Frisha Natalia, kabur dari rumah ketika dipaksa menikah dengan pria beristri, sebagai penebus hutang ayahnya. Di jalan, Frisha mengalami kecelakaan hingga mengakibatkan gadis itu lumpuh.
Clyton Xavier Sebastian, pria yang tidak sengaja menabraknya, bersedia bertanggung jawab memberi kompensasi dan menjamin pengobatannya.
Akan tetapi, Frisha menolak. Dia menuntut tanggung jawab dalam bentuk lain, yakni menikahinya.
Apakah Xavier, seorang CEO perusahaan besar, mau menerima pernikahan dengan wanita asing begitu saja? Ikuti kisahnya yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 : INTEROGASI
Xavier menegakkan punggungnya, masih menatap lekat layar ponsel milik istrinya itu. Manik jernih yang terpancar dari sorot matanya, senyum tulus yang mengembang, ditambah raut wajah polos gadis itu semakin membuatnya merasa bersalah.
Napas berat ia embuskan, lalu segera menyusul Gerry yang membawa Tania ke rumah sakit. Dalam perjalanan, ia menelepon pihak rumah sakit untuk segera persiapan menangani Tania.
Khansa yang mendengar kabar itu segera berlari menuju ruang IGD. Bersama Leon yang kebetulan sedang ada rapat dengan komite rumah sakit saat itu. Keduanya panik ketika mendengar Tania terluka.
Jika Tania terluka, otomatis menantunya pun sama. Khansa berjalan mondar-mandir menunggu kedatangan Tania. Leon sudah memintanya untuk duduk, tetapi wanita paruh baya yang masih cantik itu tentu tidak akan bisa tenang sebelum memastikan semua baik-baik saja.
“Sayang, mereka sampai mana sih?!” gerutu Khansa dengan dada berdebar kuat.
“Sebentar lagi, Sayang. Sabarlah!” sahut Leon duduk tegap di kursi tunggu.
Benar kata suaminya, tak berapa lama iring-iringan mobil Xavier dan Gerry sampai di depan ruang IGD RS Sebastian. Petugas medis dengan sigap mendekatkan brankar lalu membawa Tania masuk untuk penanganan.
“Tania!” Khansa membulatkan mulutnya, matanya membelalak ketika melihat kondisi Tania. Ia masih menunggu, tetapi yang ditunggu tak kunjung tiba.
“Di mana Frisha!” tanya Khansa dengan suara bergetar.
Wanita itu berlari memeriksa mobil, panik dan ketakutan semakin menyergapnya ketika tidak menemukan menantunya, Gerry menunduk dalam tidak berani berucap.
Khansa berpindah ke mobil Xavier. Ia menemukan lelaki itu sudah berdiri di samping mobilnya. Pria itu segera menangkap tubuh sang ibu yang dilanda panik.
“Mom, tenanglah,” ucap Xavier berusaha menenangkan ibunya.
“Tenang bagaimana? Kondisi Tania separah itu. Dan kamu menyuruh mommy tenang? Di mana Frisha? Dia baik-baik saja ‘kan, Vier?” Khansa mendongak menatap putra kesayangannya itu, sembari menggoyang kedua lengannya.
Namun, tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Xavier. Jakunnya naik turun menelan saliva gugup. Bola matanya bergerak tak tentu arah. Khansa tentu bisa membaca gerak gerik putranya itu.
“Xavier! Di mana Frisha?” pekik Khansa lagi merasa tak sabar.
“Frisha ... diculik, Mom,” tutur Xavier menunduk, menatap sendu manik ibunya.
“Apa? Bagaimana bisa? Kenapa kamu tidak memberi penjagaan untuknya! Kamu membiarkannya begitu saja, hah? Apa yang ada di otak kamu, Xavier. Dia lagi sakit! Dan lihat, Tania bahkan sampai seperti itu!” cecar Khansa histeris mendengarnya.
“Maaf, Mom. Xavier pikir semua akan baik-baik saja. Publik tidak tahu tentang hubungan kami. Sudah pasti bukan rival Xavier. Dan Xavier tidak tahu kalau ada yang mengincarnya, Mom,” elak Xavier beralasan.
Khansa menatapnya dengan tajam. Ia menilai jika putranya itu tidak bertanggung jawab. Bahkan membiarkan istrinya tanpa pengawalan.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Xavier. Pria itu tak berani membantah lagi, “Mommy kecewa sama kamu! Mommy nggak mau tahu, kamu harus segera temukan Frisha dalam kondisi baik-baik saja! Dia istrimu, dia tanggung jawabmu!” pekik wanita itu menarik-narik kerah kemeja putranya. Tubuh Xavier terhuyung mengikuti gerakan ibunya. Akan tetapi, ia diam saja.
