Menikah?
Setelah mengajaknya berpacaran secara tiba-tiba, kini Tama mengajak Embun menikah.
"Pak Tama ngomong apa sih? nggak usah aneh-aneh deh Pak," ujar Embun.
"Aku serius, Embun. Ayo kita menikah!"
Sebenarnya tidak seharusnya Embun heran dengan ajakan menikah yang Tama layangkan. Terlepas dari status Dosen dan Mahasiswi yang ada diantara mereka, tapi tetap saja saat ini mereka berpacaran. Jadi, apa yang salah dengan menikah?
Apakah Embun akan menerima ajakan menikah Tama? entahlah, karena sejujurnya saat ini Embun belum siap untuk menikah.
Ditambah ada mantan kekasih Tama yang belum move on.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggi Dwi Febriana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjaga Yang Dicinta
Setelah kejadian beberapa waktu yang lalu, di mana Tama hampir kehilangan kendali akibat pengaruh naf*sunya, kini dia mulai jauh lebih berhati-hati. Ada semacam alarm dalam dirinya yang selalu mengingatkan agar jangan sampai kesalahan itu terulang kembali. Tama sadar, sekali saja dia ceroboh, maka bukan hanya dirinya yang akan terluka, tapi juga Embun. Dan itu adalah hal terakhir yang dia inginkan.
Sungguh, Tama tidak pernah berniat merusak Embun. Justru karena dia mencintai gadis itu, tekadnya semakin kuat untuk menjaga. Perasaan cinta yang dia miliki terasa seperti beban sekaligus pengingat; semakin besar cintanya, semakin besar pula tanggung jawabnya untuk memastikan Embun tetap baik-baik saja.
“Bang Tama enggak ke kantor?” suara lembut Embun memecah lamunan Tama.
Saat itu mereka sedang berada di rumah Embun. Kebetulan hari ini Embun sedang libur kuliah, sementara Tama juga tidak memiliki jadwal mengajar di kampus. Namun, untuk urusan kantor, sejujurnya masih ada beberapa pekerjaan yang menunggu. Laporan yang belum selesai, email yang perlu ditanggapi, dan juga rapat kecil yang bisa saja dia ikuti secara daring. Tapi entah kenapa, di hadapan Embun, semua itu seperti kehilangan urgensinya.
“Nanti habis makan siang aku balik ke kantor, Mbun,” jawab Tama dengan nada santai.
Embun yang sedang sibuk di dapur hanya mengangguk kecil, menerima jawaban itu tanpa banyak komentar. Tangan mungilnya tampak cekatan mengupas bawang merah dan mengaduk bumbu di wajan. Aroma harum dari sambal goreng udang mulai menyebar, memenuhi ruangan kecil itu.
Tama bersandar di kursi sambil memperhatikan setiap gerakan Embun. Matanya tidak bisa lepas, seakan ada magnet yang menahannya. Sesekali dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Ada banyak hal yang bergulir dalam pikirannya.
-Kapan aku bisa nikahin kamu, Mbun? batinnya berbisik lirih. Aku bener-bener udah enggak sabar pengen nikahin kamu.-
Namun semua itu hanya dia simpan dalam hati. Tama tahu betul apa yang menjadi alasan Embun belum ingin menikah. Gadis itu pernah berkata dengan tegas, dia tidak ingin menikah sebelum lulus kuliah. Dan Tama, sekuat apa pun keinginannya, tidak bisa memaksa.
Tatapannya semakin dalam. Melihat Embun dengan apron sederhana, rambut yang diikat seadanya, dan wajah serius saat memasak—semua itu justru membuat hati Tama semakin terikat. Baginya, Embun bukan sekadar seseorang yang dia cintai, tapi rumah yang selalu dia rindukan.
Meski harus menunggu lebih lama, Tama sadar bahwa kesabaran inilah bentuk cintanya yang paling nyata.
Tidak lama kemudian, Embun selesai menata makanan di meja makan kecil di ruang tengah. Aroma sambal goreng udang yang pedas gurih langsung membuat perut Tama keroncongan. Ditambah tempe goreng hangat yang baru saja diangkat dari penggorengan, garing di luar tapi lembut di dalam.
