Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gantung Diri
Kepala terasa berat, tubuh lemas, dan demam menggigil. Itulah yang dirasakan Ratna sejak pulang semalam. Ia memang berhasil lolos dari gerombolan pemuda bejat itu, tapi kejadian mengerikan tersebut menyisakan trauma mendalam. Bagaimana tidak, matanya sendiri menyaksikan seseorang mati begitu tragis, tanpa sebab yang jelas.
Malam itu Ratna tak mampu memejamkan mata. Ia hanya terduduk di tepi ranjang, tubuhnya bergetar hebat. Setiap kali teringat kejadian itu, serangan panik kembali menghantam. Rasa waswas terus membayang, meski berbagai cara ia lakukan untuk menenangkan diri.
Ia menunggu Naya menghubungi, berharap bisa berbagi cerita. Namun, pesan atau kabar itu tak kunjung datang. Hingga akhirnya, demi melawan rasa cemas yang kian menjadi-jadi, Ratna menelan vitamin khusus. Setidaknya, meski hanya beberapa jam, ia berhasil terlelap.
Ketika tubuhnya masih menggigil, terdengar ketukan di pintu kamar. Perlahan ia bangkit, menyeret langkah menuju pintu sambil menggosok hidung yang gatal dan mampet hingga tampak memerah.
“Tante…” ucap Ratna lirih saat membuka pintu.
“Gimana keadaan kamu, Ratna? Tante cemas pas kamu ngabarin sakit,” ujar Tantri begitu masuk ke kamar. Ia meletakkan bungkusan di atas nakas. Karena sebelumnya sudah meminta izin pada penjaga kost dengan alasan mendesak, Tantri diperbolehkan menemui Ratna.
“Lumayan reda. Tadi udah minum paracetamol, Tante,” jawab Ratna pelan.
“Syukurlah. Ini Tante bawa makanan. Kamu makan, lalu istirahat yang cukup. Harus cepat sembuh. Tante banyak kerjaan, gak bisa nengokin kamu terus. Urusan Tante bukan cuma kamu saja.”
Ratna menghela napas, kemudian mengangguk lemah. Selalu ada kata-kata yang menusuk dari bibir Tantri. Tapi, mau bagaimana lagi? Hanya Tantri satu-satunya yang ia punya. Tempat pulang—atau setidaknya, tempat kembali suatu saat nanti.
Tangan Tantri terulur, menyentuh kening Ratna. “Masih agak panas. Mau Tante ajak ke dokter?”
Ratna cepat-cepat menggeleng. “Gak usah, Tante. Nanti juga sembuh. Kayaknya cuma kurang istirahat aja. Besok pun aku bisa masuk sekolah lagi.”
“Oke. Tante pulang, ya. Tante orang sibuk. Kamu tau sendiri, kan?”
Ratna menghela napas panjang, lalu mengantarkan Tantri sampai ke pintu meski kedua kakinya terasa lemas. Tantri benar-benar tidak berlama-lama. Tanpa basa-basi, ia segera berlalu. Padahal Ratna berharap, setidaknya tantenya itu mau duduk sebentar, walau hanya semenit saja.
“Kamu itu udah ditakdirkan sendirian, Ratna. Gak usah manja,” gumamnya lirih, seolah berbicara pada diri sendiri. Pandangannya sempat jatuh ke arah bungkusan yang ditinggalkan Tantri, namun ia sama sekali tak berniat menyentuhnya.
Ratna kembali ke ranjang, meraih ponsel yang hampir selalu sepi notifikasi. Namun, layar mendadak penuh dengan kabar heboh: media sosial tengah ramai memperbincangkan penemuan mayat di taman kota.
Dengan panik, Ratna melempar ponselnya. Ketakutan menyergap. Bagaimana jika dirinya dituduh sebagai pelaku? Bagaimana bila polisi datang mencarinya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya.
Tapi rasa penasaran lebih kuat daripada rasa takut. Ia mengambil lagi ponselnya, membaca artikel dari salah satu akun gosip terbesar di Indonesia. Di sana tertulis, jenazah ditemukan gantung diri di bawah sebuah pohon beringin.
Kening Ratna berkerut. Tidak masuk akal. Ia sendiri menyaksikan pria berambut pirang itu mematahkan lehernya sendiri. Apakah teman-temannya sengaja menggantung jasad itu agar terlihat seperti bunuh diri, demi menutupi keterlibatan mereka?
“Ahh!” Ratna berteriak, lalu melempar ponselnya kembali ke atas ranjang. Ia menekankan pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan bahwa semua akan Baik-baik saja.
Sementara itu, sepulang sekolah, Kila menyempatkan diri datang ke rumah Vani. Tangannya menenteng sebuah paperbag berisi berbagai cokelat kesukaan sahabatnya. Ia berharap, manisnya cokelat dengan kandungan psikoaktifnya bisa sedikit membantu Vani merasa lebih baik.
Kila melangkah melewati taman rumah itu. Dari kejauhan ia melihat Pak Amat sedang menyiram deretan anggrek milik Bu Mely. Pandangan pria itu mengikuti langkah Kila hingga gadis itu berhenti di depan pintu rumah.
