Arsenio Wickley, seorang mafia yang berusia 39 tahun. Semenjak kejadian kekasihnya pergi karena kesalahan pahaman, semenjak itu Arsenio menutup hatinya untuk semua wanita. Tapi, kehadiran seorang gadis mengubah pendiriannya. Clara datang kepadanya, dan berniat menjadi sugar baby Arsen. bukan karena uang tapi karena ia butuh kasih sayang yang tidak ia dapat dari orang tuanya.
" Om, aku mau jadi sugar Baby om" ucap Clara sambil menatap wajah Arsen.
" Apa kau tahu, apa yang dilakukan Sugar Baby?" Arsen mendekati wajah Clara, membuatnya sedikit gugup.
" Memang apa yang harus aku lakukan?" tanya Clara yang penasaran, ia hanya tahu sugar baby itu hanya menemani makan, dan jalan-jalan.
" kau harus menemaniku tidur, apa kau mau?" Arsen semakin memojokkan tubuh Clara.
" tidak!! aku tidak mau.." Clara berlari saat mendengar ucapan Arsen.
" Dasar bocah ingusan" ucap Arsen seraya menggelengkan kepala.
Nantikan kisah kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dukungan Dari Vanya
Setelah mengantar Clara ke kampus, Arsen langsung tancap gas menuju mansion. Ia yakin, saat pulang nanti, putranya pasti akan membanjirinya dengan pertanyaan soal ke mana saja ia semalaman.
Mobil hitamnya berhenti tepat di depan pintu utama mansion megah miliknya. Arsen turun tanpa banyak basa-basi, melangkah cepat menuju pintu. Namun, baru saja ia hendak membuka pintu, suara familiar menyambutnya dari baliknya.
“Dari mana saja kau?” terdengar suara sarkastik yang membuat langkah Arsen langsung terhenti.
Begitu pintu terbuka, muncullah Liam dengan senyum menyebalkan di wajahnya.
Arsen mengerjap, kaget. Lalu menghela napas tajam. Kalau bukan karena masih waras, mungkin pria di depannya itu sudah ia hajari dari tadi.
“Aku tidak menyangka, seorang mafia sepertimu bisa kaget juga,” cengir Liam sambil menyilangkan tangan di dada.
“Sepertinya kau ingin ku hajar,” geram Arsen sambil mengepalkan tangannya dan melangkah mendekat.
“Wah, jangan! Arsen, aku cuma bercanda! Bercanda, bro!” Liam cepat-cepat mundur, tangan terangkat seperti menyerah.
Namun langkahnya terhenti saat ia menabrak seseorang yang berdiri di belakangnya.
“Daddy ke mana saja? Kenapa tidak pulang semalam?” tanya suara dingin namun bernada khawatir.
Arsen menoleh dan mendapati Arion berdiri tegak, dengan ekspresi serius di wajahnya. Anak angkatnya itu adalah sosok perfeksionis yang lebih sering mengurus perusahaan dibandingkan urusan pribadi Arsen sendiri.
“Sejak kapan kau jadi cerewet begini, Arion?” Arsen menepis pertanyaan itu sambil mengusap rambut ke belakang, lalu berjalan menaiki tangga tanpa menoleh.
Arion hanya menatap punggung ayahnya itu dengan dahi berkerut.
Liam menepuk pundak Arion sambil ikut menatap ke arah tangga. “Kau sadar, kan? Daddy-mu berubah.”
Arion diam.
“Lihat penampilannya. Sejak kapan dia mau pakai baju santai seperti itu? Kaos, jeans, dan parfum yang menyengat? Serius, itu bukan Arsen yang biasanya.”
Liam mengangkat alis penuh makna.
“Sepertinya… kau akan punya Mommy baru,” bisiknya kemudian terkekeh sambil berlalu, meninggalkan Arion yang masih berdiri mematung.
Arion mengerjap, lalu tersenyum pelan.
“Akhirnya… aku akan punya Mommy,” ucapnya pelan sambil berjalan keluar menuju mobil. Ia harus ke perusahaan.