“Ayo, Bang, makan dulu. Tadi katanya mau balik kantor habis makan siang kan,” ujar Embun sambil tersenyum tipis.
Meski masih ada rasa canggung saat mereka berduaan seperti ini, tapi Embun mencoba untuk terlihat biasa. Biar bagaimanapun dia harus membiasakan diri dengan status bahwa Tama adalah kekasihnya kan?
Tama pun berdiri, lalu menghampiri meja. “Hmm, wanginya bikin lapar banget. Kamu jago banget kalau urusan dapur, Mbun.”
Embun hanya terkekeh, lalu duduk di hadapan Tama. “Udah biasa, Bang. Lagian ini juga masakan sederhana aja. Bukan yang susah-susah.”
Hidup sendiri tentu saja membuat Embun harus terbiasa melakukan semuanya seorang diri.
“Sederhana tapi istimewa. Karena kamu yang bikin,” ucap Tama sambil menatap Embun, membuat pipi gadis itu merona sedikit.
Mereka mulai makan dengan tenang. Sesekali hanya terdengar bunyi sendok dan garpu. Tama tampak sangat menikmati, apalagi sambal goreng udang yang rasanya pas, tidak terlalu pedas tapi tetap menggigit.
“Enak banget, Mbun. Beneran, udangnya enggak amis sama sekali, sambalnya juga pedesnya pas,” puji Tama sambil menyendok lagi.
Embun tersenyum lega. “Syukurlah kalau Bang Tama suka. Aku takut kepedesan karena tadi cabenya memang agak banyak."
Sejenak tadi Embun lupa kalau ada Tama disini. Jadi saat mengambil cabai, dia seenaknya saja. Tapi syukurlah karena ternyata tidak terlalu pedas untuk Tama.
“Justru ini yang bikin makan jadi lahap. Tempenya juga renyah, apalagi dimakan pake nasi hangat.” Tama mengangkat sepotong tempe goreng, lalu menggigitnya. “Wah, kriuknya pas banget.”
Embun tersenyum puas melihat ekspresi bahagia Tama. Baginya, hal sederhana seperti ini—memasak untuk orang yang dia sayangi—sudah cukup membuat hatinya penuh.
Setelah beberapa saat, piring mereka pun mulai kosong. Tama menyandarkan tubuhnya sejenak sambil meneguk air putih. “Aduh, kekenyangan. Mbun, kamu ini bikin aku jadi gagal diet. Lupa sama semua target berat badan.”
Embun tertawa kecil. “Bang, diet apaan sih? Badan Bang Tama juga udah bagus gitu.”
“Bagus apanya? Ini kalau terus-terusan makan masakan kamu, bisa gendut aku.” Tama tertawa kecil.
Embun sendiri tampak tersenyum salah tingkah mendengar ucapan Tama.
Beberapa menit kemudian, Tama melihat jam di pergelangan tangannya. Wajahnya berubah sedikit serius. “Aku harus balik ke kantor sekarang, Mbun. Masih ada kerjaan yang harus diselesaiin.”
Embun mengangguk, meski ada sedikit rasa enggan di hatinya. “Iya, Bang. Hati-hati di jalan.”
Tama berdiri, lalu mengambil tasnya yang diletakkan di sofa. Sebelum benar-benar beranjak, dia mendekati Embun yang masih duduk. “Makasih ya, Mbun, udah masakin. Aku seneng banget bisa makan bareng kamu.”
Embun menatapnya, tersenyum hangat. “Aku juga seneng Bang Tama suka. Jangan lupa makan malam ya nanti.”
Tama mengangguk, lalu dengan refleks mengusap lembut kepala Embun. “Iya. Kamu jangan kecapean, ya. Istirahat kalau udah lelah.”
Embun hanya bisa mengangguk lagi, sedikit tersipu dengan perhatian itu.
Akhirnya Tama berpamitan, melangkah keluar rumah. Embun mengantar sampai teras, menatap punggung lelaki itu yang perlahan menjauh. Ada rasa rindu yang langsung tumbuh meski baru saja mereka berpisah.