NovelToon NovelToon
Di Persimpangan Rasa

Di Persimpangan Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Idola sekolah
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Candylight_

Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.

Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.

Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.

Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 — Harga yang Tidak Terucap

Naresh tidak mengatakan apa-apa untuk menanggapi perkataan Nisya. Sejak awal, ia memang tidak berniat memiliki Alana. Ia terus berada di samping perempuan itu karena Alana membutuhkannya. Meski ada rasa tidak nyaman, ia tetap setia pada prinsipnya—menjaga Alana, apa pun yang terjadi.

“Gue ke kelas duluan,” ucap Naresh singkat, lalu berbalik meninggalkan Nisya di koridor.

Nisya bisa masuk sekolah hari ini setelah beasiswanya dicabut kemarin, bukan tanpa alasan. Semua biaya sekolahnya kini ditanggung oleh Naresh. Dan itulah alasan mengapa mereka datang ke sekolah bersama.

Meski Nisya hanya anak dari asisten rumah tangga dan sopir keluarga di keluarga Astareyna, ia tumbuh bersama Naresh dan Alana. Ia cukup mengenal keduanya—termasuk perasaan-perasaan yang tersembunyi di antara mereka.

Sekarang, Alana sedang jatuh cinta pada Jendral. Dan Naresh sedang patah hati karenanya.

Tapi yang paling sakit... adalah hati Nisya sendiri.

Ia jujur saat mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai Jendral. Tapi yang tidak ia katakan adalah bahwa ia mencintai Naresh. Ia ingin Naresh bahagia—meski bukan bersama dirinya.

Namun, sejak kehadiran Jendral, semua hal yang dulu terasa damai kini perlahan hancur. Nisya tidak menyalahkan Jendral. Tapi begitulah kenyataannya.

“Harusnya kamu jujur sama perasaan kamu sejak awal,” gumamnya lirih, menatap punggung Naresh yang semakin menjauh.

Jika saja Naresh bisa jujur dengan perasaannya terhadap Alana, mungkin Alana tidak akan jatuh hati kepada lelaki lain. Tapi, Naresh tidak pernah sekali pun mengungkap perasaannya itu.

***

Alana tiba-tiba menghentikan langkahnya saat hendak masuk ke kelas. Sesuatu terlintas di benaknya—ia hampir melupakan hal penting hari ini: tentang beasiswa Nisya, dan juga rahasia gelap sekolah yang seharusnya terbongkar… jika saja Nisya belum mendapatkan kembali beasiswanya.

“Ada apa?” tanya Jendral yang turut menghentikan langkah, bingung melihat perubahan ekspresi di wajah Alana. Wajah Alana yang semula terlihat malu-malu, kini berubah serius.

“Ada kabar soal beasiswa Nisya?” tanya Alana cepat, menatap Jendral tajam. Bukan lagi tatapan seseorang yang salah tingkah karena cinta, tapi sorot mata seseorang yang sedang menyusun potongan teka-teki.

“Hah?” Jendral mengerutkan kening, jelas tidak mengerti arah pertanyaannya. Ia tidak langsung menjawab, masih mencoba memahami maksud Alana.

Namun, Alana tidak menunggu lebih lama. Ia berbalik dan berlari menuju kelas Naresh. Ada yang harus ia pastikan. Hari ini bukan waktunya memikirkan perasaan di hatinya sendiri. Ada hal yang lebih penting—dan lebih besar—yang sedang terjadi.

“Alana, tunggu!” teriak Jendral, spontan mengejar langkah cepat Alana.

Di koridor, keduanya berpapasan dengan Dewa dan Mahen. Keduanya saling pandang, bingung melihat Alana seperti sedang kejar-kejaran dengan Jendral. Tanpa banyak tanya, mereka ikut menyusul masuk ke kelas XI-2.

Begitu masuk, Alana langsung menghampiri meja Naresh. Seolah sudah menduga kedatangannya, Naresh hanya menatap Alana tanpa kaget—sejak tadi ia memang sudah bersiap. Tapi yang tidak ia perkirakan, Alana tidak sendiri. Jendral menyusul di belakangnya.

“Nisya nggak dapetin balik beasiswanya,” ucap Naresh membuka pembicaraan. Ia menatap Alana dengan hati-hati.

“Tapi gue juga nggak bongkar rahasia gelap sekolah.”

Alana mengernyit. Wajahnya langsung berubah. Ekspresi kecewa dan amarah bercampur jadi satu.

“Kenapa?” tanyanya tajam, seperti seseorang yang merasa dikhianati.

Suasana kelas jadi hening. Jendral, Dewa, Mahen, dan beberapa murid lain hanya menyimak diam-diam, merasakan ketegangan yang menggantung.

Naresh menarik napas dalam.

“Kalau rahasia itu dibongkar, bakal banyak orang yang kena imbasnya—murid-murid lain yang nggak tahu apa-apa juga bisa dirugiin.” Ia berbicara dengan suara tenang tapi mantap.

