SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEKAISARAN
Angin malam membawa bau besi dan hujan. Ruang pelatihan anak-anak telah lengang, tapi beberapa penjaga masih berdiri di bawah lentera gantung, berjaga seperti biasa, datar dan membosankan. Tak ada yang menyangka malam itu akan berbeda.
Daren sedang duduk diam, membiarkan Fyona membalut luka di bahunya. Mereka duduk di belakang gudang persenjataan kecil, satu-satunya tempat yang tidak diawasi ketat. Fyona mengunyah tanaman pahit yang ia sembunyikan di balik baju, mencoba menyeduhnya menjadi pasta penyembuh.
Tiba-tiba, langkah-langkah berat terdengar dari koridor utama. Tidak seperti langkah penjaga. Lebih tenang. Lebih tegap.
Fyona reflek menarik Daren agar bersembunyi di balik tumpukan peti kayu. Tapi sebelum mereka sempat, suara perintah terdengar.
"Semuanya berkumpul! Berbaris Cepat!"
Seorang prajurit bintang lima, bertiak di tengah prajurit lain yang terus menggeledah.
Daren berdiri tegap. "Ayo berbaris," ucapnya tenang.
Fyona yang belum menyelesaikan pengobatan untuk Daren, merasa kecewa. Mereka diperintah tanpa henti, dipanggil tanpa henti dan selalu mendapat hukuman."Oke, ayo pergi,"
Langkah-langkah berat memecah kesunyian. Bukan langkah penjaga biasa. Sepatu kulit mahal. Iringan bayangan dari lentera kerajaan.
Semua anak-anak menunduk berbaris ketakutan, kecuali Daren. Tubuhnya berdiri tegap, tatapannya kosong melihat pasukan dari istana yang berjalan mantap.
“Yang itu. Bawa dia keluar,” kata suara bariton, tegas tapi tak bernada amarah.
“Sesuai perintah Sang Kaisar,"
Fyona nyaris tersedak. Ia menarik tangan Daren.
“Daren... itu... itu bukan penjaga biasa...”
Lalu muncullah sosok yang mereka kenal hanya dari dongeng para budak dan obrolan tentara mabuk. Putra Mahkota Gerald Valeon Therando. pewaris utama takhta Kaisar Theron, Anak tunggal dari Permaisuri Aurenne kerajaan Balderans.
Ia tampak terlalu tenang dan tajam untuk usianya. Sembilan belas tahun dan sudha memiliki postur tubuh yang tinggi, kekar dan berwibawa. Ia menatap ruangan dengan sikap seorang raja, meski belum dinobatkan.
“Atas titah sang Kaisar: Anak perempuan dari barak Pelatihan Utara, Nomor 47, darah dari keluarga Estelle, ditemukan memiliki kecocokan tempur dan garis keturunan langsung. Akan dibawa ke ibu kota malam ini.”
Semuanya membisu.
Fyona memegangi tangan Daren lebih erat, panik.
“Itu kau, Daren... Mereka bicara tentang kau! Mereka pasti tahu tentang keluargamu....”
Daren berdiri. Tak gentar, tapi juga tidak sombong.
Seolah... ia memang menunggu dijemput, hanya belum tahu oleh siapa.
Gerald melangkah maju. Pandangannya bertemu dengan mata biru milik Daren. Dan untuk pertama kalinya malam itu, sang putra mahkota tersenyum kecil, bukan senyum bahagia, tapi senyum yang seolah berkata: Aku tahu rasa ditinggalkan dunia seperti apa.
“Nama asli?” tanyanya singkat.
Daren menatap lurus. Suaranya nyaris tak terdengar.
“Daren.... Virana."
Gerald mengangguk. “Kau akan ikut denganku ke Istana Timur.”
Fyona memberanikan diri, melangkah maju. “Bolehkah aku ikut? Dia tidak punya siapa-siapa...”
Komandan Kanel hendak melarang, tapi Gerald mengangkat tangannya menghentikan.
“Yang ini?” tanyanya, menatap Fyona.
Daren menoleh pada Gerald. Untuk pertama kalinya, ia berbicara lebih banyak kata.
“Dia bisa menyembuhkan. Lebih banyak menyelamatkan dari pada saya melukai. Dia... temanku.”
Gerald terdiam sejenak. Kemudian memberi isyarat.
“Bawa keduanya.”
Malam itu, dua gadis kecil dibawa keluar dari dunia kegelapan.
Yang satu diam, kuat, dan berisi amarah tak bersuara.
Yang satu lagi gadis tabib kecil yang tak pernah berhenti bicara.
Mereka tidak tahu bahwa perjalanan itu bukan menuju kebebasan. Tapi ke dalam medan perang yang lebih besar, lebih licik, dan lebih kejam dari semua cambuk pelatihan.
Istana.
“Kau lihat cara gadis itu berdiri?” bisik penjaga tua kepada rekan di sebelahnya.
“Bukan budak. Dia berdiri seperti... putri dari medan perang.”
Dan Kaisar, jauh dari sana, sedang menunggu untuk melihat...
Apakah warisan Xander bisa bangkit.