Leon segera menangkap pergelangan lengan istrinya, lalu memeluknya erat dan memapahnya untuk duduk. “Tenangin diri kamu, Sayang. Xavier pasti bisa menemukannya. Kita tunggu keterangan dari Tania,” ujar Leon berusaha menenangkan.
“Frisha udah nggak punya siapa-siapa selain kita, Leon! Gimana kalau dia kenapa-napa? Kondisinya masih lemah!” rengek Khansa takut membayangkan hal buruk. Menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami.
Leon mengusap punggung istrinya naik turun. Menatap tajam putranya yang masih bergelut dengan rasa bersalahnya. Hatinya berkecamuk ketika mengingat pagi tadi menolak permintaan Frisha untuk mengantar ke rumah sakit, sekaligus mencacinya.
...\=\=\=\=000\=\=\=\= ...
Setelah menunggu selama satu jam, Tania akhirnya mengerjapkan mata perlahan. Ranjang pasien di ruangan VIP itu dikelilingi oleh orang tuanya, Khansa, Leon dan juga Xavier. Tania mengedarkan pandangan, menatap orang-orang itu satu per satu.
“Tania! Tania kamu sudah sadar, Nak?” Khansa yang pertama kali menyadari langsung beranjak. Mendekatkan kepala pada gadis itu.
Tania berusaha mengingat apa yang terjadi, memejamkan mata sejenak sembari mengatur napasnya. “Nona! Nona muda!” seru Tania terperanjat dan mencoba bangun dari ranjangnya. “Nyonya, maafkan saya. Nona muda dibawa mereka. Maaf, Tania nggak bisa jaga nona dengan baik. Maaf, Nyonya!” seru gadis itu menangis.
“Ssstt! Jangan menangis. Ini bukan salahmu. Kamu sudah berusaha dengan baik. Kita akan pikirkan solusinya. Sekarang ceritakan bagaimana ciri-ciri mereka, bagaimana kronologinya,” gumam Khansa membelai rambut panjang gadis itu. Tidak ingin menyalahkan, mengingat kondisi Tania yang terluka seperti itu, ia pasti sudah berusaha sekuat tenaga.
Dengan deraian air mata, Tania menceritakan awal kejadian, mulai dari dihadang, dengan brutal memecahkan kaca jendela, mengeroyoknya hingga berhasil membawa Frisha pergi.
Tania merasa gagal, dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa menjaga Frisha dengan baik. Dia menangis sesenggukan.
“Apa kau hafal plat nomor salah satunya? Di jalan itu sama sekali tidak ada CCTV. Kami kesulitan melacaknya!” tanya Xavier setelah mendengar penuturan Tania.
Gadis itu memejamkan matanya, mengingat-ingat nomor yang tertera pada mobil tersebut. Semua terdiam dan memusatkan perhatian pada gadis itu. Xavier sudah bersiap dengan tab di tangannya.
“BV 4567 Z,” ucap Tania membuka matanya setelah berhasil membuka kembali ingatannya.
Xavier mengetik angka dan huruf yang disebutkan Taniax lalu kembali menatap gadia itu, “Bagian mana mobil yang disentuh?” tanya Xavier lagi menginterogasi.
“Pintu mobil belakang sebelah kanan, Tuan. Ah, yang kiri juga!” jelas gadis itu sudah sedikit lebih tenang.
Xavier mengangguk, “Terima kasih. Paman dan Daddy di sini saja. Biar Xavier yang mencarinya,” ucapnya lalu segera melenggang pergi diikuti seluruh anak buahnya.
“Sudah, sekarang kamu istirahat biar lekas sembuh. Kita berdoa semoga Xavier cepat menemukan Frisha,” ucap Leon ditujukan pada Tania. Kemudian menoleh pada Khansa yang masih gelisah. “Kamu juga istirahatlah, Sayang,” lanjut Leon membelai punggung istrinya.
“Tania, bagaimana sikap Xavier pada Frisha selama kamu di sana?” Khansa penasaran. Ia mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keseharian mereka.
Bersambung~
con; ketika panik, terburu2, kan gak mungkin memakai kata melenggang.
Melenggang itu lbh ke arah berjalan santai...
sdh terburu2 mosok pakai kata melenggang..
sungguh mantap sekali ✌️🌹🌹🌹
terus lah berkarya dan sehat selalu 😘😘