Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
☀️☀️☀️
Niken merebahkan dirinya di atas sofa empuk, bantal kecil menopang punggungnya dengan nyaman. Matanya fokus menatap layar televisi yang memutar episode terbaru drama Korea kesukaannya. Tangannya menggenggam remote, sesekali memencet tombol pause untuk memastikan adegan favorit tak terlewat. Di meja kecil depan sofa, segelas es kopi susu yang baru dibuatnya mengembun pelan, sementara aroma seblak yang menggoda mengepul dari mangkuk.
“Ahhh…” desah Niken pelan, menyeruput es kopi sambil matanya berbinar bahagia. Kenikmatan sederhana ini sudah lama tak ia rasakan. Dulu, saat masih menjabat sebagai istri Damar, mana ada waktu bersantai seperti ini? Begitu Damar pulang kerja, hidupnya hanya berputar mengurus kebutuhan suami: menyajikan teh hangat, memijat pundaknya yang pegal, menemaninya ngobrol meski matanya sudah berat karena kantuk.
Kadang Niken merasa dirinya seperti perabot rumah tangga, bukan istri. Damar selalu ingin dilayani bak raja, bahkan urusan sepele seperti mengambil remote pun sering menyuruh Niken. Kalau Niken menolak, Damar akan merengut atau memulai drama kecil yang berakhir dengan diam-diaman semalaman. Waktu itu, Niken menganggapnya biasa saja, namanya juga istri harus patuh. Tapi sekarang, ketika status itu sudah lepas darinya, barulah ia sadar betapa terpenjaranya hidupnya dulu.
Ia mengambil sepotong kerupuk seblak yang kenyal, meniupnya sebentar lalu memasukkannya ke mulut. Lidahnya menari menikmati rasa pedas gurih yang membakar. “Nikmat Tuhan mana yang sanggup kudustakan…” gumam Niken pelan sambil tersenyum geli pada dirinya sendiri. Siapa sangka, hanya dengan duduk santai seperti ini, ditemani makanan kesukaan dan drama Korea, ia bisa merasa sebahagia ini?
Matanya kembali ke layar. Karakter utama pria baru saja mengaku cinta, membuat Niken spontan menjerit pelan. “Ihh! Akhirnyaaa!” serunya sambil menepuk-nepuk bantal. Ia tak peduli meski sendirian, justru inilah enaknya. Tak ada yang memarahi karena suara ribut, tak ada yang menyuruh mematikan TV karena “Terlalu malam.”
Di sela tawa kecilnya, Niken mendadak termenung. Dulu, kalau ia tertawa seperti ini, Damar akan memandangnya dengan tatapan aneh, seolah berkata, “Apanya yang lucu? Kenapa sih perempuan suka drama tidak jelas?” Saat itu, Niken selalu berusaha menekan diri, memilih diam demi menghindari pertengkaran. Sekarang, ia tak perlu itu semua. Ia bebas tertawa, bebas menjerit heboh saat adegan favorit muncul, bahkan bebas menangis kalau adegannya menyedihkan.
Seteguk es kopi kembali mengalir di tenggorokannya, menyisakan sensasi dingin menyegarkan. “Ahhh…” lagi-lagi Niken menghela napas panjang, menatap langit-langit sambil tersenyum. Ada rasa syukur yang tak bisa ia bendung. Ternyata, hidup sendiri tak seburuk itu. Memang sepi, memang kadang kesepian, tapi setidaknya ia punya kendali penuh atas dirinya sendiri.
“Terima kasih, Tuhan…” bisiknya pelan, matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena terharu. Dulu, ia mengira hidupnya akan hancur tanpa Damar. Tapi nyatanya, ia justru menemukan kembali dirinya, menemukan kebahagiaan kecil yang selama ini hilang.
Niken melirik jam dinding. Masih ada waktu beberapa jam sebelum tidur. Dengan semangat, ia meraih mangkuk seblak lagi, memeluk bantal, lalu menekan tombol play. Drama Korea favoritnya kembali bergulir, membawa Niken tenggelam dalam dunia penuh tawa, tangis, dan kisah cinta yang menggetarkan hati. Malam ini, ia hanya ingin menikmati dirinya sendiri, tanpa beban, tanpa siapa pun yang menuntut. Nikmat kecil yang begitu indah, begitu layak untuk disyukuri.
Tring....
Bunyi sebuah pesan masuk di ponsel Niken.
"Ken, kita harus cari model untuk iklan minuman baru pabrik kita. Kalau bisa, aktor yang sedang naik daun. Mau aku bantu cari agensi artis?” bunyi pesan dari Fayola.
Niken menggigit bibir bawah, berpikir. Pabrik minuman kemasan miliknya mengalami sedikit krisis, dia harus menghemat pengeluaran. Menyewa artis terkenal? Itu bisa menghabiskan puluhan, bahkan ratusan juta.
Niken pun mengetik cepat.
