Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Bab 17. Awal ataukah akhir?
Lorong rumah sakit tampak lengang ketika Leon dan Eric tiba dengan langkah cepat. Aroma antiseptik menyambut mereka begitu melewati pintu IGD. Leon, dengan wajah tegang dan mata merah karena kurang tidur, langsung mendekati meja perawat.
“Saya ingin tahu kondisi pasien atas nama Maya Pramesti,” ucap Leon cepat. “Saya wali pasien.”
Perawat itu memeriksa data di komputernya, lalu mengangguk. “Beliau dalam penanganan intensif. Dokter yang menangani sedang menyiapkan rencana operasi. Ruangannya di sebelah kanan, Dokter Farhan yang bertugas," jelas perawat tersebut yang langsung diangguki Leon. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada perawat tersebut.
Leon dan Eric segera menuju ruang dokter. Tak butuh waktu lama, seorang pria muda dengan jas putih keluar dari ruang konsultasi. Leon dan Eric pun langsung menghampiri dan menegurnya.
“Dokter Farhan?”
“Ya. Anda ... keluarga pasien Maya Pramesti?”
Leon menjawab sebelum Eric sempat bicara. “Kami mewakili. Tolong beri tahu apa tindakan yang harus segera dilakukan agar beliau bisa selamat," potong Leon. Eric sampai terkesima dengan kesigapan Leon.
Dokter Farhan menghela napas, matanya menatap Leon penuh pertimbangan. “Ibu Maya mengalami komplikasi serius dari penyakit ginjalnya. Jika tidak segera dilakukan cuci darah dan pembedahan minor untuk mengatasi infeksi yang menyebar, kondisinya bisa semakin memburuk. Tapi ... prosedur ini memerlukan biaya yang tidak sedikit.”
“Biaya bukan masalah,” potong Leon tegas. “Lakukan apa pun yang perlu. Saya akan tanggung semua," putusnya tanpa ragu.
Eric menoleh, sempat terkejut, tapi tidak membantah. Leon menatap dokter dengan intens. “Saya minta satu hal saja. Tolong jangan sebutkan pada siapa pun siapa yang menanggung biaya ini. Rahasiakan identitas saya. Termasuk pada pasien dan keluarganya.”
Dokter Farhan dan Eric sampai terperangah. Biasanya orang yang membantu akan sibuk gembar-gembor agar kebaikan mereka diketahui orang banyak, namun Leon justru sebaliknya. Ia tak ingin ada orang lain tahu selain mereka bertiga. Namun tak pelak, dokter Farhan mengangguk pelan.
“Baiklah. Kami akan merahasiakannya sesuai permintaan Anda. Anda tidak perlu khawatir," jawab dokter Farhan. Meskipun penasaran apa alasannya, namun dokter Farhan memilih untuk tidak menyuarakan rasa penasarannya itu.
Leon menoleh pada Eric. “Urus semua administrasi. Pakai dana darurat perusahaan kalau perlu. Depositkan dana untuk pengobatan lanjutan juga," titah Leon pada Eric.
“Leon, kau yakin?” tanya Eric ragu.
“Lakukan saja, Eric," tegas Leon tak mau dibantah.
Eric pun mengangguk. Lalu dengan cepat, Eric berlalu ke bagian administrasi untuk mengurus segala sesuatu yang berkenaan dengan operasi dan biaya perawatan lanjutan.
Sementara itu, Leon duduk di bangku lorong, menyandarkan kepalanya ke dinding. Tubuhnya lelah, kepalanya berdenyut, matanya sayu. Perutnya kosong sejak pagi dan ia hanya mengandalkan kopi. Ia juga terlalu banyak minum alkohol semalam untuk mengusir pikirannya yang kalut. Tangannya sedikit gemetar.
Eric kembali sekitar lima belas menit kemudian dan melihat Leon yang tampak semakin pucat.
“Leon, kau baik-baik saja?” tanya Eric khawatir.
Leon tersenyum tipis. “Aku hanya butuh tidur. Mungkin makanan juga. Aku akan pulang sebentar.” Leon mencoba menjawab dengan tenang.
“Aku yang urus di sini. Operasi dilakukan nanti malam. Kau pulang saja dan istirahat. Jangan nyetir sendiri, ya. Aku panggil sopir.”
Leon menggeleng. Ia mengangkat tangannya pelan untuk melihat jarum jam di pergelangan tangannya.
“Tidak usah. Biar aku menyetir sendiri. Aku butuh menyendiri. Jalan sendiri bisa membantu membuat pikiranku jernih.” Leon menolak penawaran Eric.
Eric ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baik. Tapi janji kau akan hubungi aku kalau merasa tidak kuat.” Sejujurnya Erik pun merasa cemas dengan keadaan Leon saat ini.