“Kayaknya bukan si Neng yang kemarin nongol di ruang tamu. Duh, jadi kepikiran wae…” gumam Pak Amat dalam hati.
Begitu Kila mengetuk, pintu segera dibukakan oleh Bi Inah. Sambutannya hangat, tak heran karena mereka memang sudah sering bertemu. Tanpa basa-basi, Bi Inah langsung menerima sebatang cokelat dari paperbag yang Kila bawa.
“Makasih ya, Neng,” ucap Bi Inah tulus.
“Sama-sama, Bi. Tapi… Vani udah bisa ditengok, kan?” tanya Kila hati-hati, khawatir sahabatnya masih butuh istirahat total.
“Aman, Neng. Vani udah lumayan sehat, tinggal pemulihan aja. Sok, naik ke atas. Biar Bibi siapin minum sama camilan dulu.”
“Oke, deh. Makasih banyak, Bi ….”
Tanpa menunggu lama, Kila segera menaiki tangga dengan langkah riang. Sesampainya di lantai atas, ia mendapati pintu kamar Vani setengah terbuka. Ia mengetuk pelan, membuat si empunya kamar menoleh.
Betapa bahagianya Vani saat melihat siapa yang datang. Gadis itu langsung menjerit girang, seolah tak percaya sahabatnya benar-benar datang menjenguk.
Kila buru-buru masuk, dan keduanya yang sama-sama berusia tujuh belas tahun itu berpelukan erat, melepas rindu. Setelahnya, Kila menyerahkan cokelat yang dibawanya. Vani langsung menjerit lagi, kegirangan karena ternyata sahabatnya membawa makanan kesukaannya.
“Kok lu baru ke sini?” protes Vani sambil manyun.
“Ish, masih untung gue nengokin. Jangan banyak protes!” balas Kila dengan nada setengah kesal.
Vani terkekeh geli. Tak butuh waktu lama, ia pun menanyakan keberadaan teman-teman yang lain. Terpaksa Kila berbohong dengan alasan mereka sedang ada kegiatan di sekolah.
“Tumben. Biasanya kan mereka malah kabur,” selidik Vani penuh curiga.
“Lagi kesambet setan rajin kali. Btw, lu sakit apa, sih?” tanya Kila balik.
Vani mengangkat kedua bahunya. “Gak tahu. Gue malah sembuh karena dijampe sama Pak Amat. Katanya sih, ada yang ngikut pas gue pulang dari kemah kemarin.”
“Setan maksud lo?” Kila melotot.
“Bisa jadi. Udahlah, jangan dibahas. Gimana di sekolah?”
Kila pun segera menceritakan tentang Ratna yang diinterogasi oleh Bu Tutik soal aktivitas selama kemah. Menurutnya, seandainya ia tidak kebetulan mengintip dari luar, gadis culun itu pasti sudah menceritakan semuanya.
Ibarat kompor yang terus dipanaskan, Kila menjelek-jelekan sikap Ratna. Hal itu cukup membuat Vani murka. Kebenciannya terhadap sahabat yang suka menyakiti itu kian menguat.
“Kudu dikasih pelajaran, gak, sih?” ujar Vani sambil mendelik sinis.
“Iyalah. Kita kerjain aja besok. Soalnya tadi dia gak sekolah, katanya sih sakit.”
“Oke. Besok aku mau masuk kalo gitu.”
Keduanya pun tertawa lepas, seolah mengerjai Ratna adalah hiburan yang paling menyenangkan di dunia mereka.
......................
“Mungkin, harusnya aku pindah aja ke sekolah Naya. Tapi rasanya itu mustahil. Tante Tantri pasti gak bakal mau ribet ngurusin kepindahan,” gumam Ratna sepanjang jalan. Ia yang biasanya bepergian kemana pun menggunakan bus, kini melangkah pelan di trotoar setelah turun di halte.
Hari ini, Ratna memaksa diri masuk sekolah meski tubuhnya terasa lemas dan tak bergairah. Langkahnya lambat, sesekali ia menghela napas panjang. Anak-anak lain yang turun dari bus yang sama, terlihat berlari sambil bercanda bersama teman-temannya.
Ratna hanya bisa berandai-andai. Seandainya ia dan Naya berada di sekolah yang sama, mungkin ia tak akan selalu merasa sendiri, tak lagi menjadi sasaran bullying. Kedekatan teman-teman lain membuatnya iri. Ia ingin menjadi normal seperti anak-anak kebanyakan, tapi ia sudah terlanjur dipandang berbeda.
Hampir sampai di gerbang SMK BINA KARYA, langkah Ratna yang tak bersemangat mendadak berhenti. Dari kejauhan, ia melihat Kevin, Bobi, dan Agam mengendarai motor mendekat. Panik, Ratna menundukkan kepala lebih dalam, berharap ketiga anak itu tidak menyadari kehadirannya.
Tapi harapannya sia-sia. Sosoknya yang selalu berjalan sendiri, menunduk, dan mengenakan kacamata bergagang tebal, mudah dikenali. Geng Kevin melaju pelan, menyesuaikan diri dengan langkah Ratna yang berusaha mempercepat jalan.
“Berhenti!” perintah Kevin dengan suara keras. Namun, Ratna tak menggubris. Ia tetap berjalan, berusaha menjauhi masalah.