"La, aku ada ide. Kita tidak usah pakai artis."
Tak lama, ponselnya berdering. Fayola langsung menelepon. “Ken! Gila, jangan begitu. Sekarang tuh era visual. Kalau tidak pakai wajah terkenal, siapa yang mau lirik iklan kita?” Suara Fayola terdengar serius, bahkan sedikit putus asa.
Niken tersenyum kecil. “Dengarkan aku dulu, La. Aku kepikiran pakai orang yang kita kenal. Kamu ingat Bastian, kan? Temanku, yang juga pengacara yang bantu waktu aku cerai dari Damar.”
Hening sejenak di seberang. “Bastian? Maksudmu si pria yang mukanya mirip dengan Joss Wayar itu Nik?"
“Iya, La. Dia tinggi, badannya bagus, mukanya juga lumayan lah. Kalau dia dandan sedikit, pasti kelihatan keren. Dan yang paling penting…” Niken menarik napas. “Pengikut akun media sosialnya banyak loh. Kita tidak perlu keluar biaya besar. Aku bisa nego langsung sama dia, mungkin dia mau bantu dengan harga teman."
Fayola menghela napas panjang. “Nik, aku mengerti kau mau hemat. Tapi ini soal branding. Kalau salah pilih model, bisa-bisa kesan produknya jadi murahan, tidak punya daya jual. Kamu yakin sekali sama Bastian?”
“Aku yakin.” Nada suara Niken mengeras, mantap. “Dia bukan cuma teman, dia orang yang aku percaya. Dan aku yakin dia profesional. Toh, kita bukan mau bikin iklan billboard di seluruh kota. Kita mulai dulu dari media sosial, iklan online, baru kalau berhasil kita kembangin lebih besar.”
Fayola terdiam lama. Lalu akhirnya terdengar suara pelan. “Kalau kamu sudah yakin, aku ikut aja, Ken. Aku cuma… ya, mau mengingatkan risikonya.”
“Thanks, La,” Niken tersenyum lega. “Aku akan hubungi Bastian dulu. Kalau dia setuju, kita langsung atur jadwal pemotretan.”
“Tapi jangan lupa, Ken. Walaupun dia temanmu, kita tetap butuh konsep yang matang. Foto harus kelihatan profesional, bukan kayak foto iseng.” Fayola mulai terdengar lebih fokus. “Aku akan cari fotografer yang oke. Kalau perlu, kita sewa studio satu hari aja, biar hasilnya maksimal.”
“Setuju.” Niken mencatat cepat di buku catatannya. “Kau juga bikin draft ide visualnya, ya. Aku akan pastikan Bastian siap. Kalau perlu dia latihan pose dulu.”
Terdengar tawa kecil dari seberang. “Ya ampun, pengacara disuruh latihan pose. Kamu tega juga ya.”
Niken ikut tertawa. “Demi bisnis, La. Kita harus kreatif. Lagian, siapa tahu Bastian bakat jadi model, kan?”
Fayola akhirnya menyerah. “Oke deh, aku tunggu kabar kamu. Tapi please, jangan bikin aku pusing di tengah jalan ya!”
“Aman.” Niken tersenyum puas, matanya berbinar penuh semangat. Setelah menutup telepon, ia menggenggam ponselnya erat. Dalam hati, ia berjanji. Usaha ini harus berhasil. Tak hanya demi dirinya, tapi juga demi semua orang yang sudah percaya padanya.
***
Sore itu, Niken duduk di meja kerjanya sambil menatap layar ponsel, jari-jarinya ragu mengetik pesan. Akhirnya ia menarik napas panjang dan menekan tombol panggil.
“Hallo, Bas?” sapanya pelan.
Di seberang, suara berat dan hangat segera menyambut. “Niken! Wah, jarang-jarang kamu telepon. Ada apa nih?” terdengar senyum di suara Bastian.
Niken tertawa kecil, gugup. “Aku mau minta bantuan kamu, Bas. Jadi… pabrikku lagi produksi minuman ringan baru, dan kita butuh model buat iklannya. Aku kepikiran kamu. Mau tidak bantu aku?”
Hening sebentar. Lalu terdengar tawa pelan Bastian. “Serius, Nik? Kamu nggak salah orang? Aku kan bukan model.”
Niken tergelak. “Tapi kau cocok! Kau kan tinggi, tampan, badannya juga oke. Aku percaya sama kamu.”
Bastian mengusap rambutnya, meski Niken tentu tak bisa melihat. Senyumnya lebar, dadanya menghangat. “Kalau itu permintaan kamu, Nik… aku mau. Dengan senang hati malah.”
Niken terdengar lega. “Makasih banyak, Bas. Kau memang selalu bisa kuandalkan.”
Di seberang, Bastian menahan debaran di dadanya. Dalam hati ia berkata pelan, 'apa pun akan aku lakukan demi kamu, Nik.'
Bersambung....