Leon tersenyum samar sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit.
---
Di tempat lain, Sharon terduduk lemas di sofa kamar istirahat restoran. Tangannya gemetar, wajahnya pucat pasi.
“Apa yang kamu bilang?” tanyanya, nyaris tak percaya. "Ibu ...."
Mischa yang baru saja mendapat kabar dari ibunya mengenai keadaan Maya mengangguk. “Iya, Sha. Tante Maya dibawa ke rumah sakit barusan. Kata Mama, kondisinya kritis. Beliau harus segera menjalani operasi," ujar Mischa dari seberang telepon.
Sharon nyaris pingsan, tapi tangannya langsung menahan perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri. Napasnya memburu. Ponselnya pun reflek terjatuh hingga panggilan pun terputus sepihak.
“Sharon!” Dirga yang baru selesai rapat langsung menghampiri begitu melihat Sharon kesakitan. “Kamu kenapa?” tanya Dirga cemas.
“Aku ... sepertinya aku kontraksi,” gumam Sharon lemah. “Tapi ... ibuku ....” Kata-katanya terputus saat ia merasakan gelombang kesakitan yang luar biasa di perutnya. Padahal jadwal operasi Caesar masih sekitar dua Minggu lagi, tapi kini ia justru merasakan kalau ia sudah akan melahirkan.
Wajah Dirga berubah panik. Ia hendak membopong Sharon, tapi ponselnya tiba-tiba berdering keras. Ia melihat layar, wajahnya semakin tegang.
“Astaga ...,” desisnya. “ART di rumah," gumam Dirga.
"Angkat dulu panggilan itu, Ga. Siapa tau ... penting," jawab Sharon terengah. Dengan perasaan gusar, Dirga pun segera mengangkat panggilan itu. Baru saja panggilan terhubung, wajah teganh Dirga kian menjadi.
"Ada apa?" tanya Sharon penasaran.
"Mama jatuh di kamar mandi.”
Sharon terpejam, keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Pulanglah! Ibumu lebih membutuhkanmu saat ini."
"Tapi Sha ...."
Dion muncul tak lama setelah itu, wajahnya langsung panik melihat Sharon meringis kesakitan.
"Ga, ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Dion penasaran.
Dirga pun segera menjelaskan apa yang sudah terjadi.
“Bro, biar aku yang antar Sharon ke rumah sakit,” ujar Dion cepat, menatap Dirga. “Kamu ke rumah, urus ibumu. Dia pasti juga butuh kamu sekarang.”
Dirga terlihat ragu sejenak. Matanya bergantian menatap Sharon dan ponselnya yang masih menyala dengan panggilan darurat dari rumah.
“Pergi, Dirga,” ucap Sharon lemah. “Tolong ... jangan abaikan ibumu karena aku," ucap Sharon pelan sambil meringis.
Dengan perasaan campur aduk, Dirga mengangguk. Ia menatap Dion penuh harap.
“Tolong jaga dia.”
Dion langsung mengangguk. “Serahkan padaku.”
Dengan sigap, Dion membawa Sharon keluar menuju mobil, kemudian melaju cepat menuju ke rumah sakit. Sementara mobil Dirga melaju cepat ke arah lain, menuju rumahnya dengan jantung berdebar dan hati diliputi kecemasan.
Di saat bersamaan, Leon yang sedang mengemudi tiba-tiba merasakan perutnya bergejolak hebat. Pandangannya seketika berkunang-kunang. Keringat dingin bercucuran.
"Aaargh, ada apa dengan tubuhku!" raung Leon merasakan perutnya bagai diremas-remas. Nyeri melanda di sekeliling perut hingga pinggang.
Leon lantas mempercepat laju kendaraannya agar segera sampai di apartemen. Namun, kilatan di depan sana seketika menyilaukan pandangannya. Dalam hitungan detik, Leon pun kehilangan kendali kendaraannya. Kecelakaan pun akhirnya tak terelakkan.
"Sha---ron."
Leon tiba-tiba terbayang wajah Sharon sebelum akhirnya kesadarannya benar-benar hilang.
Badai benar-benar sedang menggulung semua sisi kehidupan Leon dan Sharon. Dan malam itu akan menjadi titik balik yang menentukan segalanya.
Bersambung
Maaf ya, D'wie nggak bisa nulis alurnya sesuai permintaan kakak semua. D'wie baca kok komen-komennya meskipun gak sempat balas. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Ada yg bilang, buruan ketemu. Terlalu cepat gak sih? Terus ada yg bilang, harus ketemu sebelum melahirkan, jadi sama kyk cerita pendahulunya, Rainero dan Kenzio di sebelah dong. 😁
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho