninggalkan rumah Adrian.

"Halo, Bu," suara lembut Anjani terdengar begitu menenangkan.

Di seberang telepon, suara Ibu Fatma langsung terdengar lega. "Anjani! Kamu baik-baik saja, Nak? Mama khawatir sejak kamu pergi dari rumah itu."

Anjani tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Bu. Jangan khawatir. Sekarang aku sudah bekerja dan semuanya berjalan lancar."

Ibu Fatma menghela nafas panjang. "Syukurlah, Nak. Kamu tinggal di mana sekarang? Apa tempatnya nyaman?"

Anjani tidak ingin membuat ibunya cemas, jadi ia menjawab dengan santai, "Aku tinggal di tempat yang cukup nyaman, Bu. Yang penting aku bisa istirahat dengan tenang dan fokus bekerja."

Namun, satu hal yang sengaja tidak ia ceritakan—proses perceraiannya dengan Adrian.

Ia tahu jika ibunya tahu soal ini, pasti akan semakin cemas dan mungkin akan memaksanya berpikir ulang. Namun, keputusan sudah ia buat.

"Bu, yang penting jaga kesehatan, ya. Jangan terlalu banyak pikiran," ujar Anjani dengan lembut.

"Iya, Nak. Ibu cuma ingin kamu bahagia," jawab Ibu Fatma penuh kasih.

Setelah beberapa menit berbicara, Anjani menutup telepon dengan perasaan sedikit lega. Ia bersyukur masih bisa memberi ketenangan kepada ibunya, meskipun ada banyak hal yang belum ia ungkapkan.

Selesai menelepon, ia segera bersiap dan berangkat kerja, melangkah maju ke kehidupan barunya tanpa menoleh ke belakang.

Bus berhenti di salah satu halte, dan beberapa penumpang naik. Anjani tidak terlalu memperhatikan—sampai suara yang familiar terdengar.

"Hah? Kak Anjani?"

Dita.

Adik Adrian itu duduk tak jauh darinya dengan ekspresi terkejut, lalu dengan cepat duduk di sebelah Anjani sebelum ia sempat menghindar.

"Kakak juga naik bus ini? Mau ke mana?" tanyanya dengan nada santai.

Anjani menoleh sebentar, lalu kembali memandang ke luar jendela. Sabar, Anjani.

"Ke tempat kerja," jawabnya singkat.

Dita tertawa kecil. "Oh, aku juga! Aku baru saja diterima kerja di Megantara. Aku keluar dari butik dan di terima di perusahan tersebut ?"

Anjani menoleh sedikit, tapi buru-buru mengendalikan ekspresinya. Jadi, Dita akan bekerja di Megantara? Ia menghela nafas pelan. Berarti mereka akan sering bertemu.

Tapi Dita tampaknya belum tahu bahwa ia juga bekerja di sana.

"Oh, begitu. Selamat, ya," jawab Anjani datar.

Dita menyeringai. "Thanks! Aku sih nggak perlu khawatir, pasti gampang naik jabatan. Kak Anjani kerja di mana sekarang? Perusahaan besar juga?" tanyanya santai.

Anjani hanya tersenyum kecil. "Ya, cukup besar," jawabnya tanpa memberi detail.

Dita tampak tidak terlalu peduli dan mulai sibuk dengan ponselnya. Anjani kembali menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya.

1
Arsyi Aisyah
Ya Silahkan ambillah semua Krn masa lalu Anjani tdk ada hal yang membahagiakan kecuali penderitaan jdi ambil semua'x
Arsyi Aisyah
katanya akan pergi klu udh keguguran ini mlh apa BKIN jengkel tdk ada berubahnya
Linda Semisemi
greget ihhh.... kok diem aja ya diremehkan oleh suami dan keluarganya....
hrs berani lawan lahhh
Heni Setianingsih
Luar biasa
Petir Luhur
seru banget
Petir Luhur
lanjut.. seru
Petir Luhur
lanjut kan
Petir Luhur
lanjut thor
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!