---
Sementara itu, Arsen sedang berdiri di balkon kamarnya. Tatapannya kosong, menembus cakrawala. Kenangan tentang Freya mengisi pikirannya. Wanita itu… satu-satunya cinta yang pernah ia miliki—dan juga satu-satunya luka yang belum sembuh.
“Freya… apa aku salah mendekati gadis itu?” gumamnya lirih.
Clara bukan Freya. Tapi tatapannya, keteguhannya, bahkan sorot takut yang tersembunyi dalam keberaniannya—semua itu membuat hatinya bergetar. Ada sesuatu dalam diri Clara yang membuatnya ingin melindungi. Sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
“Arrghh…” Arsen mengacak-acak rambutnya frustrasi, lalu melirik ke bawah. Kaos, jeans, dan aroma parfum mahal yang semalam ia semprot tanpa pikir.
Ia mendesah, lalu tertawa kecil.
“Ini gila. Apa aku sedang jatuh cinta?”
---
Di kampus, Clara masih melamun. Ucapan Arsen tadi pagi terngiang-ngiang di kepalanya.
Kau akan menjadi sugar baby-ku…
“CLARA!” teriak Vanya sambil menghentakkan tangannya ke meja.
Clara terlonjak kaget. “Vanya!”
“Kau mau marah?” Vanya menyilangkan tangan di dada, wajahnya terlihat kesal. “Aku sudah memanggilmu puluhan kali. Tapi kau diam saja seperti mayat hidup. Apa yang kau pikirkan, hah? Apa kau tidak menganggapku lagi sebagai sahabatmu.
Clara menunduk, merasa bersalah. Ia menarik tangan Vanya dan mengajaknya duduk.
Dengan pelan, Clara mulai bercerita—tentang pengusiran dari rumah, tentang ayahnya, tentang ketidakadilan yang ia alami.
Vanya menggeram kesal. “Papamu… sungguh keterlaluan! Mana ada ayah sekejam itu?!”
Clara hanya tersenyum pahit.
“Sekarang kau tinggal di mana?” tanya Vanya cepat. “Kalau belum punya tempat, ikut kontrakan aku saja. Aku siap menampungmu.”
Clara mengangguk pelan. Tapi lalu ragu. “Vanya… sebenarnya, ada satu hal lagi…”
Dengan napas berat, akhirnya Clara menceritakan semuanya—tentang Arsen, tentang hutang, dan tentang status sugar baby yang ditawarkan pria itu.
“Oh my God, Clara!” seru Vanya tak percaya. “Kau sangat beruntung! Ada hikmahnya juga papamu mengusirmu! Sekarang kau bisa tinggal di tempat mewah, bersama pria super kaya!”
Clara memelototinya. “Vanya! Ini bukan lelucon. Seharusnya kau bantu aku cari cara bayar hutangnya, bukannya…”
“Dengar, bodoh,” potong Vanya. “Itu kesempatanmu. Kau bisa manfaatkan dia! Minta uang, minta belanja barang-barang mewah, minta apa pun! Hidupmu bisa nyaman tanpa kerja banting tulang!”
Clara hanya terdiam, lalu bertanya lirih, “Tapi… kalau dia minta… tidur bersamaku… aku tidak mau, Van. Aku takut.”
Vanya hanya mengangkat bahu. “Kau pikir semua sugar baby itu murni? Kadang kau harus memberi sedikit, untuk mendapatkan lebih banyak.”
“Kau gila!” Clara berdiri dengan emosi. “Aku tidak mau menjual diri!”
seorang pria datang mendekati mereka berdua.
“Siapa yang menjual diri,?” Jodi muncul entah dari mana dan langsung merangkul bahu Clara dengan gaya manjanya.
“Ini, si Clara—” Vanya hendak membocorkan, tapi Clara sudah melotot dan menggeleng keras, memberi kode untuk diam.
“Tidak, Jodi. Ayo ke kantin. Aku lapar,” ucap Clara cepat.
Vanya langsung berdiri dan berjalan lebih dulu. “Ayo, beb!”
Jodi mengikuti sambil terus merangkul Clara. Gadis itu hanya bisa pasrah, mencoba menutupi kekalutan pikirannya dengan tawa palsu.