“Lo bakal dibenci kalau itu sampai kejadian. Jadi gue pilih cara lain buat ngasih pelajaran ke orang yang udah usik lo.”

Ada sesuatu yang tersirat dari perkataan Naresh. Isu beasiswa Nisya bukan hanya tentang Nisya. Ini juga tentang Alana—dan dendam tersembunyi seseorang pada dirinya.

Naresh menatap mata Alana dalam-dalam.

“Buat gue, nggak ada yang lebih penting dari ketenangan hidup lo. Jadi... maaf. Kali ini, gue nggak ngelakuin yang lo suruh.”

“Gue nyuruh lo, berarti gue udah siap sama risikonya!” ucap Alana, tegas dan penuh tekanan. Ia ingin Naresh paham—ia bukan orang yang asal memutuskan sesuatu. Keputusan itu sudah ia pikirkan matang-matang. Dan ia siap menanggung akibatnya.

Naresh tetap tidak goyah.

“Ada cara yang lebih gampang buat ngatasin masalah Nisya, Alana.” Ucapannya terdengar tenang, tapi tegas. Ia masih berdiri pada pilihannya, walau Alana bersikeras.

Alana mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras menahan emosi.

“Apa yang gampang, hah?!” suaranya meninggi, tak sanggup menahan rasa frustasinya.

“Gue bayarin biaya sekolah Nisya, jadi dia tetap bisa sekolah di sini,” ujar Naresh akhirnya. Suaranya tenang, tapi di baliknya ada beban. Ia tahu itu bukan solusi sempurna, tapi itu yang paling aman—demi Alana.

Namun, jawaban itu justru menyulut api yang lebih besar dalam diri Alana.

“Lo pikir ini cuma soal biaya?” bentaknya. “Ini soal seseorang yang nggak dapetin haknya, Naresh! Dan itu gara-gara keegoisan orang lain!”

Matanya mulai berkaca-kaca. Bukan karena sedih, tapi karena kecewa dan marah yang bercampur jadi satu.

Dia tahu betul—uang bisa menyelesaikan banyak hal. Tapi tidak semua. Dan bukan itu intinya.

“Gue tahu,” Naresh mengangguk pelan. Lalu, dengan suara yang lebih rendah tapi menghentak, ia melanjutkan,

“Tapi selagi itu bukan lo... selagi yang dirugiin itu bukan lo—gue nggak peduli.”

Kelas sontak senyap. Kalimat itu terasa seperti palu godam. Semua terdiam, termasuk Jendral.

Jendral mencoba menyentuh tangan Alana—mungkin untuk menenangkan, mungkin untuk sekadar menunjukkan bahwa ia ada. Tapi Alana langsung menepisnya tanpa ragu.

Tidak ada yang bisa menenangkan kekecewaan yang dalam. Bahkan dia—lelaki yang kini paling dekat di hati Alana—tidak bisa menjangkaunya.

“Guys, kalian tahu nggak?”

Suara lain tiba-tiba memecah ketegangan.

Seorang murid baru saja masuk ke kelas, tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam.

“Kepala sekolah... katanya ngundurin diri.”

Alana langsung tahu siapa dalang di balik pengunduran diri kepala sekolah. Naresh. Sesuai yang Naresh katakan, dia tidak akan tinggal diam jika ada yang mengusik Alana. Kepala sekolah salah satunya.

Dan memang benar—Naresh lah yang membuat kepala sekolah itu mengundurkan diri.

Urusan penting yang ia sebutkan kemarin bukan hal sepele. Itu adalah bentuk perhitungannya. Balasannya.

Naresh mengurus orang yang sudah menyentuh luka lama Alana. Orang yang dengan seenaknya mengungkit penyakit yang selama ini Alana tutupi. Orang yang membuat Alana menangis di tempat yang paling tidak seharusnya: sekolah.

Bagi Naresh, itu tidak bisa dimaafkan.

Tanpa ragu, Naresh berdiri. Tatapannya tenang, tapi matanya menyimpan sisa-sisa emosi yang belum padam.

“Kepala sekolah udah dapet hukumannya,” katanya pelan tapi mantap.

“Jadi... gue harap lo bisa maafin gue. Maaf karena gue nggak bisa nurutin lo sepenuhnya.”

Jendral, Dewa, dan Mahen langsung menoleh dengan tatapan terkejut. Mata mereka membulat.

Tidak ada yang berani mengucap sepatah kata pun. Tidak perlu penjelasan lebih—semua sadar, Naresh pasti sudah melakukan sesuatu yang besar di balik layar.

1
Syaira Liana
makasih kaka, semoga baik baik terus 😍😍
Syaira Liana
ceritanya sangat seru
Syaira Liana
alana percaya yuk
Syaira Liana
jadi bingung pilih naresh apa jeje😭😭
Syaira Liana
alana kamu udah jatuh cinta😍😍 terimakasih kak
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
Izin yaa
total 1 replies
Syaira Liana
lanjutt kaka, alana bakal baik2 aja kan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!