Kereta kerajaan bergerak tenang di tengah malam. Di luar, hujan mulai turun ringan. Lentera gantung bergoyang di setiap sudut jalan, menciptakan bayangan seperti hantu-hantu masa lalu yang berjalan mengikuti. Bunyi roda kereta di atas batu basah membentuk irama sendu yang menyatu dengan desau angin dan detak hati yang belum tenang.
Daren menatap ke luar jendela. Wajahnya kosong, tapi tangan kecilnya menggenggam erat lencana perak yang baru diberikan oleh utusan istana. Sebentuk ukiran naga bersayap dengan lambang mahkota di tengahnya. Tanda bahwa ia bukan lagi sekadar anak barak. Di seberangnya, Fyona mulai terlelap, kepalanya bersandar ke bantal kain beludru, sambil memeluk tas kecil berisi peralatan pengobatan. Sesekali tubuhnya berguncang, tapi ia tetap memeluk erat benda itu seolah nyawanya ada di dalam sana.
“Menurutmu... seperti apa istana itu?” tanya Fyona setengah sadar, matanya belum sepenuhnya terbuka.
Daren tak menjawab. Ia masih menatap luar, melihat pohon-pohon tinggi yang bergoyang seakan sedang membisikkan peringatan. Perjalanan mereka baru dimulai, dan istana, empat yang hanya pernah ia dengar dari bisikan orang dewasa, masih begitu asing dalam bayangannya.
Perjalanan menuju istana memakan waktu empat hari tiga malam. Mereka berhenti di benteng istirahat militer, berganti kuda, dan tidur di tempat yang lebih mewah dari apa pun yang pernah Daren bayangkan. Namun, kemewahan itu tidak pernah mampu menenangkan hatinya. Semua terasa asing. Makanan yang lezat tidak bisa menyaingi rasa hangat bubur basi barak utara. Tempat tidur empuk terasa terlalu sepi. Bahkan suara malam tidak terdengar karena dinding tebal menghalau segalanya.
Fyona mencoba menghibur diri dengan berbicara sepanjang malam, bercerita tentang apa yang akan ia lakukan jika jadi tabib istana. Tapi Daren hanya mendengarkan. Ia tahu, yang mereka tuju bukan hanya istana, tapi juga ujian besar.
Pada malam kedua, saat hujan turun deras, mereka berhenti di sebuah rumah peristirahatan kecil di pinggiran Kota Dalam. Daren berdiri di balkon sempit, membiarkan angin malam dan titik hujan membasahi wajahnya. Di kejauhan, puncak istana masih belum mulai terlihat.
“Apa kau takut?” tanya Fyona, tiba-tiba muncul dengan selimut di tangannya.
“Tidak,” jawab Daren pelan. “Tapi aku tahu, dunia yang akan kita masuki... bukan dunia yang membiarkan kita bertahan tanpa luka.”
Fyona menunduk, menggigit bibirnya. “Kalau kau berubah, aku akan tetap percaya padamu. Karena aku ingat kamu sebelum semua ini.”
Pada hari berikutnya...
Di luar kereta, pasukan pengawal berkuda mengiringi dalam diam. Jalanan mulai berubah, dari tanah berbatu menjadi jalan batu marmer hitam. Tanda bahwa mereka mulai memasuki kawasan kota dalam, tempat hanya keluarga bangsawan dan elit kekaisaran diperbolehkan tinggal.
“Daren...” gumam Fyona lagi. “Apa kita... tidak akan dibunuh?”
Daren akhirnya menoleh, pelan. Matanya menatap wajah sahabat kecilnya yang tertidur dengan cemas. “Tidak," katanya, ia mencoba menenangkan Fyona walau dirinya sendiri tidak tahu antara hidup dan mati.
Dan akhirnya...
Pada hari keempat, kereta berhenti di gerbang istana utama. Pintu-pintu raksasa terbuka perlahan, diiringi tabuhan genderang lambat yang menandai kedatangan tamu istimewa. Pasukan pengawal berdiri dalam dua barisan, dan para pelayan istana mulai berdatangan, membungkuk dengan wajah datar namun penuh kewaspadaan.
Daren turun lebih dulu. Sepatu lusuhnya menyentuh marmer putih mengilap yang terasa dingin menembus telapak. Ia berdiri, menatap bangunan besar di hadapannya. Bangunan tempat para penguasa tinggal, memerintah, dan juga menyimpan banyak rahasia kelam.
Fyona turun menyusul, menggandeng lengan Daren sebentar sebelum melepaskannya ketika pengawal lain mendekat.
Seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan utama membungkuk. “Yang bernama Daren dan gadis kecil satunya. Selamat datang di Istana Balderans.
Daren mengangguk. Tak ada waktu untuk kagum. Tak ada tempat untuk ragu.
Dan di atas tangga istana, Kaisar berdiri diam di balik jendela besar ruang kerajaannya. Ia melihat kedatangan Daren dan menarik napas panjang. Matanya tenang, tapi raut wajahnya sulit untuk di jelaskan.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu...
Gadis kecil yang berdiri tegap di bawah sinar matahari pagi itu, adalah awal dari sesuatu yang besar. Sesuatu yang bahkan seorang kaisar tidak bisa kendalikan.